Chapter-44

111 9 0
                                    

Menatap bangunan di hadapannya, Triska menarik nafasnya panjang. Dadanya kembali sesak, air matanya luruh seketika apalagi melihat mobil hitam terparkir indah di halaman rumah ini. Mobil yang sangat Triska kenali. Dengan kaki yang bergetar hebat, wanita itu berjalan pelan ke arah pintu rumah sederhana ini sambil mengusap air matanya. Setidaknya di hadapan mereka, kesedihan dan kehancuran yang Triska rasakan tidak terlihat sedikitpun. Dia sudah bingung dengan keadaan Naufal yang sakit, ditambah lagi Moza yang selingkuh hingga menikah dengan wanita lain.

Tangan Triska bergetar hebat, lemas tak berdaya. Banyak sekali pikiran negatif tentang mereka. Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka pikirkan sehingga mengambil jalur jahat seperti ini. Kurang apa coba Triska selama ini untuk Moza. Ketika pria itu meminta sesuatu dari Triska, wanita itu dengan cepat menurutinya, hitung-hitung untuk mencari pahala dari suami. Tapi apa yang Triska dapat? Sakit!!

Pantas saja setelah pulang dari luar kota Moza tak lagi pernah menyentuh Trisak. Dia tidak pernah memberikan nafkah batin untuk Triska selama berbulan-bulan, selalu marah, membesarkan masalah sepele, dan juga sering tidak pulang. Ternyata ada bunga lain yang lebih segar, lebih menggoda di luaran saja ketimbang Triska. Wanita yang pernah singgah di hatinya, dan kembali bersama setelah dua belas tahun menikah dengan Triska.

Dengan berani, Triska mengetuk pintu itu berkali-kali. Tidak ada jawaban  sama sekali, tidak ada gerak gerik penghuni rumah untuk keluar dari rumah mereka. Mencoba kembali mengetuk, barulah suara Elena yang begitu merdu dan menenangkan terdengar di telinga Triska. Tentu, hal itu langsung membuat air mata Trisak membuat menetes. Selembut itu ya Elena pada Moza sehingga pria itu betah dengan Elena? Apa Triska sejahat itu mata Moza sampai-sampai dia berbuat keji pada Triska.

“Sia—Triska!” pekik Elena kaget. Dia menatap ke arah belakang Triska seolah mencari sesuatu. Lalu menatap ke arah dalam rumah dengan raut wajah yang cemas. “Kamu kesini sama siapa?” tanya Elena dengan bibir gemetar.

“Tidak perlu tahu aku kesini sama siapa. Yang harus kamu tahu aku kesini untuk menjemput suami aku.” cetus Triska menekankan kata suami agar Elena tahu, pria yang ada di dalam rumahnya itu masih seratus persen hal Triska. Masih sah menjadi suami Triska, mereka belum berpisah sekalipun kalau Elena lupa.

“Moza Nggak ada disini, Triska. Aku di rumah sendiri, lagian  kamu tau dari mana rumah aku?” 

Masih tanya tahu rumah dia dari mana? Apakah pertanyaan tidak penting itu perlu Triska jawab. Dia datang ke rumah ini untuk menjemput Moza dan membawanya pulang, putranya masuk rumah sakit dan terus mencari Moza. Kenapa pria itu tidak pulang dan tidak ingin melihat putranya. Dan dengan gamplangnya Elena bilang tau rumah dia dari mana?

“Itu nggak penting. Tolong panggilkan Moza saja.” kata Triska menahan emosinya.

“Dia nggak ada disini Triska.”

Triska menatap wanita itu dengan jijik. Di lehernya ada banyak sekali kissmark yang cukup ketara, sudah pasti itu adalah ulah Moza. Karena setiap Triska dan Moza berhubungan badan Moza selalu meninggalkan jejak kenikmatan di leher maupun di dada Triska. Dan hal itu disaksikan langsung oleh Triska kissmark itu berada di tubuh wanita lain. Belum lagi, ketika Triska menatap perut Elena yang masih datar. Dia kembali sesak, ada calon bayi di dalam sana dan itu adalah anak Moza. Yang dimana Moza memilih wanita lain untuk mengandung anaknya ketimbang istri sahnya sendiri.

“Jangan bohong! Aku tau Moza ada di dalam, mobilnya saja ada disini masa iya orangnya ada di gunung?” cibir Triska tersenyum sinis. “Gunung kenikmatan ya sampai merah semua? Gimana El rasanya bercinta dengan suami orang? Rasanya disayang suami orang? Diperhatiin, dimanja sama suami orang? Enak ya? Gimana juga rasanya sudah menghancurkan rumah tangga orang dan juga mental orang?  Enak juga? Pernah posisi begini kan? Masa iya lupa?”

Elena gelagapan dia tidak tahu harus menjawab apa. Kalau tanya rasanya bagaimana yang pasti tentu saja enak. Ini yang Elena cari selama menikah, dimana seorang wanita diperlakukan seperti ratu oleh satu raja. Tentu saja Elena tidak mau melepas Moza begitu saja. Sifat Moza yang seperti ini yang membuat Elena melakukan banyak cara untuk mempertahankan pria itu.

“Tris aku—aku—”

“Sayang siapa yang datang?” potong seseorang, yang diyakini Triska adalah suara Moza.

Triska tak langsung menjawab, dia menatap Moza yang keluar dari sebuah kamar dengan penampilan yang berantakan. Hati Triska hancur berkeping-keping melihat suaminya yang tidak satu kamar dengan wanita lain. Saling bersentuhan, hingga …  menarik nafasnya panjang, Triska pun kembali mengusap air matanya yang luruh kembali. Dia pun menatap Moza yang kaget melihat Triska berdiri di depan rumah sederhana ini dengan wajah tanpa ekspresi. Dengan buru-buru Moza menghampiri mereka berdua dengan wajah santai. Jika saja mereka bertanya siapa yang harus Moza pilih, sudah pasti pria itu akan memilih hidup bersama dengan Elena. Wanita yang dia cintai selama ini, dan sepenuhnya pemilik hati Moza.

“Kamu ngapain kesini?” tanya Moza dengan wajah datar.

“Kenapa? Aku datang kesini cima mau jemput kamu, Naufal masuk rumah sakit dan terus manggil nama kamu. Tapi …. Bapaknya enak-enakan tidur sama wanita lain.” sinis Triska.

“Jaga ucapan kamu!!” seru Moza.

“Kenapa? Aku bilang apa adanya yaaa. Kamu tidur dengan wanita lain sedangkan kamu sudah punya istri!! Murahan banget sih jadi orang!!”

Moza mengangkat tangannya dan menampar Triska dengan kencang. Hingga membuat wanita itu memalingkan wajahnya ke arah samping, menahan rasa panas yang tertancap di pipi kiri Triska. Air mata wanita itu kembali menetes, matanya kembali sembab, dengan tangan yang menyentuh pipi kirinya.

Triska tertawa sumbang. “Berani ya Mas kamu nampar aku cuma karena Elena? Harusnya aku yang nampar kamu sama Elena, kamu sudah selingkuh, kamu beliin dia rumah, kamu ngirim duit dia dengan kartu kredit kamu yang lain, kamu kasih jatah bulanan. Sedangkan aku? Beli ayam sekilo aja kamu bilang boros Mas. Beli apapun aja aku harus izin dulu ke kamu, jadi sebenarnya yang jadi istri kamu itu aku atau Elena sih, beda banget sikap kamu ke aku dan ke dia!!” teriak Triska. Dia tidak peduli jika tetangga pada datang dan melihat pertengkaran mereka. Yang jelas apa yang terjadi di hadapannya itu adalah sebuah kesalahan besar. Moza masih memiliki istri sah, jika dia ingin menikah bukan berarti dia tidak meminta izin Triska lebih dulu kan?

“Jangan berteriak. Ini bukan kota yang dimana kamu sekarang semua orang nggak peduli.” seru Moza yang kesal.

Triska menggeleng kecil, dia tidak peduli sama sekali. Mau kota atau desa, Triska sama sekali tidak peduli. Apa yang Moza lakukan itu salah, tidak mungkin Triska hanya diam saja. Satu persatu orang mulai berdatangan karena penasaran akan yang terjadi. apalagi Triska yang terus mengejek Elena dengan kata wanita murahan. Dia sudah membantu Elena untuk mendapatkan perlindungan dan juga tempat tinggal gratis. Memberikan kehidupan yang layak seperti orang pada umumnya.

“Ya tapi nggak suami aku juga dong yang kamu nikahin, El. Apa nggak ada pria lain yang mau sama kamu selain Moza?” seru Triska yang habis kesabarannya.

“Kami saling mencintai, itu sebabnya kamu menikah Triska. Maafkan aku.” ucap Elena lirih.

Saling mencintai? Itu berarti kata cinta yang sering Moza ucapkan apa? Kiasan semata selama menikah dengan Triska?

Dan … apa?

Maafkan aku? Kalau Triska sekarang tersulut emosi dan membunuh Elena, apakah Triska perlu meminta maaf setelah melenyapkan wanita itu tanpa adanya hukum?



To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang