Bangun di pagi hari, tubuh Moza terasa remuk. Dia pun melihat tengkuk lehernya yang terasa kaku dan melihat sekeliling tempat ini dengan asing. Matanya langsung menatap ke arah samping, dan melihat sebuah bahu mulus di sampingnya yang tertidur pulas. Moza baru sadar jika tempat ini bukanlah kamar ataupun rumahnya. Melainkan rumah …
“Elena.” katanya lirih.
Melihat pangkal hidungnya Moza mencoba mengingat apa yang telah terjadi dengannya saat ini sampai dia menginap di rumah Elena. Dan yang Moza ingat hanyalah dia berpesta dengan bosnya disalah satu rumah baru bosnya yang baru saja dibeli beberapa bulan yang lalu. Bos nya meminta semua karyawan kantor untuk datang ke rumahnya dan syukuran, dan Moza baru sadar jika istri bosnya baru saja melahirkan putri ketiganya. Tentu saja acara makan-makan hingga larut malam, dan para pria malah lebih sibuk membuka botol alkohol untuk menghangatkan tubuh mereka. Dan Moza ingat pula, ketika terakhir dia mengirim pesan pada Triska yang dimana Moza sengaja mematikan ponselnya dari siang. Moza menang sengaja, karena malam itu harusnya Moza dan Elena berjalan-jalan sebentar untuk mengusir rasa bosan Elena. Hanya saja karena undangan bos, Moza membatalkan janji itu.
Tapi … kenapa malam ini dia bisa tidur di rumah Elena? Apalagi dengan keadaan tanjang bulat seperti ini, tanpa sehelai benang pun yang menutup tubuh mereka kecuali selimut yang tidak begitu tebal.
Menghela nafasnya, Moza pun langsung memunguti bajunya dan berlari ke arah kamar mandi. Membersihkan diri dengan cepat sebelum Elena benar-benar bangun dari tidurnya. Naas, setelah mandi dan menggunakan pakaian lengkap Moza malah melihat Elena yang menggeliat dalam tidurnya yang terlihat menggemaskan. Sudut bibirnya terangkat sebelah, dan Moza pun tersenyum. Bagaimanapun Elena juga termasuk istrinya, bukankah hal ini sering terjadi antara suami istri? Lalu kenapa juga Moza masih mengingat Triska setelah apa yang terjadi antara dirinya dan juga Elena?
Detik berikutnya wajah Moza kembali suram. Dia kembali mengingat Triska yang susah dua belas tahun menemaninya. Memberikan gelar seorang ayah untuk pertama kalinya di hidup Moza. Dan kali ini dengan kesadaran yang penuh, Moza telah mengkhianati istrinya sendiri. Berhubungan dan menikah dengan cinta pertamanya waktu mereka masih duduk di bangku sekolah. Ada rasa bahagia dan juga rasa tidak enak hati yang bercampur di diri Moza. Disisi lain, dia merasa berdosa telah berkhianat, tapi dia juga merasa senang bisa bersama dengan orang yang sempat memiliki hatinya.
“Moza … .” panggil Elena dengan wajah yang terkejut.
Moza mencoba tersenyum, mengenyahkan pikirannya tentang Triska dan merapikan penampilannya serapi mungkin. Setidaknya ketika dia kembali ke rumah baju yang dia kenakan tidak lusuh maupun memiliki aroma parfum wanita lain. Tapi jika dipikir tidak mungkin juga kalau ada parfum wanita lain, apalagi yang Moza tahu Elena itu jarang sekali pakai parfum jika tidak pergi dari rumah.
“Selamat pagi, sudah bangun? Tidurnya nyenyak?” tanya Moza bertubi-tubi.
Kedua pipi Elena bersemu merah, mengingat apa yang terjadi di antara mereka semalam. Tidur Elena begitu nyenyak, sehingga pagi ini Elena malas untuk bangun tidur. Apalagi Elena bangun dalam keadaan yang hanya tertutup selimut miliknya saja tidak lebih. Baju yang Elena pakai pun juga sudah berserakan di atas lantai. Sudah dipastikan Elena hanya bisa menarik selimut itu setinggi mungkin untuk menutup bahunya yang terlihat sempurna di depan Moza.
“Hmm, iya.” jawab Elena seadanya.
“Baguslah. Aku tunggu diluar ya, aku lapar. Tolong buatkan aku sarapan kalau tidak keberatan.”
Mengingat kata sarapan, seketika itu juga Elena menepuk jidatnya sendiri. Seharusnya Elena bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan untuk Moza. Mengingat ketika pria itu bangun, Triska sudah siap dengan sarapan di atas meja. Tapi Elena …
Buru-buru mengambil bajunya dan mengenakan asal. Elena lebih memilih membersihkan dirinya lebih dulu, setelah itu barulah dia memasak sarapan paginya untuk Moza dan juga dirinya dengan masakan seadanya yang ada di dalam kulkas miliknya.
***
Seperti tidak terjadi sesuatu, Moza pulang dalam keadaan baik-baik saja. Pria itu membawa bingkisan kecil di tangan kirinya sebagai hatanganya, Moza baru ingat jika kemarin adalah hari ulang tahun Triska. Moza tidak memberi ucapan sedikitpun pada Triska, kecuali berpamitan tidak pulang. Sudah dipastikan Triska akan marah padanya karena ini kali pertama Moza lupa hari spesial Triska. Yang biasanya hampir setiap tahun Moza rayakan bersama dengan Triska. Tapi kali ini …
Mengetuk pintu layaknya tamu, Moza pun tersenyum sambil memandangi hadiahnya. Triska itu gampang sekali luluh, mau semarah apa dia pada Moza hanya dengan kata maaf dan tidak akan terulang kembali Triska sudah kembali seperti biasanya. Bahkan kadang Moza memanfaatkan ketulusan Triska itu untuk kesenangannya pribadi.
Sekali lagi, Moza kembali mengetuk pintu rumahnya yang tak kunjung dibuka oleh Triska. Dia menatap jam tangannya dengan kening yang mengkerut, tidak mungkin jika Triska masih tidur di jam segini kan? Ini sudah jam sepuluh pagi, dan yang jelas Triska akan melakukan aktivitasnya seperti biasa.
“Triska … .” panggil Moza akhirnya.
Sungguh, dia capek jika harus berdiri terus menerus di depan rumah, sedangkan sangat istri memilih untuk tutup telinga.
Tak lama, ada sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah mereka. Moza menatapnya heran, dia seperti tak asing dengan mobil yang baru saja terparkir indah di samping mobilnya. Melipat tangannya di dada, Moza pun menunggu sang pemilik mobil ini turun. Siapa lagi kalau bukan Triska dan juga Naufal.
“Ayah … .” panggil Naufal senang.
Moza tersenyum, tapi melihat Triska beli mobil membuat Moza menatapnya tajam. Kenapa dia menggunakan uang Moza untuk beli mobil dan tidak memberitahu Moza lebih dulu? Apa dia tidak tahu pengeluaran Moza sudah cukup banyak beberapa hari ini.
“Ayah baru pulang? Bunda bilang Ayah ada kerjaan penting, sampai Ayah nggak bisa pulang.” ucap Naufal.
“Iya nih, Ayah ada pekerjaan penting tapi sudah selesai makanya Ayah baru bisa pulang.” jawab Moza.
Triska menatap mereka dengan tersenyum hangat, lalu meminta Moza dan juga Naufal untuk segera masuk ke dalam rumah. Triska cukup tahu jika Moza masih sudah capek banget karena pekerjaannya, sehingga dia membutuhkan waktu untuk istirahat. Melihat Naufal yang berlari ke arah tangga, Moza pun sedikit membanting bingkisan yang dibawa di atas meja.
“Kamu bisa nggak bisa jangan boros begitu!! Kalau beli apa-apa itu bilang, jangan langsung beli begitu aja dong. Aku cari duitnya sudah loh, belum lagi bayi tabung yang kita jalani jalani mahal.” omel Moza.
Triska melongo mendengar hal itu, dengan tatapan bingung dia pun berkata, “Ini maksudnya apa sih Mas. Siapa yang beli nggak bilang dulu sama kamu? Selama ini aku pernah apa beli apapun tanpa sepengetahuan kamu? Beli daster aja aku mesti minta izin dulu ke kamu, dan sekarang kamu malah nuduh aku beli sesuatu tanpa izin. Apa sih Mas yang aku beli pake uang kamu selain kebutuhan kamu sama Naufal?” Triska terpancing emosi, dan tidak menyangka jika Moza akan berkata seperti itu pada wanita itu. “Dan lagi … bayi tabung itu atas kemauan kamu sendiri, aku sudah bilang kan jangan Mas tapi kamu ngeyel terus menerus. Yang katanya pengen anak kedua, aku pun juga begitu Mas tapi kalau Tuhan belum kasih mau gimana lagi? Jangan semua aku yang disalahin dong Mas, aku begini juga ngikutin kamu.” lanjutnya.
Mendadak Moza langsung diam, kalau Triska tidak menggunakan uangnya untuk beli mobil. Lalu wanita itu dapat uang dari mana bisa membawa pulang mobil? Padahal kan Moza cuma sehari tidak pulang, masa iya ada mobil bagus di rumahnya dan Moza tidak tahu.
“Kamu nggak lagi deket sama laki-laki lain untuk dapatkan mobil kan?” tuduh Moza.
Seketika itu juga mata Triska mendelik sempurna, apa-apaan ini!!!
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cincin Pernikahan
Storie d'amore🚫21+ (Revisi TOTAL!! Judul sebelumnya Dua Cincin) Dalam bayangan Triska Putri Wardani, pernikahan adalah hal yang paling sakral dalam hidupnya. Dia memiliki impian menikah sekali seumur hidupnya dengan orang yang dia cintai. dan hal itu benar terj...