Chapter-57

84 4 0
                                    

Riko tersenyum manis ketika melihat banyak sekali lembaran kertas di hadapannya. Isinya hanya sebuah bukti untuk memberatkan Moza. Dari pria itu mengirim uang bulanan untuk Elena tanpa sepengetahuan Triska. Membelikan rumah, hingga beberapa foto Moza dan juga Elena ketika di luar kota. Ditambah lagi record pengakuan Elena yang dimana Triska bisa menuntut lebih dalam kasus ini. Sayangnya, Triska tidak ingin. Dia hanya ingin Naufal hidup dengannya ketimbang tinggal satu rumah bersama dengan Elena dan Moza. Bocah itu belum tahu banyak hal, jika diberitahu hal seperti itu sudah jelas langsung percaya seperti kemarin. Entah apa yang Elena dan Moza katakan pada Naufal sehingga bocah itu benar-benar membenci Triska.

"Bukti ini bisa memberatkan Moza, dan hak asuh anak jatuh padamu, Tris." kata Riko.

"Hmm, aku nggak tenang kalau Naufal tinggal satu rumah dengan mereka. Yang kemarin aja bikin jantungan waktu ketemu." Jelas Triska.

Dalam hati Riko dia berharap bisa menyelesaikan masalah ini hingga tuntas. Dia bisa membawa seorang anak untuk kembali dalam pangkuan ibunya. Anak seusia Naufal memang seharusnya ikut ibunya bukan ayahnya, tapi Moza dengan paksa memisahkan anak dari ibunya, dan entah kenapa hal itu membuat Riko tidak suka. Anak yang menjadi korban atas apa yang terjadi dengan kedua orangtuanya.

Menyimpan bukti itu, Riko memutuskan untuk pergi. Ada pekerjaan lain yang harus dia kerjakan, termasuk menyiapkan laporan Triska. "Pergi dulu, have fun untuk kalian." pamit Riko.

Bagas dan Triska mengangguk kecil, menikmati secangkir teh hangat sesekali Triska menarik nafasnya panjang. Ada rasa tidak tenang dalam dirinya, matanya terus berkedut seolah akan terjadi sesuatu yang membuat Triska menangis. Tapi sebisa mungkin Triska berpikir positif, jika besok ada kebahagiaan yang menanti dirinya.

Meninggalkan mereka berdua, rasanya Triska benar-benar canggung. Kali pertama satu mobil, liburan bersama dengan orang asing. Yang biasanya Triska datang ke tempat seperti ini selalu bersama dengan Moza. Tapi kali ini …

"Besok kita bisa pulang." Ucap Bagas.

Triska mengangguk. "Iyaa, ibuku juga pasti nyari karena anaknya nggak pulang-pulang."

Bagas tersenyum tipis, tangannya tidak bisa berhenti mengetuk jarinya di pinggiran gelas. "Kamu beneran lupa ya Tris sama aku?"

Mengerutkan keningnya, wanita itu langsung menatap Bagas dengan nanar. Matanya seolah meneliti Bagas yang duduk disampingnya. Yang jelas Triska ingat betul siapa Bagas yang sekarang menjadi bos besar di perusahaan dimana dia tinggal. Mana mungkin hal sebesar itu Triska sampai lupa, yang ada Bagas akan memecatnya sepihak tanpa pesangon, belum lagi Triska yang harus membayar dendam karena keluar dari kantor belum saatnya.

"Ingat." Bagas merubah posisi duduknya, dia menatap Triska dengan tatapan berbinar. Setidaknya Triska ingat dengannya meskipun terlambat. "Pemilik Kurniawan Company kan?" tambah Triska polos.

Seketika itu juga bahu Bagas merosot seketika. Jawaban dan ekspektasi Bagas tidak sesuai, dimana Bagas yang berharap lebih dari jawaban wanita itu. Sedangkan dia hanya tahu siapa Bagas untuk dia. Tidak lebih dari kata Bos dan pemilik perusahaan.

"Gitu doang?" Tanya Bagas tanpa sadar.

"Iyalah, mau apalagi." Sahut Triska cepat, menatap Bagas seolah meminta penjelasan yang lebih detail lagi dari pria itu.

Disini Bagas menggeleng, mungkin benar jika wanita itu tidak mengingatnya sedikitpun. Seiring berjalannya waktu banyak yang berubah dari wanita itu begitu juga dengan Bagas yang tampil lebih dewasa dari sebelumnya. Makanya wanita itu tidak bisa mengingat Bagas sama sekali, tapi bagus dengan begini Bagas bisa terus menyembunyikan identitasnya.

"Lupakan. Masuk kamarku dan istirahat saja, saya mau berenang." Tegas Bagas dan mendapat anggukan dari wanita itu. Lebih baik seperti itu ketimbang harus berdebat dengan Bagas yang dimana Triska tidak tau sendiri apa masalahnya.



***

"Pokoknya kamu harus bantu aku. Memenangkan kasus ini dan aku beri kamu hadiah." Ucap Moza serius.

Menjauhkan ponsel itu dari telinganya, Moza pun tersenyum kecil. Dia menatap Elena dan meminta wanita itu untuk mendekat. Memeluk tubuh wanita itu yang sedikit berisi Moza pun mulai mengusap perut wanita itu yang sedikit menonjol.

"Aku sudah bilang dan merekayasa semua itu agar Triska yang bersalah, sayang." Kata Moza.

Elena tersenyum penuh kemenangan. Ini yang diharapkan, ini yang dia inginkan. Merubah posisi duduknya hingga menghadap Moza, wanita itu mengajak Moza dan juga Naufal untuk makan malam bersama diluar. Sepertinya terakhir kali mereka makan bersama ketika Elena masih dirumah sederhana itu, dan sekarang Elena ingin makan bersama dengan Moza begitu juga dengan Naufal.

"Boleh. Kamu panggil Naufal untuk siap-siap." Ucap Moza manis..

Elena tersenyum bahagia, diapun dengan susah payah bangkit dari duduknya. Menghampiri Naufal yang sibuk di dalam kamar bermain ponselnya, menurut Naufal enak hidup dengan Elena ketimbang dia tinggal dengan Triska. Menurut bocah itu hidup dengan Triska terlalu banyak aturan, bermain ponsel saat libur saja. Triska selalu melarang Naufal untuk bermain dengan anak-anak kompleks rumahnya. Tapi hidup dengan Elena membuat Naufal banyak memiliki teman dan menikmati kebebasan.

“Pakai ini kita akan pergi makan bersama.” Ucap Elena.

Naufal mengangguk, dia pun segera menggunakan baju yang dipilihkan oleh Elena. Masalah fashion sama saja, bedanya Triska suka Naufal menggunakan sweet seperti ala-ala korea. Sedangkan Elena lebih menyukai Naufal menggunakan baju simple tapi terlihat keren.

Setelah dirasa sudah, Elena pun memilih mengganti bajunya dengan baju ibu hamil yang modis dan keren. Dress dengan potongan dibawah lutut, lengan pendek berwarna abu-abu, dipadukan dengan bando berwarna putih yang cukup kontras dengan kulit dan bajunya.

“Sudah siap?” Tanya Moza memastikan

Elena mengangguk, dia pun mengambil clutch hitam miliknya dan turun kebawah dibantu oleh Moza. Maklum saja setelah Triska pergi dari rumah ini, dan rumah ini hanya ada dua kamar saja Elena memilih tidur dikamar atas bekas Triska dan juga Moza dulu. Kesal sih, tapi mau tidur dimana lagi kalau tidak dikamar ini? Naufal juga tidak mau pindah dari kamarnya hanya sekedar naik ke lantai dua.

Perlahan tapi pasti, akhirnya mereka pun sampai di lantai bawah. Elena sedikit berteriak untuk membuat Naufal keluar dari kamarnya, setelah itu barulah mereka berangkat bersama untuk makan malam. Sayangnya, ketika Moza menyentuh gagang pintu rumah ini dan membuka pintu itu dengan sangat lebar. Tidak hanya Moza saja yang kaget, tapi juga dengan Elena yang ikut terkejutnya ketika tahu siapa yang berdiri di depan pintu dengan wajah memucat.

Dua orang yang ketika ingin datang selalu saja Moza beralasan sibuk. Dua orang yang ingin bertemu cucunya yang selalu saja Moza yang antar. Dua orang yang entah kenapa menurut Moza tidak perlu tahu kasus apa yang sedang Moza sembunyikan dari mereka. Siapa lagi jika bukan …

“Mami … .” Pekik Moza.


To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang