Chapter-42

167 9 0
                                    

Dengan senang Moza datang ke rumah Elena sambil membawa banyak barang. Pria itu tersenyum bahagia setelah tahu Elena tengah hamil anaknya, dia begitu posesif dengan Elena dan tidak membiarkan wanita itu untuk bekerja terlalu keras setiap harinya. Bahkan Moza juga memberikan perawatan dan juga dokter kandungan yang terbaik di ibukota. Agar suplemen yang wanita itu minum adalah suplemen yang terbaik.

“Hai El … .” sapa Moza tersenyum manis di depan Elena yang tengah menikmati mangga muda.

Elena tersenyum manis, menatap banyak sekali barang yang Moza bawa hari ini untuk dirinya. “Belum ada tujuh bulan kenapa sudah beli, Za?”

“Ya nggak papa dong, yang penting sudah ada persiapan untuk calon bayi kita.”

Wanita itu menggeleng kecil, dia pun kembali menikmati mangga mudanya dengan nikmat sesekali menatap Moza yang sibuk mengeluarkan banyak barang yang dibeli dan menunjukkan pada Elena. Dari baju bayi yang lucu sekali dengan warna biru dan juga hijau, sepatu yang lucu dan juga beberapa botol susu yang sudah disiapkan. Semua ini Moza siapkan untuk menyambut calon bayinya, dan entah kenapa Moza memiliki firasat jika bayi yang ada dalam kandungan Elena adalah perempuan. Sekuat itu insting Moza pada calon bayi itu, seolah apa yang dia beli, apa yang disiapkan adalah hal yang terbaik untuk calon bayinya.

Usai membongkar semuanya, Moza pun langsung menaranya di lemari kecil yang ada di dalam kamar Elena. Disana ada satu lemari kecil yang beberapa hari lalu dibeli oleh Elena, dia memang sengaja beli karena ada beberapa bajunya yang tidak muat di taruh di lemari. Tapi yang ada lemari kecil itu dibuat untuk menyimpan baju bayi yang Moza belikan. Usia kandungan Elena masih satu bulan tapi Elena sudah se excited ini dengan calon bayinya.

“Happy banget ya kamu, Za.” kekeh Elena.

“Iya dong, calon ayah nih.” goda Moza sambil menarik kerah baju yang dia pakai.

Elena ikut tertawa kecil dan menyodorkan satu mangkuk mangga muda yang terlihat menggiurkan. Tapi dengan cepat Moza langsung menolaknya, aroma masan saja dia bisa cium apalagi jika Moza yang makan. Yang ada pria itu akan sakit perut jika makan mangga muda yang belum masak dengan sempurna.

Pria itu terus menatap wanita di depannya dengan bahagia. Coba saja jika dari awal Moza tidak berpisah dari Elena, mungkin waktu itu adalah waktu yang tepat untuk Moza menyatakan cintanya pada wanita itu. Dan mungkin saja jika hal itu terjadi Moza tidak akan menikah dengan Triska dan menyakiti wanita itu sedemikian rupa. Tapi mau bagaimana lagi, untuk dipertahankan juga bingung, mau dilepas pun juga tidak mungkin. Diantara dua pilihan yang jelas Moza memilih Elena.

Hampir setengah jam Moza memperhatikan Elena dengan serius. Hingga ponselnya berdering pun tak membuat Moza terganggu. Sehingga hal yang dia lakukan hanyalah mensilent panggilan masuk itu agar tidak terus terdengar. Sayangnya, Elena malah mengambil ponsel itu dan menunjukan id call di ponsel Moza.

“Triska telepon coba angkat dulu siapa tahu penting, Za.” kata Elena.

“Males. Palingan juga ngajak ribut.”

“Nggak mungkin, dia telepon udah berkali-kali loh. Udah pasti penting itu dia.”

Dengan bujuk rayu Elena, pria itu menerima panggilan masuk tepat di hadapan Elena. Dengan menyalakan tombol loudspeaker di ponselnya dan mengencangkan volume ponselnya agar tidak dirinya saja yang mendengar tapi juga dengan Elena. Agar wanita itu juga tahu jika apa yang Moza ucapkan  itu benar, hampir setiap hari Triska selalu marah dan membuat Moza tidak nyaman.

“Kenapa?” tanya Moza ogah-ogahan.

“Bisa pulang nggak Mas? Ini Naufal panas tinggi loh Mas, tolong anterin aku sama Naufal ke rumah sakit.” kata Triska di seberang sana dengan panik.

Moza mengerutkan keningnya, beberapa hari lalu Naufal nampak sehat tidak ada gejala sakit sama sekali. Dan sekarang Triska bilang jika Naufal sakit? Mana ada!!! Udah pasti alasan baru yang Triska buat agar Moza mau pulang dan mereka kembali bertengkar. Ini hanya akal-akalan Triska saja agar Moza kasihan, dengan alasan anak yang sakit. Dia itu seorang ibu waras nggak sih bilang begitu? Apa nggak takut kalau anaknya sakit beneran dan dia sendiri yang kebingungan?

“Apa sih!! Jangan bawa-bawa anak, orang Naufal nggak kenapa-napa juga.” jawab Moza cuek.

“Tapi aku beneran Mas. Ini Naufal lagi demam tinggi loh, tolong ya pulang anter kita ke rumah sakit.”

“Manja banget sih, bisa berangkat sendiri kan! Aku tau kamu bilang biar aku pulang terus kita bertengkar kembali kan? Aku capek begitu terus Tris, kamu seolah nggak bisa ngertiin aku selama ini. Apa-apa marah, apa-apa cemburu, apa-apa overthinking terus. Siapa yang bakalan betah begitu terus.”

Triska cukup terkejut dengan ucapan itu, dia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya sangking tidak percayanya. “Mas kamu itu bilang apa sih!! Kenapa jadi marah begini? Kalau nggak mau tinggal bilang aja nggak perlu ngatain aku ngertiin kamu selama ini atau enggak. Kalau emang nggak betah di rumah yaudah, kita pisah saja.”

Moza yang tersulut emosi apalagi mendengar kata pisah pun menarik ponselnya. “Yaudah kita pisah!!!” katanya … setelah itu barulah Moza menutup sambungan teleponnya secara sepihak lalu menatap Elena yang murung di depannya. “Tau kan seperti apa Triska selama ini? Selain menyakiti aku nggak ada yang bisa dia lakukan.”



***


Triska akhirnya pergi ke rumah sakit bersama dengan Bagas. Hanya pria itu yang mau menolong Triska yang tidak sanggup jika harus pergi sendiri ke rumah sakit, apalagi kalau sampai nyetir mobil dalam keadaan panic. Sudah pasti Triska tidak akan mau sama sekali.

Menggigit ibu jarinya Triska menatap putranya yang terbaring lemah di atas brankar dengan mata yang tertutup rapat. Jantung Triska berdebar kencang, bibirnya beberapa kali komat-kamit melantunkan doa-doa agar Naufal bisa segera ditangani. Untung saja Triska gerak cepat, melihat Naufal yang lemah dan sayup-sayup menutup mata, wanita itu cepat menelpon Moza meskipun berakhir dengan pertengkaran. Setelah itu barulah dia mencari Bagas yang akhir-akhir ini sedikit bersikap baik padanya.

“Kamu tenang saja, Naufal akan baik-baik saja.” kata Bagas menyakinkan.

Triska mengangguk kecil, meskipun begitu rasa khawatir yang dia rasakan tidak bisa berkurang. Naufal tiba-tiba saja demam tinggi setelah pulang sekolah, awalnya tidak ada gejala sama sekali. Tapi katanya pulang dari sekolah tubuhnya lemas, kepalanya pusing dan tentunya hal itu membuat Triska khawatir sehingga meminta Naufal untuk istirahat saja. Bukannya membaik Naufal malah semakin buruk kondisinya.

Hingga tak lama dokter pun datang, Triska maupun Bagas langsung menghampiri dokter itu dengan raut wajah yang lelah. “Bagaimana Dok? Apa yang terjadi dengan anak saya?” tanya Triska bertubi-tubi.

Dokter itu menghela nafasnya berat. “Anak Ibu terkena demam berdarah jadi harus dirawat intensif di rumah sakit.”

Demam berdarah? Membayangkan saja memb jaga Triska lemas. Terlambat sedikit saja sudah dipastikan nyawa Naufal melayang. “Lakukan apapun yang terbaik untuk anak saya Dok. Tolong.” kata Triska memohon.

“Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Ibu yang sabar ya.”


To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang