Chapter-40

117 9 0
                                    

Triska meneguk minumannya dengan santai, sesekali menatap Moza yang sibuk dengan ponselnya. Masalah uang dua ratus juta, Moza sudah membayarnya dengan lunas. Tapi tidak menjelaskan uang itu digunakan untuk apa pada Triska. Pria itu hanya bilang jika tagihan sebesar itu sudah ia bayar. Dan Triska juga tidak memperjelas uang itu untuk apa pada  Moza waktu itu, karena dia pulang dalam keadaan marah mengetahui Triska habis bertemu dengan Rizky di salah satu cafe dekat rumah bersama dengan Nisa. Entah siapa yang memberitahu tapi hal itu cukup membuat keduanya saling diam. Triska dengan egonya, begitu juga dengan Moza yang kekeh dengan egonya sendiri. 

Semakin kesini Triska semakin yakin jika ada sesuatu yang memang disembunyikan oleh Moza darinya. Entah apa itu, tapi yang jelas Triska merasa jika semuanya berawal dari kedatangan Elena. Semuanya berubah karena wanita itu, dan tentunya sekarang mungkin sudah saatnya Triska mencari kebenarannya sendiri. Meskipun sikap Moza sudah membaik dan jarang lagi marah padanya, seolah apa yang terjadi saat ini bukanlah masalah yang besar untuk Moza. 

“Nanti aku ada meeting di cafe jam makan siang. Mau makan siang bareng nggak?” kata Moza memastikan.

Triska menaikkan satu alisnya heran. Setelah pulang dari luar kota beberapa bulan yang lalu, sikap Moza tidak seperti biasanya. Dia selalu bilang sibuk jika diajak keluar sekedar beli minum untuk Triska. Dan kali ini Moza menawarkan diri untuk makan siang bareng Triska?

“Hmm, boleh juga.” jawab Trisak cepat 

“Aku tinggi di cafe X ya nanti jam satu.” 

Triska mengangguk, dia menatap punggung Moza yang pergi begitu saja dari hadapannya. Setelah satu bulan bekerja, Triska memilih membawa mobil sendiri karena Moza hanya sekali saja mengantar Triska pergi ke kantor dengan alasan sibuk. Itu sebabnya sekarang apapun Triska lakukan sendiri. 

Menarik tasnya Triska pun langsung memilih untuk pergi. Dia sudah terlambat beberapa menit karena obrolan mereka. Tapi mau bagaimana lagi untung saja Bagas baik hati dan memberikan sedikit waktu kelonggaran untuk Triska. Mungkin karena harus banyak belajar lagi, atau entah apa maksud dan tujuan Bagas tapi hal itu tak membahagiakan Triska ambil pusing.

Membutuhkan waktu tiga puluh menit akhirnya Triska pun sampai di kantor. Bersamaan dengan itu Triska juga melihat Bagas yang baru saja datang dengan tergesa-gesa. “Selamat pagi Pak.” sapa Triska dengan sopannya, dan tersenyum tanah di depan Bagas.

Pria itu pun juga ikut tersenyum sambil melirik jam tangannya. “Selamat pagi juga Triska, baru datang?” 

“Iya Pak, maaf saya terlambat.” 

“Tidak masalah. Nanti tolong semua jadwal dan juga laporan ditaruh di ruangan saya. Karena setelah ini saya harus pergi karena urusan.” 

Wanita itu hanya mengangguk, dia juga tidak banyak tanya mau kemana Bagas pergi dengan tergesa-gesa seperti ini. Mungkin ada file atau pertemukan penting yang mengharuskan dia datang ke tempat itu dengan tepat waktu. Sehingga bisa tidak bisa Bagas harus pergi dengan cepat. Keluar dari lift, Triska pun langsung menuju ruangannya, mengambil beberapa dokumen yang sudah selesai dan menaruhnya di ruangan Bagas. Tak hanya itu, Triska juga membuka tablet yang diberikan Bagas untuknya, melihat jadwal hari ini adalah jadwal penting atau tidak untuk pria itu. Dan nyatanya semuanya tidak, seolah kepergian hari ini adalah hari keberuntungan Bagas yang tidak ada halangannya sama sekali.

Mengirim jadwal itu pada Bagas, Triska bisa melihat Amel yang tiba-tiba saja masuk ke ruangannya dengan senyum yang mengembang sempurna. Triska sempat tersenyum, Amel adalah satu-satunya teman yang mau dekat dengannya sedangkan yang lainnya sedikit jengkel dengan posisi Triska dan juga sikap Bagas pada Triska yang terlihat begitu baik.

“Hai Tris … seperti biasa ya, masih ke pak Bagas dari divisi 506.” katanya menaruh map biru di samping komputer Triska 

“Iya nanti aku kasih, ini pak Bagas lagi pergi soalnya.” 

Amel cekikikan. “Ciee yang tahu segala hal tentang pak Bagas.” godanya tersenyum malu. “Langka banget loh pak Bagas begitu ke karyawannya, biasanya cueknya minta ampun.” 

“Masa sih? Kelihatan baik loh, murah senyum, ramah lagi, masa iya dikatain cuek.” 

Dan nyatanya memang hal itu yang terjadi, di sini banyak sekali wanita yang berlomba untuk mendapatkan Bagas. Nyatanya tak ada satu orang pun yang bisa mendapatkan hati Bagas. Dimata orang lain Bagas itu galak, Bagas itu cuek, Bagas itu dingin, Bagas itu tidak ramah sama sekali. Salah ketik dokumen saja Bagas langsung marah. Tapi dengan Triska seolah semuanya berubah, hanya dengan Triska saja tapi dengan wanita lain sikap Bagas masih sama. Dingin, cuek dan tidak ramah sama sekali, entah kenapa seperti itu tapi memang itu nyatanya. Sehingga satu bulan ini berita yang lagi viral di kantor adalah tentang perubahan Bagas dan juga sikap pria itu pada Triska. Itu sebabnya banyak sekali orang yang iri dan kesal pada Triska karena sekali Bagas yang baik pada Triska. 

“Jangan mulai, takutnya jadi fitnah. Tau kan aku udah punya suami Amel.” 

“Iya deh iya Tris, aku tau kok. Lagian cuma bercanda, kalau kamu belum menikah sudah pasti jadi dambaan pak Bagas.”  kekeh Amel.

Mungkin iya, dan mungkin saja tidak. Belum tentu Triska bisa menyukai Bagas seperti pria itu tertarik padanya. Niat dia disini hanya untuk bekerja tidak dengan yang lain. Mah pria itu tertarik atau tidak, Triska sama sekali tidak peduli. Hati dan pikirannya hanya milik Moza seorang tidak dengan yang lainnya.

“Udah ah, balik kerja lagi aja. Gosip.in atasan nggak baik loh, takut kegigit lidahnya pas makan.” tawa Triska.

Amel tertawa. “Iya deh iya. Bye Tris!!” 


***


Lagi!!! Triska harus menelan pil pahit ketika Moza mengirim pesan pada Triska jika pria itu tidak bakal datang menemuinya di cafe X. Dia harus pergi dengan alasan ada pertemuan penting lagi yang tidak bisa dia tinggal. Jabatan Moza memang tinggi, tapi bukan berarti dia sesibuk ini kan? Yang punya perusahaan saja ada jadwal libur dan juga kumpul dengan keluarga. Sedangkan Moza? Bahkan tidak memiliki sedikitpun waktu untuk berbicara berdua dengan Triska. Bahkan Naufal sendiri sampai sedih ketika Moza tidak lagi bisa meluangkan waktu untuk putranya. Ingin rasanya Triska protes, tapi wanita itu sadar dan yakin jika hal itu percuma. Moza tidak lagi mau mendengar apa yang Triska ucapkan dan memilih untuk pergi.

Menghabiskan segelas es coklat, Triska pun menghembuskan nafasnya kasar. Dadanya mendadak sesak, sehingga ketika dia ingin pergi dari tempat duduknya. Wanita itu menoleh dengan cepat setelah melihat seseorang berdiri di sampingnya dengan senyum yang mengembang. Benar kata Amel, apa yang dia lihat saat ini adalah hal yang langkah.

“Pak Bagas.” pekik Triska kaget 

“Saya buat kamu kaget ya, Tris?” tanya balik Bagas dengan raut wajah yang tidak enak. 

Triska menggeleng, mempersilahkan Bagas untuk duduk di hadapannya atau mungkin di sampingnya. Dia hanya tidak menyangka saja kalah Bagas akan datang ke cafe seperti ini, wanita itu pikir Bagas akan datang ke resto atau mungkin cafe bintang lima di ibukota. Tapi yang ada apa yang dipikirkan Triska bukanlah hal yang benar 

“Enggak kok Pak, lebih ke tidak menyangka saja kalau Bapak mau pergi ke cafe seperti ini.” 

Bagas tersenyum. “Jangan panggil Bapak, kita seumuran dan kita tidak di kantor.” wanita itu hanya tersenyum tipis sungkan. “Saya lihat kamu disini itu sebabnya saya mampir kesini. Kamu disini sendiri?” 

“Lagi nungguin suami, cuma tiba-tiba saja ngirim pesan kalau dia tidak bisa datang.” 

Raut wajah Bagas berubah total, yang tadinya tersenyum ramah menjadi walah yang dingin dengan tatapan yang tajam. “Sudah tau begitu kenapa masih bertahan?”




To be continued 

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang