Dengan langkah gontai, Triska memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya. Triska terus menangis di sepanjang jalan hingga dia sampai dirumah. Memeluk tubuh ibunya dengan erat, dan seolah menumpahkan semua yang dia rasakan selama ini. Rasa sakit, rasa kesal, rasa yang entah apa bahkan Triska sampai tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata kecuali tangisan yang terdengar memilukan.
“Ada apa Triska, ada apa?” tanya Muji penuh dengan kekhawatiran.
Triska tak langsung menjawab, dia pun memilih untuk menumpahkan semua tangisannya dalam dekapan ibunya. Seolah bibirnya tak mampu mengucapkan satu katapun kecuali teriakan dan juga isakan yang terdengar bersamaan.
Muji yang tidak tahu apa yang terjadi memutuskan untuk mengajak Triska masuk lebih dulu. Mungkin dengan duduk berdua di tempat yang sunyi, Triska mau berbagi cerita dengan ibunya. Meskipun Muji tahu Triska bukanlah wanita yang gampang sekali menceritakan apa yang wanita itu rasakan.
“Tenangkan dirimu dulu, Tris. Kalau sudah siap kamu boleh cerita, kalau nggak Ibu nggak masalah.” kata Muji mengalah.
Triska hanya menangis saja, tidak ada niatan untuk menjelaskan semuanya. Yang Triska inginkan hanyalah sebuah pelukan yang dimana semuanya akan terasa baik-baik saja. Sayangnya, mau mengelak kayak apapun juga endingnya dia yang sakit hati, semuanya sudah berakhir. Mungkin jika kehilangan Moza, Triska masih bisa menoleransi tapi bagaimana dengan Naufal? Rasanya hidup Triska seperti ada yang kosong, ada yang kurang yang dimana setiap hari bisa bertemu, setiap jam bisa melihat wajah putranya. Kali ini Triska hanya bisa memendam semuanya dan menatap foto wajah putranya. Moza begitu kejam, bocah seusia Naufal tidak akan tahu apa yang terjadi dengan orang dewasa.
Melepas pelukan itu, Triska mengusap air matanya yang terus saja mengalir. Dia sesenggukan, sehingga membuat kepalanya pusing setengah mati. Terlalu lama menangis membuat penampilan Triska benar-benar kacau.
“Ibu aku mau pisah dari Mas Moza.” kata Triska sekali tarikan nafasnya
Muji terkejut sampai menyentuh dadanya. “Loh kenapa? Ada masalah apa kamu sama Moza kok sampai pengen pisah.”
Dari awal pernikahan hingga sekarang, semuanya Triska ceritakan. Dari sikap Moza yang seenaknya, lebih mementingkan orang lain ketimbang istri dan juga anaknya. Mungkin terlihat seolah Triska yang paling tersakiti, tapi memang hal itu terjadi. Meskipun Moza selalu memberinya hadiah tanpa diminta bukan berarti kehidupan Triska seenak yang orang lain pikirkan. Selain batin Triska juga merasa hampir gila karena Moza. Belum lagi tekanan Moza yang menginginkan sesuatu dan itu Triska harus mengabulkan, membuat Triska kesulitan untuk bernafas lega. Seolah dia tengah hidup di tengah jeruji besi yang mengurung dirinya. Ditambah lagi kedatangan Elena hingga dia sampai pergi dari rumah pun Triska ceritakan pada ibunya.
Tentu, hal itu membuat Muji tidak percaya. Selama ini Moza anaknya cukup baik, peduli dengan Triska dan juga putranya. Rasanya sangat aneh jika tiba-tiba saja Triska menggugat Moza tanpa alasan. Yang ada perceraian mereka tidak akan ada hasilnya.
“Dia sudah selingkuh Ibu, dan sekarang selingkuhannya tengah hamil. Mereka juga sudah menikah siri. Mas Moza nggak mau pisah dari aku, dia pengennya aku dimadu. Aku yang nggak mau Ibu, aku nggak mau di madu.”
Triska kembali menangis, dia pun kembali memeluk ibunya dengan tangisan yang luar biasa. “Mas Moza ngusir aku, karena ular itu Ibu. Aku difitnah dibilang aku mau mencelakai Elena, padahal enggak sama sekali. Aku memang benci Elena, bukan berarti aku mau ngebunuh bayi itu, aku nggak segila itu. Cuma dia bilang akh mencelakakan Elena, dan mas Moza mengusir ku melarangku bertemu dengan Naufal. Aku pokoknya mau pisah.”
Muji mengusap rambut Triska dengan lembut. “Pikirkan kembali, kasihan Naufal kalau kedua orang tuanya berpisah. Bertahan ya demi anak.”
Triska semakin menangis, inilah kenapa dia tidak ingin berbicara dengan ibunya. Bukannya didukung anaknya pisah, yang ada anaknya malah di suruh bertahan demi anak. Dan menurut Triska, anak bukanlah alasan utama untuk mempertahankan sebuah rumah tangga. Jika dari awal rumah tangga nya sudah kotor mau dibersihkan kayak apapun juga bakalan kotor. Jadi, menurut Triska sekarang percuma menyimpan dan mempertahankan semua ini karena penyakit selingkuh tidak akan sembuh sampai maut menjemput orang itu.
****
Moza merasa pusing, sejak siang tadi mendengar suara Naufal yang terus saja memanggil nama bunda. Sudah dikasih tahu jika Triska pergi dari rumah ini meninggalkan dirinya, bukannya diam yang ada Naufal malah tantrum tidak jelas sampai mengunci diri di dalam kamarnya. Sedangkan Elena sudah mencoba berbagai cara untuk membuat Naufal mau menerima dirinya.
“Anak kamu benci banget ya sama aku, Za. Sampai aku deketin aja dia nggak mau.” kata Elena sedih. Lebih tepatnya pura-pura sedih, karena wanita itu tidak membuktikan Naufal sama sekali, menurut Elena Naufal tinggal disini sangat merepotkan. Seharusnya Naufal ikut Triska saja, jangan Moza. Tapi tunggu … harusnya Elena bisa membuat Naufal membenci ibunya kan?
Moza memijat pelipisnya. “Bukan benci, lebih tepatnya nggak biasa aja sama kamu.” jelas Moza.
Tapi disini dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin, Elena pun menjelaskan dari awal bertemu dengan Naufal, bocah itu sudah tidak suka dengan Elena. Dia tidak welcome sama sekali, tidak mau berbicara bahkan ketika Elena mendekatinya Naufal lebih memilih pergi ketimbang harus berinteraksi dengan Elena. Itu sebabnya wanita itu kesulitan untuk pendekatan dengan Naufal.
“Tapi dari awal dia—”
“Jangan dipikirkan lebih baik mikirin diri kamu sendiri sama bayi kita. Aku nggak mau dia kenapa-kenapa.” potong Moza.
Elena mengangguk, dia pun mengusap perutnya yang masih datar, dengan bayi ini dia bisa membuat Moza tetap berada disampingnya. Setidaknya Elena sudah berhasil menyingkirkan Triska dalam hidup Moza, tinggal membuat pria itu menyesal telah menikah dengan Triska.
“Kamu istirahat aja, nanti kalau Naufal laper juga keluar sendiri.” kata Moza kembali.
Elena mengangguk, dia tidak mengikuti apa yang Moza katakan. Bukannya pergi ke kamarnya, Elena malah pergi ke kamar Naufal. Mengetuk pintu kamar bocah itu dan sesekali memanggil nama Naufal. Tapi tak ada sahutan sama sekali dari dalam sana, seolah ruangan itu kosong tanpa penghuni sama sekali.
“Naufal buka pintunya, Tante mau ngomong loh sama kamu.” kata Elena tidak mau menyerah.
Sampai panas tangan Elena mengetuk pintu kamar ini, tapi bocah sialan itu bahkan tidak ada niatan untuk membuka pintu. Sampai akhirnya Moza yang mendengar teriakan Elena di lantai bawah pun berlari kencang menghampiri Elena. Takut terjadi sesuatu dengan Elena dan juga calon bayinya. Tapi yang ada Moza malah dikejutkan dengan Elena yang berdiri di depan pintu kamar Naufal dan terus memanggil nama bocah itu.
“Elena kamu ngapain masih disitu? Aku nyuruh kamu istirahat loh.” pekik Moza.
Elena terkejut, membalik badannya menatap Moza dengan wajah khawatir. “Aku khawatir sama Naufal, aku cuma pengen dia keluar kamar untuk makan. Kalaupun nggak mau ada aku nggak masalah aku bisa pergi.”
Moza menggeleng. “Dia terlalu dimanja sama Triska makanya berani sama orang lain. Didikan macam apa itu, sampai nggak sopan banget sama tamu!!” cibir Moza.
Disisi lain Naufal yang mendengar hal itu hanya bisa menggigit bantal agar tangisannya tidak terdengar siapapun. Ini bukan salah ibunya, tapi ini memang kemauan Naufal yang memang dari awal tidak welcome dengan Elena. Naufal tidak menyukainya, masa iya dia salah dalam hal ini? Wanita itu tidak tulus dengan Naufal, sama sekali tidak tulus seperti ibunya.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cincin Pernikahan
Romance🚫21+ (Revisi TOTAL!! Judul sebelumnya Dua Cincin) Dalam bayangan Triska Putri Wardani, pernikahan adalah hal yang paling sakral dalam hidupnya. Dia memiliki impian menikah sekali seumur hidupnya dengan orang yang dia cintai. dan hal itu benar terj...