Chapter-26

211 8 0
                                    

“Kemarin aku ke rumah kamu.” ucap Elena.

Moza melirik sejenak lalu kembali fokus mencari handuk di koper kecilnya yang dia bawa. Ya, Moza baru saja sampai di kota seberang tepat jam sepuluh pagi. Dia berangkat dari rumah jam enam pagi dengan alasan tidak terjebak macet, padahal yang terjadi kali ini Moza pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan, sebenarnya dia mengambil libur selama satu minggu untuk bisa menghabiskan waktu bersama dengan Elena. Dia hanya ingin bersikap adil jika dia memiliki waktu banyak dengan Triska, maka dia juga harus memiliki banyak waktu dengan Elena. Meskipun tidak harus setiap hari menginap dirumah Elena, setidaknya dengan begini Elena tidak berpikir kalau Moza tidak adil dengannya. Itu sebabnya dia menipu Triska dan tidak mengajak Triska pergi, karena Moza ingin pergi bersama dengan Elena.

“Iya aku tau, Triska yang bilang.” menemukan handuk yang dia cari, Moza pun menatap punggung Elena dengan nanar, wanita itu berdiri di dekat jendela penginapan dan menatap ke arah luar. “Kamu juga bilang kalau sudah menikah kan?”

Elena mengangguk. Dia terpaksa bilang ketika mengetahui foto prewedding Elena dan juga Moza uang menjadi wallpaper di ponselnya. Tapi untungnya foto Moza saat membelakangi kamera, coba saja kalau dari depan mungkin saja Triska akan marah besar. Dia terpaksa berbohong jika dia sudah menikah kembali dengan warga kampung, dia terpaksa menikah agar Rizky tidak menyakiti nya kembali. Setidaknya ada orang yang melindungi Elena setelah ini, makanya Triska sempat marah pada Elena karena tidak diundang.

Mengingat hal itu Elena pun tersenyum kecil. Jika saja Triska datang dan melihat Elena menikah dengan siapa. Mungkin saat itu saja adalah hari terakhir Elena hidup di dunia ini.

Moza mendengus, melempar handuk kecil itu di atas tempat tidur dan menghampiri Elena. Kalau sudah begini agar Triska tidak curiga dengan pernikahan Moza dan juga Elena, pria itu harus berhati-hati dan lebih mempedulikan Triska seperti dulu. Agar jika ada aduan apapun Triska lebih percaya dengan Moza ketimbang dengan orang lain.

Memeluk tubuh Elena dengan erat, sambil mengecup bahu wanita itu Moza meminta Elena untuk mengganti wallpaper ponselnya dengan gambar dirinya atau apapun itu. Jangan foto yang ada Moza nya, takutnya Elena teledor atau lupa dan malah membuat Triska curiga. Moza bahkan belum siap seratus persen untuk menghadapi emosi Triska kalau dia tahu Moza menikah dengan Elena.

“Kamu juga belum bilang apapun ke Triska soal pernikahan kita apa?” tanya Elena penuh selidik.

Moza menggeleng. “Belum. Aku masih cari waktu yang tepat untuk bilang ke dia semua ini, kalau untuk saat ini jangan dulu.”

“Kenapa? Se cinta itu ya kamu sama Triska, Moza?”

Pria itu tersenyum kecil, dia pun menatap wajah Elena yang teduh sekali di hadapannya. Ya Tuhan … perasaan apa ini, kenapa jantungnya berdebar seperti dulu lagi? Debaran yang sama … yang pernah Moza rasakan beberapa tahun yang lalu ketika mereka masih sekolah dulu. Rasa itu masih sama, debaran itu juga masih sama. Apa mungkin rasa yang dulu pernah Moza rasakan, Moza miliki dulu dengan orang yang sama kembali lagi untuk Elena?


****

Setelah bergulat, memadu kasih, dan menikmati permainan yang cukup lama. Moza pun terbangun dengan deringan ponselnya yang berdering sejak setengah jam yang lalu. Pria itu menatap ponselnya dan ternyata yang menelpon adalah Triska, buru-buru pria itu menerima panggilan masuknya dengan sedikit menjauh dari Elena. Tanpa memperdulikan tubuhnya yang telanjang bulat di depan gorden penginapan.

“Hallo Tris … ada apa?” ucap Moza sebagai sapaan.

“Kamu udah sampai kenapa nggak ngabarin aku sih Mas? Aku khawatir nungguin kabar kamu dari tadi sampai gak mau ngapa-ngapain.”

Moza tertawa kecil, dia meminta maaf karena terlalu capek nyetir sendiri. Itu sebabnya ketika dia sampai di hotel, dia langsung istirahat. Niat hati ingin rebahan tapi yang ada Moza malah ketiduran sampai sekarang, dan lupa memberitahu Triska jika dirinya sudah sampai jam sepuluh pagi tadi. Tau sendiri kan kota kali ini cukup jauh dan menempuh jarak sampai empat jam untuk datang ke kota ini.

“Sorry deh sorry, nggak lagi.”

Moza melirik Elena yang sibuk menggunakan bajunya, sedangkan dirinya saja tidak menggunakan apapun. Apakah itu bisa disebut adil?

Menghampiri Elena dan meminta wanita itu untuk diam. Moza lebih memilih diam mendengarkan cerita Triska kali ini, seperti biasa ada banyak sekali cerita uang Triska ceritakan ketika mereka berjauhan. Hal ini sudah biasa, tapi entah kenapa beberapa hari ini Moza merasa Triska begitu bahagia. Dia adalah wanita paling bahagia di muka bumi ini jika bisa digambarkan pada dunia dan seisinya.

Bibir Moza kembali memagut bibir Elena dengan pelan, seolah menikmati setiap sentuhan ciuman itu dengan mata yang terpejam. Sesekali bergumam untuk merespon cerita Triska yang panjang kali lebar tiada henti. Tidak hanya itu  Moza harus menahan gairah yang bergejolak dan suara desahan yang ingin sekali keluar dari bibirnya. Tapi sebisa mungkin Moza menahannya agar Triska tidak mendengarkan suara brengsek ini. Sungguh … sesuatu ingin meledak dalam diri Moza, begitu juga dengan Elena yang sudah siap menggigit banyak agar tidak menimbulkan suara yang menjijikkan. Tidak tahan dengan semua ini, Moza pun bersikap gila. Telepon itu masih tersambung dan Moza mendengar suara Triska dengan jelas, tapi tubuhnya mulai menikmati satu persatu sentuhan yang Elena berikan pada dirinya.

“Astaga … .” desahan Moza akhirnya lolos dari bibirnya, saat dia berhasil memasuki Elena dengan begitu nikmati.

Pria itu bisa melihat Elena yang begitu menikmati sentuhannya, dan hanya bisa menggigit bibir bawahnya untuk menahan suaranya.

“Kenapa Za? Apa yang terjadi?” pekik Triska yang terlihat khawatir di seberang saja.

Moza mencoba menetralkan suaranya lebih dulu, setidaknya suaranya tidak putus-putus apalagi suaranya yang ngos-ngosan. “Hmm … ini kopiku tumpah ke berkas penting, padahal besok mau dipakai presentasi.”

Suara yang mirip desahan itu sedikit membuat Triska mengerutkan keningnya. Suara Moza tidak seperti ini, kecuali mereka sedang memadu kasih di malam hari. Tapi mana mungkin Moza seperti itu, dia bisa menahan dirinya untuk tidak berhubungan badan dengan Triska jika memang sibuk bekerja.

“Tumben banget minum kopi, biasanya teh Mas.”

“Lagi pengen aja minum kopi, disini hawanya dingin keinget kamu terus. Makanya aku pesen kopi aja tadi.” jawab Moza asal.

Moza memelankan ritme permainannya ketika sesuatu menggigit di bawah saja. Belum lagi Elena yang terus mengangkat pinggangnya ke atas, seolah dia sudah hampir pada puncaknya. Tapi karena permainan Moza hal itu membuat Elena sedikit kesal dan memukul lengan Moza yang berada di pinggangnya. Rasa itu benar-benar tidak enak di diri Elena.

Melihat reaksi Elena yang sempat marah padanya, Moza menatap layar ponselnya dan membisukan suara panggilannya. Setelah itu melempar ponselnya ke sembarang arah dan hanya mendengarkan suara Triska yang kembali bercerita. Sedangkan Moza … dia lebih mementingkan selakangannya ketimbang harus mendengar ucapan Triska. Kembali mencumbu Elena dengan mesra nya mereka pun memutuskan untuk meneruskan apa yang sudah mereka mulai.


To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang