Chapter-48

104 7 1
                                    

Selama satu minggu di rumah sakit, Triska hanya fokus dengan kesembuhan Naufal dia tidak peduli lagi dengan Moza yang sudah satu minggu ini pula tidak menemuinya. Pria itu benar-benar menghilang ditelan bumi, tidak pulang ke rumah, tidak memberi kabar atau sekedar bertanya bagaimana keadaan Naufal saat ini. Tidak ada yang harus di pertahankan, semuanya sudah jelas terbukti ketika Triska meminta Moza memilih pria itu lebih memilih hidup bersama dengan Elena ketimbang dengan wanita yang sudah dua belas tahun bersama dengannya. Sekarang Triska sudah berpikir panjang, Moza tidak mungkin menggugat dirinya. Atau mungkin Moza inginnya Triska dimadu, sedangkan yang terjadi Triska paling benci dengan pengkhianatan. Dia benci dengan perselingkuhan, apapun yang terjadi seharusnya bukan jalan seperti ini. Apalagi sampai memiliki anak dari wanita lain ketimbang dengan istrinya sendiri. 

Bangkit dari duduknya, wanita itu membawa map merah muda dan masuk ke ruangan Bagas. Pria itu terlihat fokus dan serius dengan tablet di tangannya, tangan kiri yang memegangi kepalanya sebagai penyangga agar kepala itu tidak doyong kebawah.

“Selamat siang Pak.” sapa Triska dengan tersenyum manis.

Bagas mendongak, menatap Triska yang datang ke ruangannya dengan tersenyum paksa. Bagas tanya senyum itu tidak tulus seperti yang Bagas lihat sebelumnya. “Kamu sudah masuk kerja? Bagaimana keadaan Naufal?” 

Ya, hampir setiap hari Bagas selalu menanyakan kabar Naufal. Apakah dia sudah makan? Apakah dia sudah minum obat dengan teratur? Atau mungkin  apa kata dokter, dan kapan Naufal bisa pulang. Pertanyaan itu hampir setiap hari Triska Terima dari orang lain yang jelas-jelas bukan dari keluarga Triska sendiri. Sedangkan bapaknya … Triska hanya bisa menggeleng kecil sebagai reaksi itu. 

“Sudah Pak, saya sudah libur terlalu lama. saya tidak enak dengan karyawan lainnya dan juga Bapak.” jelas Triska.

Bagas tersenyum kecil. “Terus Naufal dirumah sama siapa? Tidak masalah kalau ingin libur lagi.” canda Bagas, seolah dia mengajak Triska untuk tidak memikirkan masalah itu.

Ya, malam itu Bagas akui jika Triska adalah wanita kuat. Dia tidak pernah melihat Triska menangis di tempat sepi dan meraung sesakit itu. Bagas yang mendengarkan saja merasa pilu, meskipun dia tidak tahu hal apa yang membuat Triska menangis dan sekacau itu. Untung saja Nico langsung memberitahu Bagas tentang Triska dan juga suaminya yang bertengkar hebat. Karena Triska mengetahui jika suami ya menikah kembali. Istri mana yang Terima dengan hal itu? Jangankan istri, kalau saja Bagas sebagai suami dan melakukan itu mungkin dia adalah orang yang paling murahan berani menyakiti orang lain yang jelas-jelas sudah memberikan marga ayah untuk dirinya. Hanya saja … mungkin Moza tidak berpikir sampai sana, makanya dia hanya memburuk suka karena orang yang dia cintai kembali dalam hidupnya, melakukan hal yang seperti dia lakukan dulu pada orang itu dan diperlakukan spesial. 

“Naufal di rumah sama sibuk saya Pak. Aduh … ini kalau libur terus tapi gaji full ya boleh loh Pak.” balas Triska dengan bercanda 

Meskipun hidupnya sudah hancur, kepalanya terus terasa pusing dan juga memilih untuk banyak diam. Bukan berarti Triska tidak boleh tertawa bukan? Meskipun itu hanya formalitas. 

Naufal terkekeh geli. “Taruh situ saja, nanti aku cek lagu kerjaan kamu. Ah yaaa, jadwal saya hari ini tolong dicek ya, ada pertemuan penting atau tidak. Selama kamu nggak kerja jadwal saya sedikit berantakan soalnya.” 

Triska meminta maaf atas hal itu, dia terlalu sibuk menguduskan Naufal sehingga lupa jika saat ini Triska juga bekerja disalah satu perusahaan asing yang sedang berkembang. Dia menyamakan dengan dirinya yang dulu, yang lebih fokus dan lebih banyak mengurus rumah ketimbang yang lain. Dan setelah disadarkan oleh ibunya sendiri, barulah Triska ingat jika dia juga bekerja dan sudah satu minggu tidak masuk kantor. Untung saja bosnya itu tidak galak dan lebih pengertian dengan keadaan Triska kali itu, sehingga satu minggu tidak masuk kantor tidak membuat wanita itu dipecat.

“Kalau begitu saya permisi ya Pak. Terimakasih sebelumnya.” kata Triska, dan membuat Bagas mengangguk kecil.

Menatap punggung wanita itu Bagas pun mendesah. Dua belas tahun bukanlah waktu yang singkat, itu cukup lama untuk mengetahui dia itu cinta atau tidak pada seseorang. Tapi Triska mampu bertahan sedemikian rupa dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Triska yang merasa cinta sendiri sedangkan Moza tidak sama sekali.



***


Moza memutuskan untuk pulang ke rumah, sudah satu minggu dia tidak pulang ke rumah hanya perkara masalah ini. Tidak baik jika masalah ini berlarut-larut dan tidak ada kejelasan sama sekali. Entah harus berbuat apa tapi yang jelas masalah ini harus selesai saat itu juga. Turun dari mobil, Moza menarik nafasnya panjang, dia masuk dengan jantung yang berdebar kencang. Sungguh, berdebat dengan Triska tidak terbayang di benaknya apalagi pria itu sudah melihat bagaimana Triska yang galaknya menyerang Elena tanpa ampun. Kalau saja waktu itu Moza tidak memisahkan, mungkin Moza akan kehilangan calon bayi yang dikandung oleh Elena. 

Tangan Moza bergetar menyentuh gagang pintu, tapi dengan sekali tarikan nafasnya Moza membuka lebar-lebar pintu rumah ini dan menatap sekeliling rumah ini dengan nafas lega. Triska belum pulang kerja, padahal ini sudah jam lima sore. Seharusnya dia pulang lebih awal awal Naufal memang sakit, dari sini Moza bisa melihat wanita itu banyak bohongnya hanya untuk mencari perhatian Moza. Memutar bola matanya malas, Moza pun segera masuk ke rumah itu dengan ogah-ogahan, padahal dia sudah janji akan kembali ke rumah ini bersama dengan Elena. Tapi mau bagaimana lagi … 

“Ngapain kesini? Ingat rumah ya?” cibir Triska.

Moza menatap Triska dengan malas. Dia pun melihat tangannya memperhatikan penampilan Triska yang berubah. “Kenapa? Ini rumah aku, beli juga pake duit aku. Mau pulang atau nggak itu urusan aku!!” katanya sinis.

Mendengar hal itu Triska hanya tertawa. Dia tahu betul jika rumah ini adalah rumahnya, Triska hanya menumpang dirumah ini karena memiliki status seorang istrinya Moza tidak lebih dari itu.

“Aku tau … nggak perlu mengingatkan aku masalah itu!!” 

“Bagus dong kalau sudah sadar, kamu pikir kamu berharga?” 

Mendengar hal itu Triska pun tertawa kecil dengan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. Sesakit itu ya mencintai orang yang tidak pernah mencintai balik kita sendiri?

“Sekarang maunya apa? Kamu bahkan punya kartu debit lain aja aku sampai nggak tau. Ponsel ada dua pun juga aku nggak tau, ini kamu udah ada rencana begini ya sebelumnya kok rapi banget? Sekarang maunya apa? Pisah aja yuk, aku nggak mau begini terus.” 

Moza menatap Triska tajam, dia pun menunjuk wanita itu dengan jari telunjuknya. “Kamu bilang apa? Pisah? Kamu pikir aku mau pisah dari kamu? Tidak Triska, tidak!! Aku ingin punya dua istri dalam hidupku bukan satu istri. Aku maunya kamu dimadu bukan berpisah, camkan itu!!” katanya dan berlalu. 

Mendengar hal itu Triska kembali menangis. Wanita mana yang rela berbagi suami dengan wanita lain? Begitu juga dengan Triska yang tidak ingin tersiksa hanya untuk melihat Moza lebih bahagia hidup bersama dengan Elena. 



To be continued 

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang