Chapter-38

92 5 0
                                    

Seperti biasa, setelah pulang dari kantor Triska kembali menjadi seorang istri. Memasak untuk suami dan juga Naufal yang baru saja diantar pulang oleh mertuanya. Triska tersenyum kecil, menyakitkan beberapa masakannya di atas meja makan. Sehingga membuat Naufal tersenyum dan bertepuk tangan.

“Masakan  Bunda itu nggak ada duanya.” puji Naufal.

“Oh yaaa?”

Naufal mengangguk. “Paling enak menurut aku.”

Triska tersenyum kecil, lalu menatap Moza yang baru saja turun dari tanggal dengan penampilan yang sudah rapi. Triska mengerutkan keningnya menilai penampilan Moza yang terkesan berlebihan. Pria itu jarang menggunakan parfum ketika dirumah, dan lagi aroma parfumnya juga berbeda dari yang biasa dia pakai. Kenapa ganti parfum Moza tidak bilang ya?

Duduk di samping Triska, pria itu tersenyum kecil. “Kenapa ngeliatin aku begitu, Tris?” tanya Moza yang merasakan risih dengan tatapan Triska.

“Hmm, bau parfum kamu beda. Kenapa ganti nggak bolang?” tanya Triska memicing.

“Hal kecil begini masa iya harus bilang Tris? Ini aromanya enak juga kok sama kayak yang seperti kamu beliin.”

“Nggak pernah tuh!!” cetus Triska.

Moza memilih diam, raut wajahnya sudah berubah. Dia tidak suka berdebat dengan Triska di depan Naufal. Apalagi anak laki-lakinya itu seolah bimbing menatap kedua orang tuanya yang menunjukkan raut wajah tidak sukanya. Menikmati makannya dengan diam, Moza seraya berpikir mencari alasan yang tepat untuk dia tidak pulang malam ini. Bagaimanapun Moza harus adil, setiap satu minggu sekali dia pergi ke rumah Elena untuk menginap. Jika sekedar main Moza bisa melakukannya sesuai yang dia inginkan. Hanya saja sekarang apa yang harus dilakukan untuk beralasan pada Triska?

“Hmm, ponsel aku ketinggalan di atas Tris bisa tolong ambilin nggak?”

Triska mengangguk kecil. Dia pun langsung pergi ke kamarnya untuk mengambil ponsel pria itu. Alangkah terkejutnya Triska ketika melihat dua ponsel yang berjejer rapi di atas meja rias. Alis wanita itu mengerut, membuka dua ponsel itu secara bersamaan dengan wallpaper yang sama. Semua langit senja yang begitu indah. Salah satu diantara ponsel itu Triska tahu jika ponsel itu milik Moza, tapi yang satunya lagi Triska nampak asing dengan ponsel itu. Warna ponsel Triska berwarna gold, milik Moza dan Naufal berwarna hitam, dan ponsel di samping itu memiliki warna abu-abu. Ponsel siapa ini?

Membuka layar kunci kedua ponsel itu Triska mengerutkan keningnya  yang biasanya langsung buka ke menu utama. Yang wanita itu lihat saat ini adalah keyboard angka yang harus dimasukkan. Yang artinya ponsel ini telah dikunci yang gimana Triska tidak tahu angkatnya berapa.

“Sejak kapan hpnya mas Moza dikunci?” gumam Triska pelan.

Membawa dua ponsel yang ada di tangannya, Triska pun segera turun ke bawah. Melihat raut wajah Moza yang gelisah diatas meja makan, Triska nampak biasa saja dka melihat Naufal yang sudah tidak ada di meja makan lagi.

“Dimana Naufal?” tanya Triska heran.

“Habis makan langsung masuk ke kamar, besok katanya ada SAS dan dis belum belajar.” jelas Moza.

Wanita itu mengangguk kecil, dia pun langsung memberikan dua ponsel yang dia temukan di kamar hingga membuat wajah Moza memucat. Dalam hati Moza berharap jika Triska tidak membuka ponselnya dan mengetahui isi pesan ponsel itu. Yang dimana disitu ponsel untuk Triska dan satu ponsel lagi untuk Elena. Pria itu melakukan hal ini agar terlihat aman, tidak saling curiga meskipun Elena bisa menerima keadaannya yang menjadi istri kedua. Tapi bagaimana dengan Triska? Sudah pasti wanita itu tidak mau di madu.

Triska sedikit menyindir perkara ponsel yang dimana Moza memiliki dua ponsel tanpa sepengetahuan Triska. Padahal dari awal Moza dan Triska sudah berjanji untuk saling terbuka dan saling memberitahu apa yang terjadi selama ini. Tapi akhir-akhir ini Moza banyak sekali berubah, banyak sekali hal yang dilakukan tanpa sepengetahuan Triska. Padahal walaupun dia membutuhkan satu ponsel lagi pun Triska tidak akan masalah, hanya saja Triska cuma ingin Moza jujur. Masa iya Triska salah?

“Aku beli ini juga kepepet Tris, data yang masuk ke ponsel aku udah nggak muat. Masa begitu aja kamu permasalahkan?” dengus Moza.

“Bukan gitu Mas, minimal ngomong apa sih susahnya ngomong? Tinggal bilang mau beli HP lagi, aku juga nggak masalah Mas.”

Moza memutar bola matanya malas, melipat kedua tangannya di dada sambil menatap Triska jengah. “Yang begini nih yang bikin aku nggak lagi betah di rumah. Yang awalnya nuduh sama Elena, bau parfum beda, pulang telat, nggak bisa dihubungi  sekarang cuma perkara ponsel doang kamu permasalahkan. Itu cuma masalah sepele loh tapi kayaknya gede banget masalahnya di kamu!!”

Ya gimana nggak gede kalau apa-apa saja Moza nggak mau bilang? Coba dari awal Moza bilang mungkin hal ini tidak akan terjadi, Triska tidak akan mempermasalahkan semuanya. Jika Moza mau berkata jujur, tapi disini kan Moza tidak bilang apapun sama Triska. Ya, mungkin hanya masalah kecil tapi kan pikiran orang berbeda kali ya. Bagi Triska ini bukan kecil lagi semuanya berubah tidak sesuai dengan yang Triska tata dari awal. Boleh tidak sih Triska curiga? Boleh tidak Triska marah jika apa yang terjadi sebelumnya berbeda dengan yang sekarang? Apa Triska sudah tidak memiliki hak sepenuhnya lagi untuk Moza? Kalau iya kan tinggal ngomong, minimal Triska sadar diri.

“Baru kerja sehari aja udah belagu, apalagi kalau udah lama.” cibir Moza.

“Aku kerja karena aku pengen beli apapun pake duit aku sendiri, Mas. Aku nggak punya hak atas uangmu itu  yang dimana pengen beli lipstik akan harus izin kamu dulu. Kalah kamu nggak boleh aku juga nggak beli, padahal kamu tau lipstick aku habis. Giliran nggak beli dibilang nggak mampu beli, duit belanja habis di aku doang. Harusnya kamu juga tahu banyak hal yang harus aku bayar pake duit jatah bulanan kamu. Sisanya aja kadang ada kadang enggak, aku beli apa-apa juga buat kamu bilang buat aku sendiri. Masih dibilang tukang abisin duit, kamu ngasih nafkah udah berasa ngasih dunia sama isinya ke aku!!” jelas Triska dengan perasaan kesal.

Moza yang dari awal tampak kesal pun bangkit dari duduknya. Dia mengambil dua ponselnya dan menyimpannya di dalam tas kecil yang sudah dia siapkan sejak tadi.

“Kalau cuma ngajak ribut mending aku pergi.’”

“Kamu mau kemana lagi? Perasaan kamu nggak betah banget dirumah.” suara Triska sudah naik satu oktaf. Menandakan jika dia benar-benar kesal dan marah atas sikap Moza yang seenaknya.

“La kamu ngajak ribut terus, siapa yang nggak pusing!! Aku mau tenang, istirahat tenang tapi kalau begini rasanya aku nyesel pulang!!”

Belum sempat Triska mengeluarkan ucapannya, dia sudah menatap Moza yang pergi dari rumah tanpa berpamitan sama sekali. Pria itu menutup pintu rumahnya sedikit membanting membuat Triska menyentuh dadanya karena kaget. Dadanya sesak seketika melihat sikap Moza yang benar-benar berubah. Seolah permasalah di rumah ini semuanya karena Triska. Dan Moza adalah korban emosi Triska yang tidak beralasan.



To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang