Chapter-60

184 10 0
                                    

“Kamu tadi ngobrol apa aja Za sama dia?” Tanya Elena penuh curiga.

Ya, Elena sempat melihat Moza berbicara berdua dengan Triska. Entah apa yang mereka bicarakan cukup menarik perhatian Elena waktu. Sayangnya Moza meminta Elena untuk tidak mendekat lebih dulu. Menurut Moza ada banyak hal yang harus mereka selesaikan, tapi yang ada bukannya menyelesaikan masalah mereka memilih untuk bertengkar hebat sampai Triska berteriak hebat.

“Tentang sidang pertama kita, habis itu dia sumpahin aku nggak akan bisa hidup bahagia sama kamu.”

Elena berdecak kesal, mau bahagia atau tidak memangnya urusan Triska? Sudah jelas jika Moza itu mencintai Elena, sudah dipastikan Moza akan hidup bahagia sampai kapanpun bersama dengan Elena. Bisa-bisanya dia bilang kalau moza tidak akan bahagia dengannya? Mana mungkin!!!

Memutar bola matanya malas, Elena pun memeluk tubuh Moza dengan erat. Seolah pelukan itu adalah sebagai protes jika dia tidak mau kehilangan Moza sedikitpun. Elena akan melakukan apapun jika untuk mempertahankan Moza, dia tidak akan melepaskan Moza apapun yang terjadi.

“Jangan tinggalin aku ya Za. Jujur nggak kebayang hidup aku tanpa kamu.” Keluh Elena.

“Tenang aja, aku nggak mungkin ninggalin kamu sedikitpun. Kamu nggak perlu khawatir sayang.” Jawab Moza sambil mencium kening Elena berkali-kali.

Elena bernafas lega, dia juga percaya jika Moza tidak mungkin meninggalkannya sedikitpun. Memeluk tubuh Moza dengan hangat, Elena menghirup aroma tubuh Moza dengan begitu dalam. Sungguh, aroma uang begitu kuat di indra penciuman Elena.

Melepas pelukan itu, Moza pun memutuskan untuk pergi ke kamar. Niat hati ingin mengganti bajunya, Moza malah fokus pada handuk basah di ujung tempat tidur. Dulu, Triska paling benci jika ada handuk basah yang tergeletak di tempat tidur. Yang dimana bisa membuat selimut dan juga kasurnya basah. Triska tidak menyukai itu, tapi sekarang Moza malah melihat handuk basah itu berada di atas tempat tidur. Buru-buru Moza memanggil Elena untuk naik ke lantai dua.

“Ada apa Za? Kenapa kamu berteriak?” Tanya Elena heran.

“Itu handuk kamu kenapa ada disana? Kan di kamar mandi ada tempat handuk sendiri.” celetuk Moza.

Elena menatap handuk basah miliknya yang tergeletak di ujung kasur. Dia lupa untuk mengembalikan handuk itu ke dalam kamar mandi setelah selesai ritual mandinya. “Iya aku lupa tadi, nanti aku pindah ke kamar mandi.”

“Kenapa harus nanti? Sekarang kan bisa!! Aku nggak suka kasir sama selimut basah cuma karena handuk.”  cecar Moza.

Elena mengusap keningnya, ini hanya masalah handuk kenapa Moza bisa semarah ini? Padahal dulu waktu tinggal di rumah sederhana Moza tidak pernah bersikap seperti itu. Tidak pernah marah padanya meskipun hanya masalah sepele. Lalu, sekarang hanya karena masalah handuk saja Moza semarah ini?

“Kan aku sudah bilang nanti aku pindah, Za. Itu cuma perkara handuk loh Za bukan yang lain.” Seru Elena yang ikutan jengkel dengan sikap Moza.

“Ya kan aku maunya sekarang bukan nanti. Dulu, Triska nggak pernah begini yang aku suruh pasti langsung kerjain. Masak iya kamu mau menunda-nunda terus!!” celetuk Moza

Elena mengepalkan tangannya mendengar hal itu, seolah tidak terima dengan apa yang diucapkan Moza. Wanita itu langsung mengambil handuk basahnya dan membawanya ke kamar mandi. Melemparnya asal, seolah menandakan jika dirinya tengah kesal dengan ucapan Moza.

“Kok jadi beda kan aku sama Triska!!”

Tidak membedakan, Moza hanya tidak suka jika ada handuk basah di atas tempat tidur, hanya itu saja masa iya Moza salah?

Menggeleng cepat, Moza memutuskan untuk tidur lebih saja. Badannya sudah lelah dan besok dia harus berangkat pagi untuk pergi ke kantor. Jangan sampai hanya perkara handuk basah membuat dirinya berdebat hebat dan bangun siang. Besok adalah rapat penting menyangkut reputasi kantor dia bekerja.


****

Bangun pagi, Moza dikejutkan dengan meja makan yang kosong tidak ada satu makanan pun ada disana. Pria itu menggerutu kesal, mengetuk jarinya di meja dengan menahan emosinya. Dia tahu Elena tengah hamil muda, mungkin akan mengalami kesulitan untuk bergerak bebas. Tapi bukan berarti tidak ada serapan kan pagi ini? Apalagi jika Moza harus membuatnya lebih dulu, dia bisa terlambat pergi ke kantor.

Mengabaikan rasa laparnya, Moza pun memutuskan untuk pergi ke kantor dengan cepat. Dengan harapan selama rapat perutnya tidak akan berbunyi sedikitpun, karena ini kali pertama Moza pergi ke kantor dengan keadaan lapar. Biasanya jika tidak ada sarapan nasi, Triska selalu menyiapkan selembar roti selai untuk dirinya sarapan. Tapi kali ini … ah, mungkin saja memang Elena lagi tidak enak badan, apa lagi berbadan dua mohon di maklumi saja sih.

Masuk ke ruang rapat, Moza duduk lebih dulu di sisi kiri meja panjang disini. Dia cukup terkejut melihat Triska berada di satu ruangan yang sama. Wanita itu duduk di samping seorang pria yang terus menatapnya dengan tajam. Apa mungkin mereka saling mengenal satu sama lain? Tapi Moza rasa mereka tidak pernah bertemu sekalipun, bagaimana mungkin saling mengenal?

“Selamat pagi Pak Bagas, maaf saya terlambat.” Ucap Moza tidak enak hati

“Saya tidak suka ada orang yang tidak tepat waktu. Tapi … hanya dua menit tidak masalah. Silahkan mulai rapatnya.”

Rapat berjalan sekitar satu jam, jantung Moza berdebar cukup kencang ketika saat rapat. Perusahaan yang saat ini bekerja sama dengannya adalah perusahan asing yang cukup terkenal. Sehingga membuat banyak sekali perusahaan lainnya ingin bekerjasama, begitu juga dengan perusahaan dimana Moza bekerja. Jika dia bisa memenangkan tender ini yang jelas hadiah besar telah menunggu Moza, tapi masalahnya … kenapa ada Triska?

Ah yaaa, Moza ingat perusahaan ini adalah perusahan yang pernah Triska lamar bekerja. Dan wanita itu beruntung bisa bekerja disana, jika Moza bisa bekerjasama disana sudah dipastikan tidak perlu Moza mengalami kekhawatiran yang cukup besar. Dia bisa saja memanfaatkan Triska untuk menerima kerjasama ini.

“Jadi bagaimana Pak Bagas, apakah Anda setuju bekerjasama dengan kami?” Tanya Moza penuh harap. Lebih tepatnya, tidak akan ada satu perusahaan manapun yang bisa menolak ajakan Moza.

Bagas tersenyum, dia pun menatap Triska yang tidak sekalipun menatap Moza. Entah karena apa, tapi Bagas tahu rasa dendam, rasa marah yang menyelimuti Triska begitu kuat. Sehingga untuk menatap saja tidak Sudi rasanya.

“Semua saya serahkan ke sekretaris saya. Apakah dia mau bekerjasama dengan Anda atau tidak.” Bagas menggeser laporan itu hingga di depan Triska yang mendelik dengan sempurna. “Bagaimana Triska, apa kamu tertarik dengan ide ini?” Lanjutnya penuh ejekan. Bukan mengejek Triska, lebih tepatnya mengejek Moza yang memiliki ide norak ketika presentasi.

Detik berikutnya Triska pun tersenyum, menatap laporan di hadapannya dan setelah itu menatap Moza yang seolah cemas disana. Apa yang harus dicemaskan?



To be continued

Dua Cincin Pernikahan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang