Chapter 68

106 15 18
                                    

Carel menatap punggung tegap Sakya yang sedikit membungkuk. Keningnya berkerut, mencoba untuk berspekulasi. Antara Sakya yang sedang galau, makanya berdiri di sana. Atau ... Sakya memang suka berdiri di sana pada malam-malam begini. Waktu di layar ponsel pun sudah menunjukkan 22.15, yang artinya memang sudah malam, tapi cowok itu masih betah saja di sana.

Setelah memasukkan ponsel kembali ke saku jaket, Carel mendekat. Ekor matanya melirik, menemukan lebam hitam keunguan di pipi sebelah kiri. Jemari Carel bergerak, menyentuh tepat pada luka di sudut bibir Sakya yang menjadi fokusnya sekarang.

"Carel?"

Bola mata Sakya membola kaget, nyaris saja dirinya kira Carel itu hantu yang ingin masuk ke tubuhnya. Maklum, karena Sakya sadar cukup lama berdiri di sini dengan keadaan melamun. Makanya, Sakya pikir sekarang yang ada di sampingnya ini hantu. Tapi tak mungkin juga, sebab kaki Carel sangat jelas menapak lantai.

Sakya baru saja akan bersuara lagi, tapi ringisan lebih dulu keluar dari bibirnya, sebab jemari Carel yang secara mendadak menekan tepat di lukanya. Tidak cukup sakit, tapi lumayan juga karena bercampur dengan kaget.

"Lo ... kenapa ini? Habis berantem sama siapa? Kalah, lo?"

Sakya menggigit pipi dalamnya, menahan diri untuk tidak berteriak dan memeluk tubuh Carel yang sangat menggemaskan ini. Yang ingin dipeluk masih fokus menekan-nekan luka di sudut bibir Sakya. Tapi tidak sekeras tadi, yang ini lebih lembut.

Sakya ini ternyata lemah juga. Carel tersenyum miring, berdecak tidak puas. Sayang sekali kalau orang ini benar-benar kalah, pasti terlihat sangat menyedihkan. Carel bisa membayangkan Sakya yang terduduk di tanah dengan keadaan acak-acakan dan penuh luka lebam. Benar-benar menyedihkan.

Carel hampir akan berdecak lagi, tapi suara Sakya lebih dulu mengalun. Serak dan berat. "Gue ... menang?"

Carel mengangkat pandangan, resmi mulai tertarik dengan jawaban yang satu ini. Tapi, bisa saja orang ini tidak serius bicara, 'kan? "Huh? Lo ngomong apa, tadi?"

Sakya tersenyum sedikit, mencoba untuk menahan diri tidak melebarkan sudut bibirnya. Cowok itu hanya bisa menggigit pipi dalam. "Gue menang."

Carel angguk-angguk dengan wajah sedikit puas. "Oke. Congrats."

Satu sudut bibir Sakya terangkat. "Lo ... nggak mau obatin luka di bibir gue ini?"

Telunjuk Sakya secara terang-terangan menunjuk luka di sudut bibirnya, juga menambahkan dengan usapan lembut dan sebuah ringisan. Carel melirik dan memutar bola mata. "Lo mau gue ngapain? Kompres tuh bibir?"

Seringai terpatri di sudut bibir Sakya. "Iya. Tapi ngompresnya pake bibir lo aja. Pasti gue bakal langsung sembuh."

Sakya menaik-turunkan kedua alis, wajahnya nampak sumringah sekali, seperti anak kecil yang baru saja mendapat permen dari ibunya. Carel berdecak, melipat kedua tangan di depan dada. Matanya menyipit, jengkel sekali dengan cowok tak tahu diri ini.

"Ngelunjak ya, lo. Ogah banget, gue nurutin kemauan lo itu. Nggak guna banget!"

Lengkungan di bibir Sakya perlahan mulai turun kembali. Matanya fokus ke bawah, sementara jemarinya memberikan usapan di sudut bibir. Carel mengangkat sebelah alis, tidak bicara sebab ingin menahan diri untuk tidak memberikan makian.

"Sini, lo!"

Carel menarik tubuh Sakya, menyenderkan punggung cowok itu dengan paksa ke dinding terdekat. Sudut bibir Sakya memang terluka, tapi sebenarnya Carel ini ogah jika harus menciumnya. Tapi, kasihan juga. Itung-itung lah, ingin memberikan apresiasi. Jadi, Carel mendekat dan memberikan kecupan singkat, sangat singkat hanya di sudut bibir Sakya.

"Puas 'kan, lo?"

Sakya tidak bisa ber word-word. Pipinya benar-benar terasa panas, menjalar ke dua telinganya. Cowok itu menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak teriak dan meloncat kegirangan. Carel memutar bola mata, memang si Sakya ini terlalu berlebihan.

"Woi! Jangan kayak patung gitu, anjing! Lo seharusnya ngucapin-"

"Thank you. I'm fucking addicted."

Carel mengangkat bahu. "Oke. Mending lo tidur sono. Udah kayak orang lagi patah hati aja."

"Gue emang lagi patah hati."

Carel tidak jadi berbalik. Sekarang kembali fokus pada Sakya. Wajahnya nampak begitu penasaran. "Serius? Sama siapa?"

Sakya tersenyum. "Sama, lo, lah. Emang sama siapa lagi?"

Kening Carel berkerut. "Kenapa gue? Gue ngapain lo, anjing!"

"Karena lo lebih sering sama Jiken daripada sama gue."

Carel memasang wajah sinis. "Lah, lebay banget."

Carel berbalik. Menyesal dia ingin tahu apa yang membuat Sakya patah hati. Rupanya hanya sebuah candaan garing. Tidak lucu sama sekali.

"Lah! Lo ngapain di sini?"

Jiken tersenyum dan menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Ayo tidur!"

Carel geleng-geleng kepala. Terkadang, Jiken itu bisa juga bertingkat lucu, tapi lebih banyak sangarnya. Seperti sekarang. Walau sedang tersenyum, tatap mata Jiken masih menunjukkan ketegasan dan aura intimidasi yang kuat. Entah dari kapan cowok itu bisa melakukan hal seperti sekarang ini.

Carel melompat ke atas ranjang dan membaringkan kepala di atas paha Jiken. "Gue belum ngantuk sebenernya."

"Lo ngomong apa aja sama Liam tadi?"

Carel mengangkat bahu. "Bukan apa-apa."

Jiken mendengus. "Bukan apa-apa tapi sampe cium segala. Apanya yang bukan apa-apa?"

Carel mengangkat alis. Cowok itu beranjak bangun, duduk berhadapan dengan Jiken yang membuang muka. Tidak mau menatap Carel, sebab dia yang masih terbayang dengan saudaranya yang mencium bibir Sakya. Rasanya, Jiken ingin sekali membogem bibir Sakya, lalu memberikan amplas.

"Muka lo kucel banget, Ji. Nggak cocok banget."

Carel menampar pelan pipi kiri Jiken. "Lo tahu, nggak. Si-"

"Enggak."

Carel geleng-geleng kepala. "Ngambeknya nanti aja, ini gue mau cerita. Itu, si Sakya abis berantem. Sama siapa, sih?"

Jiken akhirnya mau menatap Carel. "Segitu pedulinya, ya? Lo, khawatir sama dia?"

Alis Carel terangkat. "Ngapain? Penasaran doang."

Jiken mendengus. "Mending nggak usah bahas dia lagi."

Carel berdecak. "Gue cuma penasaran aja, Ji. Tuh orang babak belur. Berantem sama siapa, coba? Dia di sekolah aja keliatan kalem. Ya kali punya musuh."

Jiken menarik napas pelan. Tangannya menarik tubuh Carel untuk kembali berbaring di atas pahanya. Si empu menurut saja, kembali membaringkan kepala di sana.

"Gue nggak sedeket itu sama Liam buat tahu."

Carel mengerucutkan bibir. "Tapi, dia tadi bilang menang."

Jiken terkekeh sarkas. "Lo, seneng?"

Carel memukul paha Jiken. "Biasa aja ya, anjing! Lo kok jadi sensi gini, sih?"

"Ya abisnya lo ngomongin dia mulu. Nggak penting banget!"

Carel menarik napas pelan, mengalah adalah pilihan paling baik di muka bumi ini. "Oke, oke. Ngalah aja deh, gue."

Jiken tersenyum dan menundukkan kepala, mengecup telinga Carel, sebelum berbisik serak di sana. "Thank you, my prince."

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang