Carel pikir luka lebam di muka Sakya kemarin itu memang dia habis berantem dengan salah satu teman sekelasnya. Tapi dia salah. Bukan teman sekelas—ya mungkin lawannya itu masih berada satu sekolah dengannya—yang sebentar lagi akan lulus.
Lebam di muka Dhava menjelaskan semuanya. Dan bahkan, ada perban yang melilit telapak tangan kanannya. Juga ada bercak darah di sana, sepertinya Dhava tidak sengaja membuatnya terluka lagi.
Carel membawa kakinya mendekati Dhava yang sekarang—entah dari sejak kapan tengah menyulut sebatang rokok dengan korek api. Cowok itu menepuk bahu tegap Dhava, membuat si empu berjengit. Nyaris menjatuhkan batang rokok yang terapit jari telunjuk dan tengahnya.
"Carel? Kenapa, hm? Kamu perlu sesuatu?"
Carel memutar bola mata, mengangkat bahu dan menyandarkan punggung ke dinding. Mungkin karena jendela besar yang terbuka, angin berembus cukup kencang, sampai menerbangkan tiap helai hitam legam milik Carel, juga Dhava tentunya.
"Gara-gara ditinggal Xena lo jadi ngerokok, Bang. Galau lo nggak keren banget."
Satu sudut bibir Dhava terangkat. "Kamu berpikir begitu?"
Carel mengangkat bahu. Dhava mulai membawa tubuhnya resmi menghadap wajah santai sang Adik. Wajah Carel tetap tenang, setenang air mengalir. Dhava reflek menarik batang rokoknya ketika jemari Carel nyaris meraih. Cowok tinggi itu menggeleng pelan dan menempatkan ibu jari tepat di bibir adiknya.
"Kamu mau apa, hm?"
Bahu Carel terangkat santai. Jemarinya lagi-lagi ingin merebut, tapi Dhava langsung membuang puntung rokok ke luar jendela yang terbuka lebar. Decakan pun berhasil lolos dari bibir Carel, sebelum cowok itu dengan begitu saja menggigit ibu jari Dhava yang masih menempel.
Gigitannya cukup kasar. Kulit jari Dhava berhasil tertancap oleh gigi yang tajam. Cowok itu langsung menariknya keluar, sementara Carel langsung meludah. Beberapa cairan merah kental berhasil keluar dari sana, menetes dan terjatuh tepat di samping sepatu yang dikenakan Dhava.
"Kamu kasar sekali."
Carel mengusap bekas darah yang masih berada di mulutnya dengan punggung tangan. Rasa anyir masih begitu mendominasi, dan sekali lagi Carel meludah bersama dengan decihan sarkas yang keluar.
"Cari aja cewek lain. Masih banyak yang se hot Xena, Bang."
Seringai terpampang jelas di wajah putih Carel. Dhava tidak berniat menanggapi ocehan adiknya. Malah, cowok itu dengan santai menempatkan kedua tangan di sisi kanan-kiri tubuh Carel, mengukung adiknya ini yang dengan terang-terangan menatapnya tajam.
"Ada apa denganmu? Kenapa—"
"Emang gue kenapa?" Carel mengangkat bahu. "Gue cuman bicara tentang fakta. Lo kayak kacau banget cuman karena cewek soalnya."
Entah kenapa, ucapan Carel yang terakhir itu berhasil membuat rahang Dhava menegang. Jemarinya dengan cukup sadar membersihkan sedikit darah yang masih menempel di bawah bibir adiknya. Mengusapnya perlahan, sebelum apa yang cowok itu lakukan berhasil membuat Carel terkejut.
Dhava, mencium bibirnya. Sedikit memberikan lumatan kecil tepat di bawah bibirnya. Napas Carel mendadak tak beraturan, dadanya terasa berat dan aneh. Perasaannya kacau balau, seolah dia ingin segera melampiaskan gejolak panas paling mengerikan dalam tubuhnya.
Sebelah tangan Carel terkepal kuat, sangat kuat sampai kuku jari berhasil menancap di telapak tangannya. Dia tak mempedulikan cairan merah kental yang menetes. Karena yang dia lakukan sekarang adalah menonjok tepat di ulu hati Dhava, sampai akhirnya ciuman laknat itu terlepas. Dan begitu saja wajah Carel sempurna merah padam.
Manik hazel nya menyala di antara teramnya lampu yang menyala. Cowok itu dengan kasar mengusap bibirnya. Perasaan kacau itu lagi-lagi datang, bersamaan dengan gemuruh amarah yang membuncah. Sampai, Carel berjongkok dan lagi-lagi memberikan pukulan membabi-buta pada wajah kakaknya, tak memberinya jeda.
"Brengsek! Lo anjing! Gue benci sama lo, Madhava! Apa yang udah lo lakuin, dasar bajingan!"
Sudah Carel bilang sebelumnya, jika ia paling benci dengan skinship paling mengerikan seperti ini. Carel membencinya, dan dia harus segera menghapus bekas ini. Jadi, setelah berhasil membuat Dhava jatuh pingsan—karena pukulannya, Carel langsung berlari ke kamar Jiken. Memukulnya dengan sekuat tenaga.
Dan begitu pintu terbuka, hal pertama yang tertangkap mata Jiken adalah wajah merah padam dan mengeras milik saudaranya. Bahkan, Jiken belum sempat bicara saat Carel langsung berlari menubruk tubuh tegapnya dengan pelukan erat.
"Gue benci Dhava! Gue benci dia! Gue nggak mau bekas ini terus ada. Hapus cepet, Ji. Hapus cepetan!"
Ocehan Carel resmi berhenti setelah Jiken menarik tubuh mungilnya masuk kamar. Membiarkan saudaranya tetap berada dipelukan, sebelum si tinggi menangkup wajah Carel.
"Ada apa? Apa yang udah Dhava lakuin?"
"That bastard already kissed my lips!"
Masih ada yang ingin Carel katakan—setidaknya dia ingin lebih parah lagi menjelek-jelekkan kakaknya. Akan tetapi, mulutnya lebih dulu dibungkam oleh bibir tebal Jiken. Memberikan ciumannya, memberikan lumatan kecil.
Carel diam, membiarkan Jiken membersihkan bekas ciuman abangnya. Dan begitu ciuman itu berakhir, Carel melangkah mundur sambil menyeka rambutnya ke belakang dengan jemari. Mendudukkan pantatnya di tepi ranjang.
"Shit! Dia Abang gue. Kenapa dia lakuin itu? He's fucking crazy, right?"
Jiken duduk di lantai samping kaki Carel, bersender pada kaki kasur. "Yeah, and i fucking hate that bastard."
Carel membaringkan tubuh dengan tetap membiarkan kakinya menyentuh lantai. "Sakya berantem sama dia. Kenapa?"
Jiken mengangkat bahu. "Mereka berdua semakin aneh. Maybe ... karena, lo?"
Carel langsung bangun. Tidak terima dengan penuduhan sepihak ini. Dia saja tidak melakukan apa-apa, kenapa jadi Carel ikut terlibat. Jiken belum sempat mendongak untuk mencari tahu bagaimana ekspresi saudaranya, ketika Carel turun dan mencengkeram lehernya.
"Kenapa jadi gue, anjing!"
Jiken terkekeh. "Lo jadi tempramental gini, Rel. Just calm down, Prince."
Tangan Jiken menggenggam pergelangan tangan milik Carel. Tidak melepas cengkeraman itu, hanya memberikan usapan lembut dari ibu jarinya. Dan kali ini, Carel langsung luluh dan begitu saja menjatuhkan kepalanya di pundak Jiken.
"Gue benci yang kayak gini, Ji. Apa perlu gue pergi jauh, biar—"
"Shut up!" Jiken langsung menangkup wajah Carel. "Stop saying those nasty things! I really hate this."
Carel diam. Cowok itu tak bisa lagi berkata apa-apa selain menarik kepala Jiken ke dada bidangnya. Membiarkan Jiken tenang di pelukannya, sementara Carel di tempatnya jongkok diam-diam menggigit bibir. Menahan amarah yang sampai sekarang masih bergejolak.
Carel seharusnya melampiaskan ini, akan tetapi pemikiran itu langsung buyar ketika ponselnya berdering. Masih sambil memeluk kepala Jiken, Carel memeriksa ponselnya. Dan ... ada nomor asing di sana, memberinya pesan dengan menyebut identitasnya sebagai Xena. Diam-diam satu sudut bibir Carel terangkat.
Gadis itu ... rupanya mulai ingin terbuka dengannya. Ini malah lebih bagus. Carel menyeringai sebelum membenamkan wajahnya di puncak kepala Jiken. Matanya terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...