Junior

575 86 6
                                    

Third Person's POV

Detik jam yang tergantung tepat di atas pintu ruang operasi terasa bergerak dengan sangat lambat. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah berlalu enam jam sejak Lingling masuk ke dalam ruang operasi, namun lampu tanda operasi sedang berlangsung tak kunjung padam.

"Apa kau mau makan sesuatu, Orm?" tanya Yoko, berdiri dari duduknya dan mulai meregangkan tubuhnya yang terasa pegal.

Orm menggeleng, dia menyandarkan kepala nya yang terasa berat ke dinding rumah sakit yang dingin. 

"Aku pergi membasuh tangan ku dulu. Tidak apa-apa kalau aku meninggalkan mu sendirian sebentar?" 

"Hmm, pergilah. Aku baik-baik saja," jawab Orm sambil tersenyum lemas.

"Oke, tunggu sebentar ya," 

Meskipun merasa tidak tega meninggalkan Orm, tapi Yoko sudah tidak tahan lagi berdiam dalam kondisi yang menyesakkan di sana. Dia butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran.

Orm yang tertinggal sendirian di ruang tunggu mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya memandang kosong ke langit-langit rumah sakit yang berwarna putih. Dia mengulurkan tangan kiri nya ke atas, memerhatikan sebuah cincin emas putih yang melingkar di jari manis nya.

Cincin itu terpasang kemarin malam. Ya, baru satu hari sejak dia mengenakan cincin lamaran dari Lingling, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan kemungkinan bahwa cincin itu akan tetap berada di sana sepanjang hidupnya.

Orm tersenyum, bayangan saat Lingling melamarnya kemarin kembali melintas di pikirannya. Meskipun sangat jauh dari kata romantis, cara Lingling melamarnya benar-benar sesuai dengan kepribadian kekasih nya itu. Tidak suka berbasa-basi namun tetap berusaha untuk melakukannya dengan cara yang unik. 

Gadis itu menyentuh cincin tunangannya, tangan kanannya bergetar saat jemarinya bersentuhan dengan tanda cinta Lingling itu. Air matanya yang hangat kembali mengalir saat menyadari dimana dia berada saat ini. 

Tubuhnya meringkuk, kedua tangannya terulur ke depan dengan jari yang saling bertautan. Dia menundukkan kepala nya serendah yang dia bisa, menunjukkan ketidakberdayaan nya.

"Tuhan... aku mohon, aku mohon..." ucapnya di sela-sela isak tangisnya.

"Jangan ambil dia dari sisi ku. Jangan sekarang Tuhan, aku mohon..."

"Aku masih membutuhkan nya, aku membutuhkan cinta nya untuk bertahan hidup,"

"Aku akan melakukan apapun. Aku akan menjadi anak yang baik, aku berjanji,"

"Jika dia kembali bangun, aku akan menjaga nya dengan seluruh hidup ku. Aku berjanji Tuhan,"

Kedua bahu Orm bergerak naik-turun dengan cepat. Dia kesulitan untuk mengendalikan dirinya sendiri dan menangis adalah satu-satunya cara agar rasa sesak yang memenuhi dadanya bisa mengalir keluar. 

"Orm!"

"Orm!"

Faye dan Ice akhirnya datang di ruang tunggu. Mereka berlari menghampiri Orm yang sedang terisak sendirian. Ice langsung berlutut di hadapan sepupu nya itu, mengangkat kepala Orm yang tertunduk untuk melihat wajahnya yang dibasahi air mata.

"Aku di sini, aku di sini," ucapnya seraya menarik Orm ke dalam pelukan.

"Kak Ice, Kak Lingling- Kak Lingling," tangis Orm, memeluk tubuh Ice erat.

"Aku tau. Dia akan baik-baik saja, aku yakin dia akan baik-baik saja," ucap Ice berusaha menenangkan.

"Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau semuanya tidak baik-baik saja?" 

Agent 00KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang