Buta arah

521 85 15
                                    

"Bisakah Kakak mengurangi kecepatan motornya?" pinta Orm saat mereka berhenti di lampu merah.

"Hmm? Lebih pelan lagi?" tanya Lingling sambil melihat Orm dari kaca spion. "うん、分かった。(Oke, aku mengerti.)"

Orm berpikir bahwa Lingling benar-benar mengerti apa yang dia maksud dengan 'mengurangi kecepatan'. Jadi, saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, gadis itu merasa tenang dan tidak berpegangan pada kemeja Lingling lagi.

Namun, Orm hampir saja terjungkal ke belakang saat Lingling tiba-tiba melajukan motornya ke depan. Dengan gerakan refleks, dia langsung menarik kemeja Lingling dari belakang hingga beberapa kancingnya terlepas.

"Bukankah sudah ku bilang untuk lebih pelan? Kenapa kecepatannya masih sama seperti tadi?" teriak Orm dari belakang boncengan.

"Hah?!"

"Pelankan motornya!"

"Hah?! Kenapa?!"

"Aku bilang, pelankan motornya!" teriak Orm tepat di telinga Lingling.

"Aku sudah lebih pelan dari yang tadi, apa kau masih mau lebih pelan dari ini?" tanya Lingling.

"Hah?!" kali ini Orm yang tidak mendengar ucapan dari si pengendara motor itu. 

Setelah saling bertukar hah dan hah beberapa kali, akhirnya Orm menyerah. Di dalam hati dia bersumpah bahwa ini adalah kali pertama dan terakhir dia mau dibonceng oleh Lingling. Dia masih terlalu muda untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara mengerikan seperti ini.

Setelah berkendara selama lima belas menit yang terasa seperti dua detik, mereka akhirnya masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan dimana Orm tinggal. Lingling mengurangi laju motornya hingga tepat berhenti di depan gerbang salah satu rumah mewah yang tampak seperti istana.

Orm, yang masih trauma dibonceng oleh Lingling, tidak langsung turun dari motor. Kakinya gemetaran, jantungnya masih berdegup kencang karena adrenalin yang sedaritadi menjalar di setiap sel dalam tubuhnya.

"Kita sudah sampai, Orm," ucap Lingling setelah melepas helmnya. "Kau tidak mau turun?"

"Tunggu sebentar, Kak," ucap Orm lirih.

"Huh? Oke," Lingling menurunkan kedua kakinya untuk menahan motor agar tidak oleng ke samping. 

Selama beberapa saat mereka berdua diam tanpa suara. Orm menenangkan dirinya, mengusir jauh-jauh rasa takut yang ada di dalam hatinya. Setelah merasa bahwa kakinya sudah berhenti gemetar, Orm pun turun dari motor dengan perlahan. 

"Terimakasih karena sudah menjemput ku," ucap Orm seraya menundukkan kepalanya sopan.

"Sama-sama," jawab Lingling, mengulurkan tangannya lalu mengelus lembut kepala gadis itu.

Yang dielus seketika mematung di tempat. Apa-apaan ini? Kenapa Jantungnya kembali berdetak dengan sembarangan? 

"Orm! Ingat kau sudah punya pacar!" geramnya dalam hati.

"Ini ransel nya," ucap Lingling seraya menyerahkan ransel berwarna pink milik Orm.

"O-oh terimakasih, Kak," ucap Orm, buru-buru mengambil kembali ranselnya. "Apakah Kakak mau singgah dulu? Minum teh?" tawar Orm ramah.

"Hmm, mungkin lain kali. Aku masih harus kembali ke kampus setelah ini," ucap Lingling menolak.

"Kakak masih harus kembali ke kampus? Aku kira kelas hari ini sudah selesai," kaget Orm, melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang.

"Aku ada kelas tambahan," jawab Lingling. "Masuklah ke dalam, aku akan pergi setelah kau masuk ke dalam rumah."

"Mana ada yang berani menculik ku di depan rumah ku sendiri, Kak," kekeh Orm.

Agent 00KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang