#4 : Ketika Anhar Benar-Benar Muncul

403 21 2
                                    

____________________________________
"Hai Dilla. Save nomorku. Anhar."
Matanya terbelalak kaget saat membaca pesan ini. Ini benar-benar Anhar. Anhar yang membuatnya bingung beberapa hari ini.
____________________________________

Dilla menatap kembali kertas itu. Kertas yang membuat Dilla beberapa hari ini kebingungan hingga terkadang Dilla tak fokus.
Dilla mengangkat telpon dari Clara.

"Heh Dilla!" Terdengar suara yang amat kesal di sebrang sana.

"Katanya mau belajar bareng gue, Gila gue udah nungguin lo sejam. Kok gak datang-datang sih?"

Ia terkejut. Ia benar-benar lupa janjinya untuk belajar bersama Clara.

"Astaga. Gue bener-bener lupa."

"Gue lagi anter Ibu ke supermarket. Lain kali aja ya. Sorry."

"Ahh elo. Kenapa sih akhir-akhir ini lo gak konsen banget?"

"Gimana kalau besok gue traktir lo?"

"Oke oke. Ya udah lo lanjut aja belanja."

"Dasar lu. Giliran di traktir diem kan?"

"Hehe. Udah dulu nih. Hanif ngajak jalan."

"Ya udah sana. Take care."

"Oke. Bye."

Sebenarnya Dilla berbohong pada Clara. Dilla sedang berada di cafe langganannya untuk sekedar berdiam diri dan memesan milkshake stroberi kesukaannya.
Milkshake itu memang minuman kesukaannya ketika sedih. Sebenarnya bukan hanya milkshake, tapi minuman stroberi dapat membuat perasaanya membaik.
Tapi tak lama kemudian ia pulang ke rumah karena ia rasa sebentar lagi akan hujan.

"Dillaaaa!! Makan dulu" Terdengar suara Ibu Dilla menyuruh Dilla untuk makan. Padahal ia baru saja sampai di rumahnya.

"Iya Bu. Bentar! Dilla mau ganti baju dulu." Ucap Dilla sedikit berteriak.

Setelah Dilla mengganti bajunya. Ia memenuhi ucapannya untuk makan. Karena jika ia telat makan sekali saja, bisa membuat penyakit Dilla kambuh.
Dilla mempunyai maag yang sudah sangat parah. Sehingga jika ia telat makan sekali pun ia akan merasakan dampak pada tubuhnya dengan cepat.
Dilla berjalan ke dapur karena ia mencium bau yang sangat enak. Tanpa sadar perutnya protes meminta diisi.

"Masak apa bu? Baunya enak banget." Tanya Dilla menghampiri Ibunya yang sedang memasak.

"Ah kamu. Pura-pura gak tahu. Ibu tahu kalo hidung kamu kayak kucing kalo soal ginian."

Ia tersenyum. Sebenarnya ia tahu apa yang diolah oleh Ibunya. Ia hapal betul wangi ini, karena ia pun sangat menyukai bau cumi yang sering diolah Ibunya.

"Udah siap?" Tanya Dilla.

"Sebentar lagi. Duduk aja di meja makan."

Ia sedikit berlari ke meja makan karena ia sangat semangat untuk makan kali ini.
Saat makanan di sajikan. Dilla sudah menunggu cumi-cumi itu ada di mulutnya. Ia pun akhirnya memakannya dengan cepat.

"Pelan-pelan dong makannya." Tegur Ibu. Karena cara Dilla makan seperti orang yang tak di beri makanan selama 1 bulan.

Dilla berbicara tak jelas pada Ibunya karena mulutnya sedang mengunyah. Ibu Dilla hanya tersenyum melihat tingkah putri satu-satunya. Bukan suatu hal aneh jika Dilla antusias dengan cumi. Bahkan sejak umurnya 5 tahun, Dilla sudah seperti ini. Selalu antusias jika memakan cumi.

Setelah menyelesaikan makannya. Dilla membantu Ibunya membereskan beberapa alat makan yang baru saja Dilla gunakan.
Setelah beres, ia pergi ke ruang keluarga untuk sekedar menonton tv.
Dilla memainkan ponselnya sebentar. Hanya memeriksa akun medsosnya lalu ia kembali menonton tv.
Namun baru saja Salsa menatap tv di depannya, ponselnya berbunyi.

"Hai Dilla. Save nomorku. Anhar."

Matanya terbelalak kaget saat membaca pesan ini. Ini benar-benar Anhar. Anhar yang membuatnya bingung beberapa hari ini.
Ia tak membalas pesan itu. Tapi ia menyimpan nomor Anhar di ponselnya.

"Kenapa mukanya kaget gitu?" Tanya Ibu heran.

"Nggak bu. Biasa temen-temen."

Dilla berjalan menjauhi Ibunya. Ia melangkah ke kamarnya dan tentu menguncinya.
Lalu Dilla merebahkan badannya yang sangat lelah. Sebenarnya bukan badannya saja yang lelah namun hatinya juga sepertinya lelah karena memikirkan Anhar.
Meskipun Dilla merasa sedikit senang melihat Anhar masih ingat kepadanya dan bahkan sekarang muncul padanya kembali.
Tapi tanpa sadar Dilla mengingat Reva kembali. Ia menyimpan ponselnya di sampingnya dan tanpa sadar ia tertidur.

Dilla dan Anhar baru saja masuk ke auditorium. Mereka memilih film horror. Sebenarnya bukan Dilla yang memilih genre tersebut karena ia tak suka film menegangkan atau pun yang lainnya.

"Gak mau. Kamu tahu kan aku gak suka nonton genre gitu."

"Kamu gak suka karena jarang nonton."

"Aku pernah. Tapi hasilnya aku keluar baru saja seperempat jalan cerita."

"Gak kuat liat yang kayak gitu."

"Kalo gak kuat jangan diliat aja. Seenggaknya kamu bisa tetep disana."

"Gak. Aku gak sanggup."

Anhar memegang tangan Dilla. Mencoba menenangkannya.

"Aku bakal ada buat kamu kalo kamu takut. Setuju ya? Kasian orang di belakang banyak yang ngantri."

Dilla berpikir sebentar. Namun akhirnya ia mengangguk setuju.

Baru saja filmnya di putar. Dilla telah menggenggam tangan Anhar dengan erat.
Karena pada awal jalan ceritanya sudah terlihat menegangkan.
Anhar merasakan tangan Dilla berkeringat saat berpegangan dengan Dilla.

Pada saat adegan menegangkan atau saat adegan hantu muncul, Dilla kadang-kadang bersembunyi di pundak Anhar atau kadang menunduk.
Tapi tanpa terasa, akhirnya film itu selesai. Lampunya pun mulai menyala sehingga Anhar tampak jelas melihat wajah Dilla.
Kening Dilla terlihat basah. Dilla benar-benar bertahan dengan susah payah saat menontonnya.
Anhar membawa saputangan dari sakunya. Ia membersihkan keringat Dilla dengan saputangannya.

"Sampe segininya cuman nonton horror juga."

Dilla cemberut sambil menatap Anhar. Ini memang kebiasaan buruknya jika melihat atau merasakan hal-hal yang menegangkan.

"Apa kamu masih sayang sama aku?"

Dilla terdiam. Lagi-lagi ia ragu seperti beberapa tahun lalu. Dulu Dilla memang menyadari tentang perasaannya pada Anhar. Namun semenjak Anhar pergi begitu saja, perasaannya kalut.
Ia bimbang antara ia masih menyayangi Anhar atau sudah tak menyayangi Anhar di karenakan kejadian itu.
Tapi nyatanya saat ini Dilla tetap saja membiarkan Anhar di dalam kehidupannya.
Anhar mengelus tangan Dilla dengan lembut.

"Aku gak tahu. Semuanya bikin aku bingung."

"Apa kamu udah sayang sama cowo lain? Makanya tetep aja gak bisa sama aku." Ucapnya dingin.

Dilla mengerutkan alisnya. Kemudian beranjak dari tempat itu. Dilla berlari keluar mall tersebut. Saat ia akan menyebrang, ia tak sempat melihat kanan dan kiri.

BRUKKK!!

Dilla baru saja bangun dari tidurnya. Ia kaget karena baru saja ia mimpi buruk. Tangannya dingin dan keningnya penuh keringat.
Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri kenapa mimpinya harus seperti itu?
Ia langsung mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Anhar.
Entah apa yang ada di pikiran Dilla, sehingga membuatnya menghubungi Anhar. Ia mendengar telponnya tersambung. Beberapa detik setelahnya ia menutup telponnya.
Sebenarnya ia ingin berbincang dengan Anhar, karena ia benar-benar merasa takut dengan mimpi itu.
Ketakutannya membuatnya tak sadar jika ia baru saja menghubungi Anhar. Tapi untungnya beberapa detik setelahnya sadar jika ia tak perlu melakukan hal itu.

Be My Future [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang