#57 : Haruskah?

78 8 1
                                    

Aku sedang menunggu Anhar di kampusku. Katanya ia akan menghampiriku kesini. Aku membuka ponselku dan ternyata sekarang sudah pukul 3 sore.
Sudah 1 jam aku menunggu Anhar disini tapi ia tak kunjung datang. Bahkan Clara dan Hanif telah pergi karena terlalu lama menemaniku menunggu Anhar.
Aku mencoba menelponnya namun ia tak mengangkatnya. Aku pun mencoba memberi pesan padanya.

To : Dokter Anhar ❤

"Jadi mau ke kampus? Kalo enggak aku pulang."

Send.

Baru saja beberapa detik terkirim, Anhar langsung menelponku.

"Hallo sayang? Kamu dimana?"

"Aku didepan kampus. Kamu dimana?"

"Aku lagi parkir. Ya udah disana aja diem, jangan kemana-mana."

"Cepet ya. Kalo masih lama aku pulang."

Tidak ada jawaban darinya meskipun aku mengancamnya. Karena kesal, aku mematikan telponnya.

"Dar!" Seseorang mengagetkanku dengan menepuk kedua pundakku. Aku menoleh cepat ke arah orang tersebut. Dan orangnya adalah Anhar.

Aku menatapnya dengan kesal. Dia sudah terlambat dan ditambah lagi tadi dia mengagetkanku.

"Mukanya biasa aja. Jutek gitu." Goda Anhar sambil mencubit pipiku.

Namun tetap saja ekspresi wajahku tak berubah.

"Ah ayolah. Masa marah sih." Ucap Anhar.

"Nggak marah kok." Ucapku tapi tetap saja masih ada raut kesal di wajahku.

Dia merangkul pundakku.

"Oke. Kita jalan-jalan. Kamu mau kemana?"

"Terserah."

"Ya udah. Kita ke mobil." Ucap Anhar merangkul pundakku.

"Kita sekarang mau kemana?" Tanyaku saat masih di perjalanan.

"Ke danau."

"Bajuku gimana? Jam segini disana pasti angin gede."

"Di belakang ada jaket kok."

Tanpa sadar kami sudah sampai. Aku segera keluar dari mobil dan berlari untuk melihat tenangnya air.
Anhar di belakangku. Ia memakaikanku jaketnya karena aku memakai dress tanpa lengan.
Dia merangkul pundakku setelah memakaikan jaket padaku. Disini benar-benar dingin karena angin yang tertiup kencang.
Aku dan Anhar pun duduk pada rerumputan di depan danau. Kami berdua terdiam menikmati pemandangan air yang tenang dan hembusan angin yang kencang.
Aku menoleh pada Anhar karena handphonenya berbunyi. Dia menatapku dan meminta izin padaku untuk mengangkat telponnya.
Aku berdiri dan membuka handphoneku sebentar hanya sekedar melihat pesan dari Clara.

From : Clara Bawel
"Lo dimana? Gue cari di depan kelas gak ada."

Akupun membalasnya.

For : Clara Bawel
"Sorry.. Gue lagi sama Anhar. Lo ke perpus sama Hanif aja."

Send..
Aku menyimpan kembali handphoneku. Tapi saat aku membalikkan tubuh, Anhar sudah di depanku. Refleks aku kaget dan mundur 1 langkah karena jarak kami yang terlalu dekat.

"Dari siapa?" Tanya Anhar.

"Clara minta anter ke perpus."

"Ohh.. Udah ini mau kemana?" Tanya Anhar lagi.

"Terserah aja."

Dia menatapku binggung. Sedangkan aku menatapnya datar.

"Kenapa?" Tanyaku karena ekspresinya yang tiba-tiba binggung.

"Ahh enggak. Ke mall aja gimana?" Tanya Anhar.

"Enggak ah. Aku capek, pulang aja yuk." Ajakku.

"Beneran?"

Aku mengangguk. Anhar pun mengajakku pulang.
Saat di jalan, handphone Anhar terus saja berbunyi namun tak ia angkat.

"Kenapa gak di angkat?" Tanyaku.

"Nggak penting kok." Ucap Anhar menatapku.

"Aku angkat aja ya?"

Aku mengambil handphonenya dan mengangkatnya. Aku menatap muka Anhar yang binggung kembali.

"Pak Deris." Ucapku pada Anhar sebelum mengangkat telponnya.

"Hallo.. Anhar?"

"Hallo? Maaf ini sama temen Anhar. Anhar lagi bawa mobil."

"Ini sama temennya? Maaf tolong sampaikan aja ini dari Pak Deris. Gimana tawarannya di terima gak?"

"Ah iya nanti saya sampaikan. Tapi kalo boleh tahu emang tawaran apa ya?"

Setelah berkata itu, Anhar meminta handphonenya padaku. Tapi aku tolak karena aku penasaran.

"Ini. Ada tawaran kerja buat Anhar ke Singapur selama 2 tahun. Tapi tadi saya telpon dia jawab nggak mau. Padahal dari dulu Anhar ingin kerja disana."

Aku menatap Anhar datar. Kenapa ia tak memberitahuku soal ini, bahkan tidak sedikitpun. Pantas saja setelah menerima panggilan tadi raut wajahnya berubah lebih khawatir.
Dia pun menepi sebentar di pinggir jalan dan menatapku juga.

"Nanti saya kasih tahu Anhar."

"Ah iya terimakasih. Kalo bisa bujuk Anhar agar mau ke Singapur. Soalnya ini pekerjaan impian Anhar."

"Iya nanti saya sampaikan."

Sambungannya terputus karena Pak Deris yang memutuskannya.
Aku menatap Anhar sambil mengembalikan handphonenya.

"Kenapa gak bilang ada tawaran kerja di Singapur?" Tanyaku.

"Belum ada waktu yang tepat buat bilang sama kamu."

"Terus kenapa kamu tolak? Bukannya itu kerjaan impian kamu?"

"Aku belum bisa terima. Lagian kan aku belum bilang sama kamu."

"Harusnya bilang aja. Gak perlu nunggu waktu yang tepat."

Aku dan Anhar pun semakin kesini semakin berdebat.

"Aku nanya sama kamu sekarang. Kamu izinin gak aku kerja disana?" Ucap Anhar dengan tenang.

"Terserah aja. Kalo kamu mau terima aja." Ucapku datar.

"Tuh. Mukanya gitu, makanya aku gak mau kerjaan itu."

"Aku bukannya bete soal kamu ke Singapur. Tapi soal kamu kenapa gak langsung bilang ke aku?"

"Butuh waktu sayang. Semua butuh waktu. Apalagi soal serius kayak gini."

"Iya terserah kamu. Ayo pulang, aku pengen cepet ke rumah."

Anhar keluar dari mobil. Aku kira ia marah padaku, tapi tak lama kemudian ia pun membawakan milkshake strawberry untukku.

"Ini minum dulu. Dari tadi belum minum kan?" Tanya Anhar.

Aku diam sejenak sambil menatap Anhar. Akhirnya aku pun membawanya dari tangan Anhar menghargai Anhar yang telah membelikannya.

"Makasih."

"Iya sama-sama." Jawab Anhar.

Anhar kembali mengemudikan mobilnya agar cepat sampai rumah.
Setelah sampai rumah. Aku membuka pintu mobilnya sendiri dan dia pun mengikutiku.

"Makasih." Ucapku datar.

"Iya." Ucap Anhar.

Saat aku akan masuk ke rumah, Anhar memegang tanganku sehingga menghentikan langkahku.

"Maaf. Sekali lagi aku minta maaf."

Aku melepaskan pegangan tangan Anhar pada tanganku.

"Maaf. Aku lagi pengen sendiri." Ucapku.

"Tapi hp kamu harus aktif terus. Janji?"

Aku mengangguk menyetujui kemauan Anhar.

Be My Future [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang