#49 : Tahap melupakan

83 9 1
                                    

Sudah 4 hari aku belum sama sekali keluar kamar. Semenjak kejadian itu, aku tak berniat untuk keluar kamar. Aku hanya bisa memandang kamarku dan hanya melamun. Ayahku setiap hari mendatangi kamarku mencoba menasihati, setidaknya setelah di beri nasihat oleh Ayah hatiku sedikit tenang. Tapi tetap saja aku tak ingin di keluar dari kamar.

"Dill.." Ucap Ibu sambil membuka pintu kamarku.

Aku menatap Ibu yang sedang membawa makanan sambil menghampiriku.

"Anhar dateng. Boleh masuk?" Tanya Ibu.

"Gak bu, Dilla masih pengen sendiri."

"Udah berapa hari di kamar terus? Kamu cuman makan sama tidur aja. Coba keluar, cari udara seger."

Aku tetap diam belum menjawab saran Ibu.

"Yuk.. kasian Anhar setiap kali kesini, dia pasti kecewa karena gak bisa ketemu kamu" Ucap Ibu lagi.

Aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku sangat ingin keluar kamar yang pengap ini dan keluar dari kesedihan ini. Tapi hati ini belum siap dan terkadang ragu bertemu orang-orang.

"Yuk!!" Ajak Ibu lagi.

Aku menggeleng-gelengkan kepala tetap menolak kemauan Ibuku.

"Kamu harus ngomong banyak sama Anhar soal kejadian itu. Ibu bakalan pergi kok. Jadi kalian ngobrol berdua aja."

Aku langsung diam mendengar perkataan Ibu dan langsung memikirkannya. Benar juga kata Ibu, sudah 4 hari ini aku gak tahu apa-apa soal kejadian buruk itu.
Aku harus tahu secepat mungkin kenapa Hadi seperti ini padaku, mengabaikanku seperti sampah.

"Ya udah, Suruh Anhar masuk kesini." Ucapku pada Ibu.

Mendengar perkataanku sontak Ibuku tersenyum bahagia. Aku menyuruh Anhar masuk ke kamarku karena beberapa alasan. Yang jelas aku kesepian 4 hari di rumah terus menerus. Meskipun Reza, Clara dan Fira menemuiku tapi saat itu aku memang benar-benar tak mau bertemu siapapun.
Aku melihat pintu kamarku terbuka lagi setelah tak lama Ibu keluar dari kamar. Tepatnya, yang masuk ke dalam kamarku adalah Anhar.
Dia menatapku sambil tersenyum ke arahku. Aku dengan sedikit gugup pun mencoba membalas senyuman Anhar.

"Gimana? Sehat kan?" Tanya Anhar setelah mulai duduk di kursi samping kasurku.

"Iya sehat kok." Jawabku sambil tersenyum.

Dia tersenyum lagi padaku.

"Gitu dong senyum. Kan tambah cantik."

Aku hanya diam.

"Kita keluar yuk, emang gak bosen beberapa hari diem terus di kamar?" Ajak Anhar.

"Kemana?" Tanyaku.

"Masih binggung sih. Kamu maunya kemana?"

"Lagi pengen ramen pedes, ke kafe ramen aja lah."

"Oke."

"Tunggu aja di bawah, aku mau mandi dulu."

"Sip, aku tunggu di bawah."

Saat itu pun Anhar pergi keluar kamarku, aku langsung bergegas mandi dan berganti baju.
Aku sengaja membuat mandiku sedikit lebih cepat karena tak enak membuat Anhar menunggu lama. Setelah beres mandi aku segera berganti baju dengan kemeja biru tua dengan celana jeans berwarna putih.
Aku segera menyusul Anhar di bawah.

"Yuk.." Ajakku pada Anhar karena aku sudah siap untuk berangkat.

Tapi dia malah diam sambil menatapku. Entah dia melamun entah apa.
Aku pun menggenggam tangannya dan sedikit menariknya agar mengikutiku keluar rumah.
Dia sempat kaget, tapi ia sudah kembali seperti biasa lagi. Sepertinya dia tadi melamun. Ia pun menyuruhku masuk ke mobilnya. Aku akhirnya mengikutinya masuk mobil.

"Mau kafe ramen dimana?" Tanya Anhar sambil mengemudi.

"Terserah deh. Yang penting harus enak."

"Oke." Ucapnya sambil tersenyum.

Tak lama untuk sampai di kafe tersebut. Akhirnya aku dan Anhar pun sampai di kafe yang bernuansa korea tersebut.

Kami pun duduk dan memesan.

"Tunggu sebentar." Ucap pelayan itu sambil pergi.

Aku dan Anhar pun mengangguk. Kami saat itu hanya bisa saling memandang, terasa canggung sekali. Aku tak tahu penyebab suasana secanggung ini. Tapi entahlah, makanan yang kami pesan datang lama.
Tapi sepertinya suasana canggung yang membuat makanan datang terasa lama. Untungnya, ponselku berdering jadi setidaknya aku bisa menghindar dari situasi yang canggung ini.
Dan ternyata yang menelpon adalahAyahku.

"Iya yah. Ada apa?"

"Kamu dimana sekarang?"

Aku menatap Anhar sebentar dan kemudian kembali menelpon.

"Di Kafe. Dilla makan di luar yah."

"Sama siapa? Sendiri?"

"Nggak. Sama Anhar."

"Syukur kalo gitu, bisa Ayah ngobrol sama Anhar sebentar."

"Bentar Yah."

Aku menatap Anhar yang ternyata Anhar dari tadi menatapku.

"Ini Ayah, mau ngobrol." Ucapku pada Anhar sambil memberikan ponselku padanya.

"Iya. Kenapa om?"

......

"Iya pasti om. Kasian Dilla di kamar terus, jadi di bawa keluar."

.....

"Iya om. Jangan khawatir. Gak akan lama-lama kok."

.....

"Iya kalo gitu om."

.....

Anhar mengembalikan ponsel padaku.

"Ayah bilang apa aja?" Tanyaku.

"Nggak. Dia cuman bilang titip kamu aja."

Aku mengangguk mengerti. Dan pelayan pun membawakan pesanan aku dan Anhar yang dari tadi aku tunggu. Sebenarnya dari sebelum kejadian itu, aku ingin sekali beli ramen namun aku malas membelinya.
Selama pesanan sudah di depan mata, aku dan Anhar tidak ada obrolan sedikitpun. Kami masing-masing fokus pada makanan di hadapan kami.
Dan tak perlu lama untuk menghabiskan ramen tersebut, aku lebih dulu menghabiskannya di banding Anhar.

"Wihh! Doyan atau laper?" Goda Anhar.

Aku hanya tersenyum polos padanya. Tak lama kemudian Anhar pun menghabiskan makanannya.
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Anhar, Aku dan Anhar segera pulang.
Aku binggung karena Anhar menempuh jalan bukan ke jalan menuju rumahku.

"Mau kemana lagi?" Tanyaku.

"Kita kelapangan. Ada festival layangan disana."

Aku hanya mengangguk saja tanda setuju meskipun pada awalnya binggung karena tak tahu akan di bawa kemana oleh Anhar. Untung saja cuaca hari ini bagus, sepertinya cuaca hari ini memang mendukungku untuk keluar rumah.
Saat sudah sampai di lapangan, benar saja disini ramai. Banyak orang yang berbondong-bondong membawa layangan mereka. Aku melihat mereka membawa berbagai macam bentuk layangan dan tentunya semuanya unik.

"Mau nerbangin layangan gak?" Tanya Anhar.

"Gak ah. Aku liat mereka aja."

Sepertinya festivalnya sebentar lagi di mulai. Dari mulai orangtua, anak-anak bersiap dengan layangan mereka. Tak lama kemudian mereka memulai menerbangkan layangan mereka masing-masing. Langit biru pada hari ini pun menjadi lebih indah karena di temani layangan yang warna-warni.
Aku sedari tadi keasyikan mengamati layangan yang mengapung di udara. Membayangkan bahwa yang mengapung di udara itu kesedihan, aku berharap bisa mengendalikan kesedihan itu atau bisa jadi menghempaskannya ke langit agar ia pergi dari hidup.
Tapi nyatanya itu tidak bisa, karena dalam hidup ada kesenangan dan ada pula kesedihan.

Be My Future [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang