Audi dan Deva menelusuri koridor yang sudah sepi. Kebanyakan murid-murid sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Hanya tinggal murid kelas akselerasi saja yang masih berada di kelas. Ya, mereka pulang jam lima sore, jadi jam segini masih pada belajar dan belum pulang.
Oh iya, ngomong-ngomong, Audi penasaran sama yang ngelempar bola basket dan kena kepalanya itu. Keras banget, woi. Rasanya yang ngelempar itu minta di tabok pake sepatu Pak Komar sama Audi. By the way, untung Audi di lemparnya pakai bola basket, bukan sepatu Pak Komar, kalau dia dilempar pake sepatu itu, mungkin besok Audi baru bangun dari pingsannya.
Audi menengok ke arah Deva yang memandang lurus koridor. Apa Deva yang ngelempar? Tapi masa dia? Tega banget kalau iya.
Akhirnya Audi memutuskan untuk bertanya. "Dev, yang ngelempar bola basket ke gue itu siapa?"
Raut wajah Deva sempat berubah namun tidak terlalu ketara. Yang tadinya datar menjadi semakin datar. Aku yang melihat ekspresi itu mengerutkan dahi tipis. "Arlen."
Audi berjenti di tempat. Perasaan tadi dia ngeliatin Arlen-lebih tepatnya mencari orang yang berna Arlen. Kenapa Audi nggak lihat kalau dia megang bola? Yang Audi lihatin tadi salah ya?
Deva yang berjalan mendahului Audi menengok karena merasa Audi berhenti berjalan. Wajah datarnya menatap Audi dengan diam.
"Tadi dia nungguin lo bangun buat minta maaf, tapi ya lo tau kan lo kebo, nggak bangun-bangun. Jadi dia balik duluan deh. Mungkin besok dia bakal minta maaf ke lo."
Audi masih diam membeku. Bahkan lebih beku dari sebelumnya.
Seriously? Seorang Arlen, yang terkenal tukang rusuh dan doyan berantem minta maaf ke Audi, yang berpenampilan cupu dengan rambut yang selalu diikat pony tail dan kacamata besar? Wow. Keajaiban dunia kedelapan. Walaupun Audi tahu sikap Arlen dari gosip murid perempuan di sekitar, Audi tidak tahu dan kenal Arlen yang mana. Dan Audi juga tidak mau mengenalnya.
"Dia? Minta maaf ke gue?" Audi bertepuk tangan, lantas mendapatkan kerutan di dahi Deva.
"Kenapa lo?" tanya Deva. Matanya menatap Audi heran.
Audi mengelus dahi Deva untuk menghilangkan kerutan di sana sembari menipiskan bibirnya.
"Lo nggak heran? Seorang Arlen Lazuardi orang yang terkenal tukang rusuh dan hobi berantem—ya walaupun gue nggak tau dia yang mana, gue cuma denger denger dari orang aja. Meminta maaf ke Audira Ivanna yang mana semua orang taunya gue anak nerd. Apa itu nggak aneh?"
Deva menautkan alis nya. "Mungkin dia merasa bersalah bikin pingsan anak cewek, nerd pula—seenggaknya Arlen taunya kan lo nerd."
Audi mengangguk-anggukan kepala. "Iya juga ya. Tapi gue nggak semenyedihkan itu!"
Deva merangkul Audi dan mengacak rambutnya. "Lo pasti laper, makan dulu yuk baru pulang. Gue traktir. Anggep aja ini hadiah lo nonton gue basket tadi."
Audi memukul bahu Deva antusias. Senyuman lebar terpatri di bibirnya. Pingsan lima jam cukup membuat Audi lapar, bukan cukup lagi, tapi benar-benar lapar. Dan disaat seperti ini Audi bersyukur punya seorang sahabat yang seperti Deva. Kadang nyebelin, kadang perhatian dan pengertian. Bikin gemes sampe rasanya pengen nabok.
"Tau aja lo kalau gue laper."
Deva tersenyum dan melanjutkan jalan-mereka-yang-tertunda tadi dengan tangan tetap merangkul Audi.
***
TBC...
a.n
Jangan lupa vomment ya. Thank you!💓
-flowercony
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...