Tidak terasa sudah hampir dua minggu berlalu, selama itu juga topik Arlen dan Audi masih menjadi perbincangan hangat. Audi tidak tahu sesering apa nama dirinya disebut-sebut akhir-akhir ini, mengingat dirinya hampir setiap hari menekur di perpustakaan. Sekalinya Audi menampakkan diri, dia selalu mendengar namanya disebut, tidak tahu kalau dirinya tidak muncul di hadapan mereka—yang sebenarnya sungguh kalau Audi memiliki kekuatan berteleportasi untuk ke perpustakaan dia akan menggunakannya, atau paling tidak dia memiliki pintu kemana sajanya Doraemon guna menghindari telinganya mendengar komentar orang lain tentangnya.
Teman sekelasnya memang tidak sejulid itu. Entah karena sudah Deva ultimatum atau mereka memang sebaik itu. Yang cowok sih cuek, ciri khas laki-laki, tetapi yang cewek, hadeuh, Audi cukup banyak mengelus dada. Hampir semua dari mereka mencoba mengajak dirinya mengobrol beberapa kali, memang bukan karena ingin mengorek informasi tentang kejadian di puncak, karena dari mulut ke mulut pun berita itu sudah menyebar, tetapi murni ingin mengenal Audi dekat. Sebab sebagian dari mereka berpikir, kalau Arlen—badboy Wesley School—saja bisa merangkul Audi seperti gosip yang dikabarkan, mengapa mereka tidak?
Bukan berarti yang bermuka dua tidak ada. Setiap Audi canggung untuk menjawab, atau Audi menjawab kelewat baik, ada saja yang mencibir dibelakang. Mereka pikir Audi tidak tahu? Bah. Tingkah mereka membuat Audi merasa dirinya kembaran Raisa, serba salah. Tidak menanggapi dicibir sok cantik, menanggapi ramah dicibir sok asik. Jadi dari pada Audi emosi, dia lebih betah berdiam diri di perpustakaan.
Awalnya Audi ingin segera pulang ke rumah, karena Deva harus buru-buru pulang sebab pamannya yang di London mendadak berkunjung ke rumah, dan Nadhita ada jadwal latihan cheers. Alhasil dia tidak ada teman dan menurutnya pulang ke rumah adalah pilihan yang paling tepat. Namun sebelum pulang, kakinya melangkah mampir ke minimarket yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya untuk membeli susu kotak. Tetapi kemudian Audi teringat akan hal yang dia sempat lupakan ketika dia sedang duduk di bangku depan yang disediakan minimarket. Dia melihat segerombolan anak remaja berseragam putih biru terlumuri tepung dan confetti di sekujur tubuh, diikuti dengan tawa canda dari teman-temannya dan beberapa kali ucapan happy birthday.
Audi belum membeli kado untuk Reina.
Dia termenung beberapa saat, memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Reina. Setelah beberapa saat, seharusnya kini Audi sudah berjalan berjalan menuju halte untuk menunggu bus yang akan membawanya ke mal terdekat. Tetapi Dewi Fortuna tidak berpihak padanya, dirinya terinterupsi untuk duduk kembali ketika melihat Arlen melepas helm sembari turun dari motor dan mengangkat dua jari mengisyaratkan agar Audi menahan langkahnya.
Audi mendesis. "Kenapa dari sekian juta manusia, gue selalu ketemu lo lagi?"
"Gue punya hipotesis, tapi pasti lo nggak bakal terima." Arlen tertawa sembari menangkup rambut ke belakang.
"Apa?"
"Karena kita jodoh?" jawab Arlen gamblang.
Sontak Audi pura-pura muntah. "Nggak usah mimpi."
"Kan gue pernah bilang, kalau mimpi itu setinggi-tingginya, karena kalau jatuh, di antara bintang-bintang juga."
"Gue yakin bintang bakal mendadak gelep kalau lo yang jatuh."
Arlen cemberut seperti anak TK yang tidak dibelikan balon. "Jahat," tetapi tdak diindahkan oleh Audi. "Lo mau ke mana?"
"Pulang," bohong Audi.
"Gue anterin, yuk."
"Ogah. Nanti gue dimakan sama fans-fans alay lo. Dah, ah, minggir, gue mau balik!"
Tangan Arlen terlentang, menahan kepergian Audi, dengan tatapan jenaka yang berubah menjadi jauh lebih serius. "Lo dibully sama mereka?" Sikap dan padangan Arlen berhasil membuat Audi terkesiap. Audi segera menutupi salah tingkahnya. "Belum!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...