60 // Kakak-Adik

13.4K 511 14
                                    

Di hari yang sama. 14.05, istirahat ke tiga.

"Duh, Audi kenapa abis balik dari toilet mandang gue aneh banget, sih? Apa dia kesambet Mbak Kunti di toilet?" Deva sedikit berlari sembari menengok ke belakangnya, memastikan dirinya tidak melihat keberadaan Audi yang mengikutinya.

Beberapa hari ini sejujurnya Deva sudah cukup kenyang melihat Audi yang memandangnya kesal dan semacamnya. Alasannya pasti saja tentang keterdiamannya Deva dengan Nadhita. Tapi tidak tahu mengapa pandangan Audi tadi bisa membuat Deva menahan nafas beberapa saat. Beberapa kemungkinan pasti itu masih tentang masalah antara dirinya dan Nadhita. Oleh sebab itu sedetik setelah bel istirahat ke tiga berbunyi, Deva langsung ngacir keluar kelas lalu menuju ke taman belakang sekolah. Matanya sama sekali tidak mau melirik Audi yang duduk di bangku sebelahnya ketika keluar dari kelas. Karena Deva sudah tahu, mata Audi memandangnya dengan jenis tatapan jengkel sampai ubun-ubun. Tatapan itu mampu membuat Deva tercekam.

Deva lumayan terengah-engah ketika sampai di taman belakang. Badannya membungkuk dengan tangan bertumpu pada lutut, serta diikuti oleh paru-paru yang berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Kepalanya menoleh kembali ke belakang. Tidak ada keberadaan Audi. Huft. Syukurlah.

"Semoga aja Audi nggak kepikiran gue bakal kabur ke sini."

"Audi?"

Masih dengan nafas yang belum teratur, Deva mengangkat kepalanya. Jauh di depannya terdapat Arlen yang duduk di kursi taman dengan kepalanya yang menolah ke belakang, di mana Deva berdiri. Atau ... ke belakangnya?

Sekejap mata Deva melotot dan menolehkan kepalanya ke belakang kelewat cepat.

Tidak ada siapa-siapa. Apa lagi Audi.

"Hng—maksud gue, lo ngomongin Audi?" Lanjut Arlen.

Deva mengalihkan wajahnya sembari menahan untuk tidak memutarkan bola matanya. Elah, bucinnya si Audi. Emang gue nggak boleh gitu nyebut nama sahabat sendiri?!

Iya. Sahabat. Hehe. Kok itu dada Deva berdarah ya?

Deva melengos, "Sependengeran lo?" dia balik bertanya, disisipannya nada malas. Tapi tidak tahu mengapa kakinya tetap melangkah ke kursi yang Arlen duduki lalu duduk di bagian yang kosong.

"Kenapa duduk di sini?" Mimik wajah Arlen terlihat menyebalkan di mata Deva. Tentu saja pertanyaan itu ejekan.

"Suka-suka pantat gue. Gue juga sekolah di sini bayar!" Sudah pasti Deva akan nyolot. Yang lagi bertanya di sebelahnya ini saingannya!

Mantan saingan woy! Buktinya aja Audi milih Arlen dari pada lo!

Deva yakin kalau ini dunia komik, ada tanda panah yang menghujam dadanya keras. Persetan suara yang tidak tahu sumbernya dari mana itu! Setidaknya dirinya pernah berjuang!

Berjuang apa?! Lo selalu kalah start sama Arlen, Deva!

Deva berdecak. Tangannya ikut menghentak di kursi. Ingin sekali dia menyumpal mulut yang berkata seperti itu dengan kaos kaki Pak Komar yang sudah pasti berkeringat. Dasar mulut netizen! Ngalah-ngalahin seblak level bom nuklir!

Arlen sebenarnya cukup bingung, tetapi tawa ringan juga keluar dari mulutnya.

"Lo kenapa sama Audi?" Arlen bertanya.

"Kenapa apanya?"

"Lo abis kabur dari Audi kan? Karena apa?"

Deva menaikan sebelah alisnya. "Lo kenapa kepo amat?"

Arlen sempat terdiam. "Gue... ah, udah, lupain aja." Arlen mengibaskan tangannya bermaksud untuk meninggalkan topik itu. Demi apapun Arlen nggak tau kenapa dia kayak remaja labil gini. Apa karena dia udah kangen Audi?

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang