7 // Arlen Side

41.6K 2K 13
                                    

Dingin. Itu yang Arlen rasakan saat ini. Walaupun Arlen sudah memakai hoodie, tapi tetap saja masih terasa dingin nya.

Arlen berjalan dengan gontai di koridor sekolah yang masih pagi mengingat sekarang masih jam 06.15 . Arlen merutuk kalau bukan karena mama yang menyuruhnya berangkat sepagi ini, Arlen tidak akan menjadi orang yang menginjakan kaki pertama di sekolah setelah Pak Udin—OB di sini.

Entah kerasukan apa mama menyuruh Arlen datang sepagi ini. Katanya 'biar kamu nggak telat'. Telat apaan? Biasa dari rumah jam setengah tujuh juga nggak pernah telat. Lagian kalau telat, Arlen pasti akan manjat pager belakang bersama kedua cs-nya. Atau nggak ya cabut.

Tapi kalau sudah titah Sang Mama, Arlen mana bisa menolak. Dia juga tidak mau jadi anak durhaka karena melawan omongan mama, walaupun omongannya kadang suka nggak masuk akal dan kelewat ngaco. Seperti pagi ini.

Tadi Arlen sudah memberi tahu dua curutnya, Ghazi dan Leon, Sahabat Arlen dari kelas 1 SMP, untuk datang pagi agar dia punya teman. Tapi sampai sekarang mereka belum juga datang. Sepertinya mereka melanjutkan ngebo. Kebiasaan.

Brukk!

Sial.

Arlen menabrak seseorang. Kenapa pagi ini dia sial terus, sih? Eh tunggu, ternyata ada juga yang dateng sepagi ini selain Arlen. Arlen kira cuma dia saja yang dateng otaknya miring—karena perintah mama.

Arlen menatap orang di hadapannya yang menunduk dengan rambut yang diikat pony tail. Perempuan ternyata. Wangi vanila langsung menguar di indra penciuman Arlen, sepertinya wangi ini dari perempuan dihadapannya. Arlen yang lagi lumayan bete menatap orang tersebut dingin dan menunggu dia mendongakkan kepala. Namun orang tersebut tidak kunjung mendongak.

"Nyampe kapan lo mau nunduk terus?" tanya Arlen dingin.

Yang ditanya akhirnya mendongak secara perlahan. Arlen membeku sesaat melihat wajah yang terpampang jelas di depannya. Wajah putih dengan pipi yang sedikit tembam, mata coklat gelap yang dihalangi oleh kacamata besar. Audi. Cewek nerd yang kemaren dia lempar bola. Lebih tepat nya nggak sengaja kena bola lemparan Arlen.

Audi menjauhkan tubuhnya. Mungkin dia kaget ketemu cowo ganteng pagi-pagi.

"E-eh ... maaf," ucapnya gugup.

Arlen bingung ingin mengatakan apa. Ingin meminta maaf namun lidahnya begitu kelu untuk mengatakan satu kata tersebut, seakan-akan otaknya terpenuhi oleh gengsi untuk meminta maaf. Namun membuatnya pingsan sampai sore rasanya itu adalah kesalahan yang cukup ... fatal.

Audi sempat mengerutkan keningnya dan tak lama akhirnya dia berjalan meninggalkan Arlen. Namun baru selangkah, Arlen langsung meruntuhkan segala gengsi dan berbicara.

"Sorry," ujar Arlen yang langsung membuat jalan Audi terhenti.

"Oh, tadi gue kok yang nabrak l—"

"Gue yang ngelempar bola ke lo kemaren," ucap Arlen dengan satu tarikan nafas. Gengsi. Arlen tidak pernah meminta maaf ke perempuan, kecuali mama dan Reina—adik Arlen. Mungkin Arlen harus diberi penghargaan karena sudah meminta maaf ke perempuan selain anggota keluarganya.

Raut wajah Audi langsung berubah. Sulit untuk dijelaskan. Sangat berbeda dari yang sebelumnya.

"Oh. Okey, nggak masalah." Audi menaikan bahunya cuek dan berjalan meninggalkan Arlen begitu saja.

Arlen menganga melihat respon dari Audi. Dia kira Audi akan bersemu malu karena sudah ketahuan pingsan lima jam lebih, atau paling tidak mukanya akan merah-merah gemes gitu karena ngeliat cowok ganteng dari dekat. Tapi reaksi nya? Cuek. Nggak peduli. Jauh dari ekspektasi. Cukup menyentil harga diri Arlen.

***

TBC...

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang