32 // Semangat, Audi!

19K 790 16
                                    

Kalau ada kata yang lebih buruk dari sinting, gila, dan tidak punya otak, Audi akan menggunakannya untuk mendeskripsikan Arlen. Entah apa yang ada dipikiran Arlen, dia menembak—ralat, Audi tidak tahu pasti kata apa yang tepat untuk menjelaskannya, namun Arlen semacam memaksa Audi untuk menjadi pacarnya dan itu adalah syarat yang tertidak terpikirkan oleh Audi sedikitpun. Kini dia menjadi pacar seorang badboy semacam Arlen? Sangat bukan kejadian yang Audi harapkan, barang hanya di dalam mimpi.

Perlu Audi perjelas, dia memang ingin membuka diri, namun bukan dengan berpacaran dengan Arlen juga. Berteman saja adalah hal yang cukup menabjukkan untuk Audi. Dia tidak tahu harus apa. Sikap Arlen yang tidak disangka-sangka membuat Audi jantungan. Apa lagi nada menuntutnya yang menyuruh Audi menjadi pacarnya, mengingatnya saja membuat bulu kuduk Audi meremang.

Sudah hampir dua tahun yang lalu terkahir kali Audi berpacaran. Yang tandanya juga sudah hampir dua tahun lalu Audi merasakan pahitnya cinta. Untuk sekarang Audi masih belum siap merasakan cinta dan menerima resiko mencintai: terluka. Dia lelah dipermainkan.

Aroma vanilla dari aromatherapy candle yang berada di nakas tempat tidur Audi mendominasi udara di kamarnya. Audi menghembuskan nafas gusar. Biasanya dengan menghirup aroma lilin yang manis ini dapat mengurangi sedikit ketidaktenangan Audi. Namun sudah dinyalakannya lilin tersebut, Audi tak kunjung tenang. Tidak berpengaruh sedikitpun.

Ditengah kegusarannya, ponsel Audi berdering. Dilihatnya ponsel tersebut yang berada cukup jauh dari posisi Audi duduk di kasurnya, terlihat terdapat notif masuk, notif chat. Awalnya Audi tidak mengacuhkan notif tersebut, karena dia berpikir paling OA yang mengechatnya. Namun tak lama, ponselnya berdering kembali, kali ini berdatangan berkali-kali semacam tuntutan.

Mungkin penting?

Sembar menghela nafas, tangan Audi terulur untuk meraih ponsel tersebut dan melihat notifnya. Baru membaca notif paling bawah Audi sudah mendengus keras.

Arlen L. Adinata
Hai, Pacar :)

Baru dipikirkan, orangnya malah menghubunginya. Panjang umur banget.

Kenapa, sih baru diomongin malah muncul?! Kan jadi panjang umur!

Audi kembali membaca rentetan pesan lainnya. Ia tidak pusing-pusing memikirkan Arlen mendapat ID-nya dari mana, mengingat sore sebelum berakhirnya rapat tadi mereka bergabung di grup line yang sama—grup panitia.

Arlen L. Adinata
Lagi ngapain?

Arlen L. Adinata
Belajar, huh?

Arlen L. Adinata
Udah makan belum?

Arlen L. Adinata
Apa udah bobo dan mampiin aku? Muehehe

Audi mencebikkan bibirnya. Segala rentetan makian sudah berkecambuk di mulut Audi.

Dilihat jam digital yang bertengger di nakas, bersebelah dengan aromatherapy candlenya.

21.07

Audi sudah makan pukul delapan tadi. Setelah makan, dia hanya meratapi nasibnya sekarang, yang kalo kata Roy Kiyoshi sih, karma buruk.

Audi salah apa Tuhan, dikirim karma buruk seperti ini?

Dengan perasaan bodo amat. Audi hanya membaca pesan tersebut. Namun tak lama ponselnya kembali berdering menunjukan ada notif yang masuk.

Arlen L. Adinata
Personal chat rasa grup kelas, diread doang😤

Kalau Audi tidak mengingat dia masih waras. Dia sudah terbahak membaca chat dari orang gila itu. Dia teringat kalau ngomong di grup kelas pasti banyak sidernya.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang