49 // Pemotretan

15.3K 714 35
                                    

Audi tidak menyesal telah menerima ajakan Arlen untuk memakan soto kaki lima yang letaknya tidak jauh bila berjalan kaki dari Gramedia. Meski kaki lima, tempatnya bersih, dan jangan lupakan tentang rasa, juara!

"Tau aja lo tempat makan pinggir jalan yang enak gini." Audi membuka obrolan sembari menyuapkan sesendok soto dengan lontong. Di sini tersedia nasi dan lontong, karena Audi tidak terlalu lapar, jadi dia memilih lontong. Menurut Audi lontong itu lebih ringan dari pada nasi, sehingga tidak terlalu membuatnya kekenyangan. Sedangkan Arlen memilih nasi. Yah wajar, laki-laki. Butuh tenaga lebih banyak dari pada perempuan.

"Tau, lah. Lo pikir gue sukanya nongkrong di tempat mahal tapi rasanya hambar, cuma menang tempat yang intagramable?"

Audi terkekeh. "Siapa tau kan."

"Makanya kenalan lebih deket lagi. Biar tau." Audi hanya merespon dengan hendikan bahu dan kembali menyantap sotonya.

"Lo liat nggak rumah makan soto di depan itu?" Arlen menunjuk rumah makan dengan wajahnya, membuat Audi menengok ke belakang dan mendapati rumah makan soto yang sama ramainya dengan tempat dia makan. Lalu Audi pun mengangguk.

"Nah, itu sebenernya sama aja sama soto yang ini. Cuma beda tempat, kondisi tempat dagang, dan yang handle aja. Yang kaki lima ini kakaknya, yang rumah makan itu adiknya."

"Mereka semacam memperebutkan pasar gitu?"

Pertanyaan Audi membuat Arlen menggeleng. "Banyak orang yang mikir begitu. Bahkan mikirnya sampai ke 'adik-kakak nggak akur ya? sampai rebutan jual soto begitu'. Padahal sebenernya nggak. Resepnya sama, cuma beda tempat. Kadang adiknya bantu di sini kalau di sini ramai, kadang sebaliknya. Memang yang kaki lima duluan yang buka, tapi karena terlalu ramai, jadinya mereka nyewa ruko di sebrang supaya kalau orang ke sini dan kehabisan tempat, mereka bisa makan yang di sebrang."

"Lo kerja di sini ya? Tau banget."

Arlen tergelak. "Apa gunanya kita punya mata untuk memperhatikan, dan mulut untuk bertanya?"

"Hmm, ya whatever." Audi kembali meniup kuah sotonya yang masih panas, membuat kacamatanya berembun terkena uap panas kuah soto. Sebenarnya ini sudah kali kelima kacamatanya terkena uap.

"Lepas aja kacamatanya, dari tadi lo kelihatan nggak nyaman dengan kacamata yang kena uap kuah soto."

Audi bungkam, membuat Arlen melanjutkan kalimatnya. "Kita duduk di belakang, dan gue yang menghadap jalanan, kalau itu yang lo takuti. It's okay, nggak banyak yang memerhatikan lo."

Setelah beberapa saat menimang, akhirnya Audi melepas kacamatanya dan meletakannya di meja dekat gelas es teh tawarnya berada.

"Lebih enak, kan?" Tanya Arlen kalem, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Audi.

"Thanks."

"For what?"

"Untuk udah ngebantu gue, mungkin?"

"Memang gue ngebantu apa?"

Buat gue nyaman?

Maksud gue dalam makan soto ini.

"Forget it."

Arlen terkekeh. "Gue nggak tau harus men-sama-sama-kan yang mana. Makanya gue nanya."

Lagi, Audi menghendikan bahu, dalam diam memikirkan apa ada benarnya dengan kata yang Arlen ucapkan padanya sewaktu di bus tadi. Denial? Mungkin itu sebutan yang tepat untuknya. Memang Audi harus memastikan seribu kali segala sikap Arlen padanya. Tetapi setiap Audi mengelak dengan apa yang dia rasa, sorot mata Arlen menunjukan keseriusan di setiap kata yang dilontarkannya—meski hanya untuk hal-hal remeh dan terkadang ucapan Arlen yang terdengar hanya lelucon—entah apa Audi bisa menyebutnya.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang