Arlen mengetuk-ngetukan ujung penanya ke meja dengan ritme pelan. Leon yang duduk di sebelahnya tersenyum memperhatikan Arlen. Dia tahu betul Arlen sangat menunggu jam pulang.
Dahi Arlen mengerut melihat Leon tersenyum lalu berkata, "Ngapain lo senyum-senyum gitu? Ngelamun jorok ya?" Arlen bergidik lalu mengalihkan wajahnya ke sembarang arah selain wajah Leon.
Tangan Leon melayangkan jitakan tepat di atas dahi Arlen. Namun sekejap otaknya mendapatkan ide untuk meledek Arlen.
"Ehh, iya nih, ngebayangin Audi lagi ma—"
Mata Arlen melotot dan langsung melempar Leon dengan pena yang ada di tangannya sampai terdengar ringisan. "Makan loh Len bukan mandi." Tambahnya sambil terkekeh.
Arlen mendengus kesal.
"Sensi amat sih pas gue ngomongin Audi. Jangan-jangan lo—"
"Gue gak suka sama Audi," potong Arlen langsung.
"Siapa yang bilang lo suka sama Audi?" Leon mengangkat sebelah alisnya.
Arlen yang menyadari ucapannya itu menjadi salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang nggak gatal. Senyuman Leon mengambang indah tanpa bisa ditahan. Menurutnya temannya ini lucu. Dia sedang jatuh cinta tapi nggak menyadari hal itu. Walaupun simple, tapi nyatanya rumit.
Nggak lama hal yang sangat di tunggu Arlen berbunyi membuat Arlen langsung bangkit meninggalkan kelas tanpa menghiraukan teriakan guru yang menyuruh berdoa terlebih dahulu. Melihat itu Leon menggeleng-gelengkan kepala dan Ghazi memandang Arlen lalu Leon bergantian untuk meminta penjelasan. Tentunya hal itu dihiraukan oleh mereka berdua.
Kaki Arlen berjalan menuju kelas sebelahnya dengan langkah tengil seperti biasanya, 11 IPA 2. Punggungnya disenderkan di tembok depan pintu kelas 11 IPA 2. Tangannya bersidekap memegang buku tulis bersampul rapih. Arlen menunggu kelas itu selesai berdoa.
Beberapa saat kemudian guru yang tadi mengajar kelas 11 IPA 2 keluar. Sesaat guru itu memperhatikan Arlen dari atas sampai bawah yang dibalas angkatan sebelah alis Arlen. Guru itu mendengus lalu meninggalkan Arlen yang diikuti oleh keluarnya beberapa murid 11 IPA 2.
Murid-murid itu melotot melihat ada Arlen di depan pintu kelas mereka. Secepat kilat mereka merapihkan rambutnya lalu sedikit memain-mainkannya. Namun Arlen nggak menanggapi hal itu. Dalam hati Arlen mau muntah melihat sikap mereka yang kaya cabe.
Satu persatu murid lewat melalui Arlen dengan pikiran masing-masing di otaknya. Arlen mendelik ke dalam kelas melihat tempat duduk orang yang dicarinya. Kelasnya masih cukup ramai. Masih banyak murid yang di dalam memperhatikan surga dunia mereka. Kaki Arlen melangkah masuk tanpa permisi menghampiri bangku yang pemiliknya sama dengan pemilik buku Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di tangannya.
Gadis pemilik bangku maupun buku itu membisu di tempatnya melihat Arlen ada di hadapannya. Hal yang sangat dia benci. Benci melawan ketenangan yang telah tercipta karena kegugupan.
Banyak pasang mata yang memperhatikan saat ini. Memperhatikan seorang prince charming sekolah menghampiri seorang gadis. Terlebih lagi gadis yang dihampiri adalah gadis nerd. Ini sungguh keajaiban di mata mereka.
Teman sebangkunya tersebut memandang Arlen menyelidik dari atas sampai bawah. Arlen hanya merespon dengan mengangkatkan sebelah alisnya.
"Bentar doang, gue mau ngomong sama dia," Arlen memandang Deva karena nggak nyaman diperhatikan seperti itu lalu menunjuk gadis berkacamata di hadapannya.
"Lo lo pada keluar sana." Tunjuk Arlen kepada semua siswa 11 IPA 2 yang menontonnya di kelas. Dengan perasaan takut dan sedikit kecewa siswa-siswa yang ditunjuk Arlen keluar kelas. Begitu pun dengan Deva, walau sebelumnya dia bersikeras tahan di kelas akhirnya dia menyerah juga akibat tatapan dalam Arlen. Tentu saja hal itu membuat gadis di depan Arlen ketakutan dan pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...