13 // Memikirkan

43.6K 1.9K 18
                                    

20.10

Malam ini, dengan ditemani cahaya lampu dan tv yang menyala, Audi duduk dengan punggung bersandar di kepala ranjangnya, sudah berkali-kali ia mengusap wajahnya sambil menarik nafas dalam-dalam. Nakas sebelah kasurnya sudah hampir penuh dengan gelas hot chocolate yang kini sudah kosong tanpa isi. Sudah berkali-kali Audi menyesap hot chocolate buatan maid nya itu sampai habis, tapi pikirannya nggak kunjung tenang. Biasanya hanya dengan segelas hot chocholate pikiran Audi langsung tenang, namun ini berbeda, karna yang dipikirkannya juga berbeda.

Audi menatap kosong tv yang menanyangkan acara komedi sejak tadi. Ada banyak lolucon yang tercetak jelas didalam acara itu, tapi dari sekian banyaknya lolucon itu nggak ada yang bisa membuat Audi tertawa sedikitpun, wajahnya tetap datar dan memaparkan raut sedikit cemas, padahal biasanya ia akan tertawa terpingkal-pingkal bersama Deva saat menonton tanyangan komedi itu.

Sejak makan malam tadi, pikiran Audi sudah berterbangan entah kemana, ia juga sering kepergok bengong saat sedang memasukan sesendok sup ke dalam mulut yang membuatnya beberapa kali tersedak. Orangtuanya yang melihat anak semata wayang nya seperti itu ikut bingung, namun Audi tetap berusaha biasa saja. Saat ditanya mengapa, ia juga hanya menggeleng lalu tersenyum seperti nggak ada apa-apa yang terjadi walau kenyataannya pikirannya sedang bertebangan.

Pikirannya hanya tertuju kepada kejadian sore tadi. Di halte depan sekolah. Berulang kali Audi merutuki perbuatannya yang bertindak terlalu jauh, bertindak tanpa berpikir kalau Arlen bisa curiga dengan sikap yang sudah diperbuat dengan lancang, curiga dengan apa latar belakang Audi sebenarnya.

Audi mengguling-gulingkan tubuh nya gemas di atas kasur yang empuk seperti awan dan sesekali berteriak, Bego.

Audi nggak ingin Arlen sampai tahu identitas aslinya. Ia hanya ingin orang-orang tertentu yang mengetahui itu, orang-orang yang telah dipercayanya, bukan orang-orang seperti teman nya dulu atau yang nggak dikenalnya. Audi nggak mau hal itu terjadi kedua kalinya.

Hal yang membuatnya terpuruk karna nggak mempunyai teman untuk menumpahkan perasaannya, nggak mempunyai teman yang selalu ada mendengarkan curhatannya dan nggak mempunyai teman yang bisa dianggap seperti saudaranya sendiri.

Ia lebih baik hanya memiliki satu teman tapi sangat benar-benar tulus, dari pada banyak teman yang hanya ada saat senangnya saja. Audi hanya butuh teman yang tulus tanpa ada alasan-alasan lain. Dan sampai saat ini, hanya Deva teman yang memenuhi kriteria itu.

22.16

Itu angka yang tertera di jam digital yang berada di nakas lain sebelah kasur Audi. Berarti sudah lebih dari dua jam Audi memikirkan Arlen—etss, kata 'memikirkan Arlen' disini terlihat ambigu, mungkin memikirkan kebodohannya terhadap Arlen lebih tepat.

Audi menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Begitu seterusnya. Setelah beberapa kali, Audi bangkit dari duduknya dan menggerakan kakinya menuju toilet yang ada di salah satu sisi kamar.

Di sebelah wastafel, Audi mengambil ikat rambut hitamnya dan mencepol rambutnya asal sehingga menyisakan anak-anak rambutnya yang sedikit menutupi dahinya. Ia memutar keran wastafel itu dengan suhu yang nggak panas tapi nggak juga dingin, hangat.

Ditampungnya air yang mengalir itu di kedua tangan Audi dan mulai membasuhkan wajahnya perlahan sambil menikmati setiap tetes air yang mengenai wajahnya tersebut. Sebanyak lima kali Audi mengulang itu terus sampai dirasa wajahnya cukup rileks.

Audi menatap bayangan tubuhnya di cermin yang terpampang nyata di depannya tersebut. Beberapa helai rambutnya cukup basah mengingat tadi Audi hanya mengikat rambutnya asal. Air di wajahnya juga mulai mengucur perlahan dari pelipis sampai ke dagu yang akhirnya jatuh ke wastafel.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang