31 // Syarat

20.2K 866 30
                                    

Sore ini tanpa Audi ketahui sebelumnya, ternyata adalah hari kumpulnya para panitia acara pentas seni Wesley School. Berbeda dari tahun sebelumnya, untuk acara pentas seni tahun ini, OSIS Wesley School menarik pengurus dari setiap kelas untuk berpartisipasi menjadi panitia. Selain untuk benar-benar memaksimalkan acara pentas seni yang bersifat eksternal—karena ini acara besar Wesley School, hal ini dilakukan juga untuk menghapus jarak dan meningkatkan rasa kekeluargaan antara masyarakat sekolah dengan pejabat OSIS.

Setiap kelas diwajibkan mengajukan dua calon panitia. Untuk kelas XI IPA 2—kelas Audi, yang mengajukan diri adalah dirinya dan Rafi.

Kini di sini lah Audi, duduk di kursi meja ruang OSIS—yang sudah di rapihkan sedemikian rupa agar dapat mencakup lebih banyak orang dari yang biasanya rapat menggunakan meja lingkaran besar. Ia memilih duduk di kursi belakang.

Mata Audi memperhatikan satu persatu orang yang berada di ruangan ini. Memastikan kira-kira seperti apa sifat-sifat mereka. Beruntungnya tidak terlihat wajah-wajah yang bermental pem-bully. Wajah-wajahnya terlihat baik-baik semua. Semoga saja sifatnya juga. Hanya beberapa orang yang beraut tegas, Audi duga itu adalah para anggota OSIS, demi membangun rasa kedisiplinan. Atau memang wajahnya seperti itu, Audi belum tahu. Mungkin nanti ia akan berusaha mengenal baik satu persatu panitia, karena ia akan bekerja sama dengan mereka. Lagian itu memang tujuan utama Audi menjadi panitia.

Di kursi paling depan, terdapat Pak Bambang, penanggung jawab OSIS yang akan mengamati keberlangsungan rapat pertama ini.

Refan—ketua umum OSIS, sudah berdiri di depan siap mempresentasikan program kerjanya, namun harus terinterupsi oleh terbukanya pintu ruangan dengan diikuti oleh seseorang yang masuk. Sontak semua orang yang berada di ruangan OSIS menengok ke arah pintu.

Yang dilihat malah tersenyum lebar, kedua tangannya saling ditempelkan di depan dada lalu menundukan badan dengan berlebihan, "Assalamualaikum."

Belum sempat beberapa dari mereka mengomel saat melihat senyum menyebalkan orang itu, mereka menjawab salamnya, "Waalaikumsalam."

Pak Bambang pun sempat mengerutkan kening setelah melihat tingkah orang itu. Arlen.

Tanpa dosa Arlen melangkahkan kakinya ke kursi kosong yang berada di sebelah Audi lalu menjatuhkan bokongnya. Banyak pasang mata yang masih menatapnya, sebagian dari kaum hawa menahan pekikkan melihat cowok most wanted itu berada di dekat mereka. Bisikan-bisikan memuja Arlen yang menurut Audi sangat norak mulai terdengar. Audi melengos. Menurutnya Arlen tidak lebih dari anak biang onar. Tidak ada yang dapat Audi kagumi darinya.

Arlen masih tersenyum, lalu nyengir, "Jangan diliatin dong, kalian nggak pernah liat Brooklyn Bechkam ya?"

Tentu kalimat yang Arlen lontarkan mengundang banyak reaksi. Ada yang mendengus, pura-pura muntah, bahkan membuat Pak Bambang mengelus-elus kumisnya yang tebal.

Nadhita yang ada di sisi lainnya Audi melotot pada Arlen, "Ngapain lo?"

Pelototan Nadhita dibalas dengan senyuman manis Arlen, "Gue panitia juga."

Nadhita menatap tidak suka, masalahnya setiap ia berada di dekat Arlen, hidupnya selalu sial, tentu Nadhita sangsi, "Tadi gue ngajuinnya bukan nulis nama lo tuh," sinis Nadhita.

"Di dunia ini ada yang namanya tip-ex, Nadhita cantik, tinggal gue tip-ex ganti nama gue. Selesai," jawab Arlen masih tersenyum manis.

Pak Bambang pun tak bisa menahan untuk tidak bersuara, "Refan."

"Iya, Pak?" sahut Refan dengan sopan.

"Ini bapak nggak salah liat kan ada Arlen di sini?" tanya Pak Bambang tidak yakin.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang