46 // "Oh, jadi ada yang cinlok yaa??"

16.3K 661 26
                                    

"Lo nggak cukup tidur? Mata lo bengep."

Mendengar pernyataan Arlen, Audi melengos. Dalam hati menggerutu. Akibat omongan Arlen yang Audi yakini didapatkan dari quotes di instagram semalam—yang sialannya bisa membuat pikiran Audi melayang-layang, dia jadi tidur jam empat subuh. Sedangkan dia sudah harus bangun jam enam pagi karena mereka akan mengadakan games sebelum kembali pulang ke Jakarta. Tapi tentu saja dia tidak mengatakan itu di hadapan Arlen.

"Nggak bisa tidur karena mikirin omongan gue semalem?" Tambah Arlen sembari menyeringai.

Itu rahang kok enteng banget?! Bisa dengan mudahnya Arlen melontarkan kalimat itu, sedangkan Audi sudah kelojotan karena tembakan Arlen tepat sasaran. Sialan. Jelas Audi berkilah. "Pede abis lo."

"Bohong itu dosa, Audi."

"Kalau dapet pahala, namanya sedekah."

"Kalau gue sedekah hati ke lo, dapet pahala nggak?" Arlen menaik-turunkan kedua alisnya.

"Dapet. Tapi bukan sekarang saatnya. Nanti waktu idul adha. Setelah lo di sembelih, terus hati lo disedekahin ke gue. Btw, gue suka banget makan hati. Jadi bakal gue makan dengan suka rela. Apa lagi kalo di sate."

"Sadis." Arlen terkekeh mendengar itu. "Cantik-cantik, psikopat. Tapi kalau psikopatnya lo gue rela, sih."

Audi mendesis. "Cheesy."

Hening beberapa saat. Arlen tidak menimpali lagi selain dengan tawa keras. Keduanya menikmati udara segar dan angin pagi yang dinginnya luar biasa, meski masih lebih dingin saat tengah malam. Audi mengelap kacamatanya yang berembun, lalu merapatkan jaket tebalnya. Udara sangat dingin sehingga kacamata Audi sering berembun. Ini pun sudah kali ketiga Audi mengelap kacamatanya sejak lima menit yang lalu dia berdiri di sini. Alih-alih beranjak ke dalam dan mencari kehangatan dengan sekedar duduk di ruang TV atau menyesap teh manis panas, Audi malah tidak ada niatan sama sekali untuk melakukan itu. Dia terus menikmati dingin—yang bisa saja membuatnya masuk angin bila hanya berdiam diri saja—di antara dirinya dan Arlen.

"Liat deh ikan di kolam itu. Lo tau itu ikan apa?" Akhirnya Arlen memecah keheningan.

Audi mengernyitkan dahinya, heran dengan topik pembicaraan Arlen. "Koi?"

Tangan Arlen meraih pakan ikan yang ada di sudut kolam lalu mulai menaburkannya. Air berpercikan akibat koi yang berebut pelet ikan. "Bener. Gue suka melihara koi. Di rumah, gue juga melihara. Hiburan tersendiri ngeliat mereka berenang-renang. Apa lagi kalau udah rebutan makan. Seru aja gitu." Dia mengakhiri dengan kekehan.

"Nggak jelas banget lo ngeliat ikan aja ketawa-ketawa."

Sentilan melayang di dahi Audi, terdengar ringisan. "Hewan itu penenang hati. Coba deh, kalau lo lagi kusut banget, terus liatin video kucing di instagram. Pasti gemes. Bohong kalau lo nggak merasa terhibur barang sedikit pun."

Iya, sih. Tapi ... "emang lo yakin kalau singa ngejer lo, lo nggak bakal pontang-panting?"

Arlen berdecak. "Itu lain cerita." Audi menahan tawa karena pertanyaanya yang konyol.

"Banyak yang percaya ikan koi itu dilambangkan sebagai pembawa hoki. Tapi gue punya pandangan sendiri." Tambah Arlen.

Alis Audi terangkat sebelah. Mimik wajah yang awalnya sedikit mencemooh berubah menjadi penasaran. "Apa tuh?"

Kepala Arlen menengok dan menyeringai. "Penasaran yaaaa?" Sedetik kemudian Audi menyesali rasa penasarannya.

"Rese."

Arlen tergelak. "Nggak, nggak, gue becanda. Mau gue lanjutin nggak?" Audi mengiyakan.

"Ikan koi itu menurut gue kayak manusia. Hidup berkelompok. Nggak jauh beda kayak kita—manusia, makhluk sosial. Mereka kalau terpisah sama kelompoknya bisa mati walaupun sebentar." Arlen menutup toples pelet ikan, lalu meletakkannya kembali di tempat semula. Pernyataan Arlen mengundang tanya dari Audi. "Kok bisa mati?"

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang