Sejak kecil, Arlen diajarkan oleh kedua orang tuanya perihal bersabar. Seperti ketika Arlen masih berumur lima tahun. Saat itu ia sedang bermain kelereng di lapangan depan rumah lamanya. Ia sendiri. Tangannya sibuk menyusun kelereng di dalam lingkaran yang sudah dibuatnya dengan menggunakan ujung batu yang digoreskan ke tanah. Cukup memerlukan usaha keras bagi Arlen agar beberapa kelerengnya tidak keluar garis lingkaran, sebab tanah yang tidak rata.
Sampai pada semua kelerengnya sudah tersusun, di tangannya sudah ada satu kelereng yang siap disentil mengarah ke susunan kelereng lainnya yang berada di dalam lingkaran. Datang lah anak yang menendang sususan kelereng yang sudah dibuat susah payah oleh Arlen dengan sekali hempas. Arlen sewaktu kecil kontan melotot dan menatap anak sebayanya yang telah menghancurkan susunan kelerengnya tanpa dosa. Tangan Arlen tertarik ke belakang bersiap untuk melemparkan kelereng yang tadinya mau dia sentil ke arah anak sebayanya tersebut.
Sebelum Arlen melemparkan kelerengnya tersebut, mama sang anak itu datang dan menariknya pulang sembari mengomelinya karena telah mengganggu Arlen. Mamanya juga meminta maaf ke mama Arlen—yang memang kebetulan sedang berada di luar pagar untuk memanggil Arlen pulang dengan senyum canggung. Arlen menghembuskan nafas kesal, lalu memungut kelerengnya. Mood bermainnya sudah hilang.
Mama Arlen tersenyum maklum lalu menghampiri Arlen, "Udah nggak apa apa, kalo kelereng Arlen nggak diacak-acak tadi pasti Arlen nggak pulang-pulang lupa waktu, keasikan main," Mama Arlen mengusap kepala anaknya tersebut.
"Tapi Alen mau main mah! Dia tau tau dateng ganggu Alen," terlihat jelas guratan kesal di wajahnya, bibirnya juga sudah melengkung ke bawah.
"Tadi mama liat Arlen mau ngelempar kelereng ke dia, nggak boleh gitu loh, Arlen harus sabar, semua kejahatan nggak boleh dibales dengan kejahatan juga. Untung tadi mama dia ngeliat, kalo nggak, trus kepala dia benjol, kamu dimarahin mamanya, gimana?"
Arlen melotot dan menggelengkan kepalanya cepat, "Nggak mau, Ma!"
"Karena setiap perbuatan ada balasannya, tadi dia gangguin kamu kan dimarahain mamanya, kalo kamu bales ngelempar kelareng juga bisa dimarahin mamanya."
Mama Arlen mengelus kepala Arlen kecil pelan sembari menyinggungkan senyum keibuan. Lalu Arlen mengangguk paham dan berjalan pulang dengan dituntun ibunya.
Sama halnya seperti hari ini. Arlen dipanggil ke BK. Parahnya lagi Audi melihatnya secara jelas. Tentu hal itu membuat kepalanya mendidih. Terlihat nakal dimata gebetan? Ah ingin rasanya Arlen memanipulasi pikiran Audi dengan hipnokinesis. Tapi sayangnya ini bukan cerita bergenre fantasi. Jadi kampuan macam itu tidak berlaku di sini.
Terlebih lagi dipanggilnya Arlen ke BK bukan murni kesalahannya. Bisa dibilang sebuah 'kecelakaan'.
Jadi kemarin Arlen menonton pertandingan basket di GOR (Gedung Olah Raga) antara sekolahnya dan sekolah lain. Saat ingin pulang Arlen ingin menjalankan motornya, tapi ia lupa memasukan porsnelingnya, jadinya motor menggerum. Sebuah pemikiran terbaik sepanjang masa, di dekat Arlen ada anak sekolah lain, disangka Arlen menggeber mereka. Terjadi lah sebuah kesalahpahaman yang berujung Arlen di lempar batu badannya, tentu Arlen kabur tidak membalas. Tidak ada gunanya juga membalas orang berotak udang seperti itu. Lagian dia masih ingat perkataan mamanya dulu, setiap perbuatan ada balasannya. Jadi ia lebih memilih orang-orang itu mendapat balasannya sendiri, tanpa harus Arlen ikut campur tangan.
Namun, Bu Puji—guru BK jelas tidak mudah percaya. Terlebih Arlen sudah dicap anak nakal oleh kalangan sekolah akibat sudah banyak catatan di buku hitam atas nama Arlen. Biang rusuh. Walau sebenarnya tidak seburuk itu.
Alhasil kini Arlen berada di taman belakang sekolah. Menyapu lapangan basket yang kotor akibat daun kering yang jatuh dari pohon di sekitar lapangan.
Ia mengacak rambutnya asal. Sedikit kesal mendapat hukuman yang seharusnya tidak ia dapatkan.
Tangannya masih setia menggerakan sapu lidi dan menyeroknya. Tiba-tiba terlintas sosok Audi di pikirannya. Apa yang Audi pikirkan saat melihat Arlen keluar dari ruang BK? Apa Audi ilfeel? Apa setelah ini Audi makin sadar kalo Arlen kriminal? Ah kepala Arlen semakin pusing.
"Woi, gipain, Brader??!!" Suara itu menyadarkan Arlen dari pikirannya. Arlen memutarkan bola matanya malas. Leon, beserta ekornya, Ghazi.
"Gi makan!" jawab Arlen nyolot.
"Orang ganteng sekarang makannya pake sapu lidi sama serokan ya, bukan sendok garpu lagi," ucap Leon dengan tangan di dagu, seolah-olah sedang menilai.
"Nggak usah bilang gue ganteng! Walaupun emang! Tapi jijik kalo yang ngomong lo."
"Iya, maap deh, besok-besok Audi yang ngomong."
Arlen melengos kembali menyapu dengan gusar. Kedatangan kedua temannya membuat mood-nya buruk.
"Lucu ya, Arlen kalo kita ngomongin Audi langsung diem, jadi gemes—"
"—sama Audinya," Leon melanjutkan omongan Ghazi. Arlen melotot tidak terima Audi-nya dikagumi temannya sendiri. Melihat reaksi itu Leon dan Ghazi terbahak.
Setelah tawa mereka meredak, Ghazi kembali bersuara, "Gimana, Len?"
Arlen menaikan sebelah alisnya, "Apanya yang gimana?"
"Lo sama Audi lah, apa yang mau lo lakuin untuk pdkt sama Audi?"
Arlen terdiam sebentar, iya juga, ia tidak terpikir rencana apapun. Namun ia memang tidak mau mendekati Audi dengan cara yang terlalu memepeti Audi terus. Ia ingin mengalir begitu saja.
Di sela-sela Arlen berpikir, Leon kembali berkata dengan tampang smirk-nya, "Kalo lo belum terpikirkan apa yang bakal lo lakuin, hati-hati ya gue tikung."
Dipikir Arlen percaya?
"Mungkin lo nggak percaya gue bakal nikung, tapi kalo Deva?" Leon terkekeh.
Omongan Leon cukup membuat kepala Arlen semakin kusut. Mood-nya yang sudah buruk akibat kedatangan mereka semakin buruk. Arlen menghela nafas, "Kalo ke sini cuma mau ngoceh mending pergi, berisik."
"Aw! Kamu melukai hati aku, Len!" Leon memegang dadanya dramatis setelah mendengar Arlen mengusirnya. Arlen bergidik jijik.
Sekali gerakan Arlen melayangkan sapu lidi di tangannya ke arah mereka berdua, dengan terbirit-birit Leon dan Ghazi kabur meninggalkan Arlen. Tentu dengan pikiran Arlen yang kemana-mana.
***
TBC...
Oke jangan gebukin aku karena menghilang lama dan kembali dengan part yang pendek. Ini aku usaha banget karena pengen cepet-cepet update. So maaf gais!
with love,
Flo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...