47 // Niat Melindungi

17K 670 40
                                    

Kesibukan di dunia kerja bukan hal yang mengejutkan lagi di ibu kota. Banyak orang tua yang sibuk bekerja sampai larut malam dan melupakan kalau anaknya di rumah masih membutuhkan perhatian darinya. Kebanyakan dari mereka menganggap kalau anaknya sudah cukup besar untuk mendapatkan perhatian, sudah cukup besar untuk melakukan apa-apanya sendiri, dan sudah cukup besar untuk mengatasi masalahnya sendiri. Makan malam bersama pun jarang. Padahal anak-anak tetap lah anak-anak. Tetap membutuhkan perhatian dari orang tua. Tak melulu tentang selalu menuntun anaknya sampai sukses, cukup mengerti kalau anaknya sedang ada masalah, anaknya membutuhkan motivasi, anaknya ingin ditanya walau hanya sekedar "bagaimana sekolahnya?" dan sebagainya.

Sebenarnya seperti itu sudah lebih dari cukup.

Tapi mereka nyatanya tidak mengerti. Sang anak yang tidak protes, membuat mereka berpikir kalau sikap yang diberikannya wajar. Sang anak juga terlalu malas hanya untuk menjelaskan apa yang dia mau dan apa yang dia rasa. Padahal sang anak cukup tersakiti mendapat sikap seperti itu.

Bila masih banyak anak yang tidak beruntung di luar sana, Audi sangat bersyukur dengan keadaan keluarga yang dia miliki. Mereka memang tidak setiap saat selalu bersama, tetapi setidaknya dalam sehari ada waktu bersama, entah itu sarapan, makan siang, makan malam, atau hanya sekedar menonton film dari saluran televisi kabel bersama. Selain Audi yang anak tunggal, orang tua Audi juga memang tidak mau Audi merasa kurang perhatian dan menganggap mereka tidak peduli dengan Audi. Masing-masing dari mereka selalu menyisihkan waktu untuk bertukar argumen dan membagi tawa satu sama lain. Meski terkadang perbincangan mereka kebanyakan berisi debat antara Audi dan mamanya, namun sebenarnya mereka saling menyayangi dan saling membutuhkan.

Seperti saat ini, Audi sudah duduk di balik meja makan bersama kedua orang tuanya, diikuti juga dengan Nadhita yang menumpang istirahat di rumah Audi selepas pulang dari puncak tadi siang. Katanya orang tua Nadhita akan pulang larut malam, dan dia malas sendiri di rumah karena kakaknya juga sedang mengerjakan tugas kuliah bersama temannya di luar. Oleh karena itu kini Audi bisa duduk  berempat di balik meja makan.

Awalnya mama dan papa Audi sedikit terperangah ketika melihat Audi membawa teman ke rumah selain Deva. Sebab seumur-umur Audi menjalankan masa SMA di Jakarta, dia tidak pernah terlihat memiliki teman selain Deva. Namun mama dan papa—terutama mamanya langsung sumringah dan mengizinkan Nadhita masuk dengan kelewat ramah, karena setelah itu mama Audi membuatkan es buah dan menyajikan sepiring puding cokelat regal kesukaan beliau yang dibuatnya sendiri. Perlu digaris bawahi, es buah dan pudingnya dibuat dengan tangan mamanya sendiri, tanpa bantuan maid yang jumlahnya tidak satu ataupun dua di rumah ini. Kalau Audi adalah orang yang mengatur posisi keajaiban dunia, dia pasti akan memasukan tingkah mamanya ini ke keajaiban dunia yang ke delapan. Cukup di luar nalar, karena biasanya Audi harus adu bacot dulu dengan mamanya agar bisa memakan sepotong—perlu ditekankan, sepotong puding cokelat regal tersebut, sedangkan mamanya menyajikan sepiring untuk Nadhita.

Seharusnya saat itu Nadhita tidak kaget ketika berkunjung ke rumah Audi. Dia sudah mengira-ngira bagaimana rumah orang sekaya Audi—yang papanya punya saham hotel di mana-mana. Namun sambutan yang tidak terbayangkan tersebut membuat Nadhita sekerjap melongo, tetapi Nadhita tetap lah Nadhita, anak perempuan yang bar-bar—menurut Deva, tetapi Audi mengiakan juga, dia kegirangan mama dan papa Audi melayaninya bak puteri raja yang berkunjung ke rumah rakyat jelata.

"Wah, gila, gue berasa Nyi Roro Kidul yang pulang ke pantai selatan abis field trip dari Kota Kasablanka dan membawa sebongkah berlian dari Frank & Co."

Audi memutar bola matanya. "Bokap, nyokap gue bukan babu ya, Nad."

Nadhita terbahak. "Bercanda, sisteur. Jangan baper."

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang