06.47
Arlen mendengus menatap barisan kendaraan di depannya. Sudah banyak umpatan yang keluar dari mulutnya pagi ini. Ia merutuki sumpah serapah untuk orang yang telah mengempeskan ban motornya sehingga ia harus ke sekolah menggunakan mobil. Ditambah lagi Arlen bangun kesiangan karena alarm-nya ternyata mati. Dapat dipastikan ini semua ulah Leon dan Ghazi.
Dilihat tidak ada perubahan yang berarti, dengan kesal Arlen memutarbalikan mobilnya memilih jalan yang sedikit memutar yang biasanya lebih lancar.
Selama perjalanan, ia terus bersungut-sungut akan memecahkan ban motor kedua temannya. Ingat. Me-me-cah-kan.
Sebenarnya Arlen tidak ingin telat bukan karena takut dihukum atau apa, kalau itu sih Arlen sudah kebal. Tapi ... ntah lah ia hanya ingin ikut apel untuk melihat A ... udi?
Lagi lagi ia memikirkan Audi. Sebelum ia terlelap kemarin, tepatnya saat Leon dan Ghazi masih di rumahnya, yang ada dipikiran Arlen adalah sosok Audi sedang memandangnya dengan kepala miring. Ntah itu pertanda apa, tapi itu lah yang ada di otaknya sebelum benar benar terlelap.
06.52
Arlen mempercepat laju mobilnya demi mengejar waktu, namun matanya tetap jeli memerhatikan kendaraan dan situasi sekitar. Sampai satu titik membuatnya melotot dan memperlambat laju mobilnya dengan cepat tetapi teratur. Sekali gerak, mobil Arlen sudah di tepi trotoar dengan mata yang masih memandang pandangan yang sama.
Audi.
Orang itu lagi. Ia tampak sedang menunggu bus di halte. Arlen diam sejenak. Ternyata ini jalan yang sama dengan jalan kemarin ia mengantar Audi. Hanya saja ini di titik yang berbeda.
Dilihatnya Audi kembali, terlihat jelas Audi sedang gelisah menatap ke ujung jalan lalu menatap jam berulang-ulang. Tanpa basa basi, Arlen turun dari mobilnya lalu menghampiri Audi dan mengajaknya untuk ke sekolah bersama.
Audi terkejut di depannya terdapat Arlen bak malaikat baik hati yang memberi kebaikan disaat sulit seperti ini. Dengan gaya menaikan kacamatanya yang kendur, Audi menjawab, "Nggak usah, saya naik bus aja."
Arlen mendengus mendengar penolakan Audi. Disaat waktu pas pasan seperti ini Audi masih bersikers dengan pendiriannya untuk menunggu bus? Kalau Audi perempuan seperti mbak mbak yang berdiri disebelahnya itu, dapat Arlen pastikan ia tidak akan menolak tawaran Arlen. Namun tak dapat dipungkiri, Audi berbeda. Hal itu tentu membuat Arlen semakin penasaran.
Tunggu?
Sudahlah.
Sembari melirik jam di tangan kirinya, Arlen kembali memastikan keputusan Audi, "Yakin?"
06.55
Audi melihat jam dengan perasaan bimbang. Bus yang ditunggunya tak kunjung datang dari 20 menit yang lalu. Dalam hati Audi mengumpat. Ia benci harus berhubungan dengan orang yang sangat dihindarinya. Kalau saja ia tidak kasihan dengan Deva yang sudah di sekolah, pastinya ia akan meminta—tepatnya memaksa Deva untuk menjemputnya. Tapi waktu seakan-akan telah membuat skenario, dan Dewi Fortuna pun bagai meledek Audi tanpa memberi keberuntungan pada Audi pagi ini.
"Oke, gue duluan ya," Arlen berjalan meninggalkan Audi.
Audi menggigit bibirnya sembari kembali melihat ke ujung jalan. Mungkin ini adalah satu satunya jalan. Sebelum Arlen melangkah jauh, Audi bercicit, "Saya ikut kamu."
Audi mengikuti langkah Arlen ke arah mobilnya. Arlen yang mendengar perkataan Audi otomatis berhenti lalu memandang Audi.
"Nyerah juga lo."
Ingin rasanya Audi menggores mobil Arlen dengan kerikil yang terdapat di pinggiran atas trotoar. Tetapi itu hal gila yang tak mungkin Audi lakukan. Ia berusaha mengatur nafasnya menjadi rileks demi memendam kekesalan dari ucapan Arlen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...