25 // Menjadi Bulan-bulanan

23.9K 1K 10
                                    

Arlen menerima toyoran di kepalanya.

"Gila lo dari mana aja? Gue sama Ghazi sampe bedebu nungguin lo! Gue free call line nggak diangkat. Gue telfon pake pulsa eh malah mbak mbak operator yang jawab 'tekan satu untuk melanjutkan panggilan anda, sebelumnya biaya akan ditanggung oleh penerima, karena pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini'!" sewot Leon setelah mendapati Arlen masuk ke kamarnya sendiri.

Iya, tadi Leon yang menoyor kepala Arlen. Ia dan Ghazi sudah berada di rumah Arlen sejak pukul 12. Dan yang dilakukan mereka hanyalah bermain xbox milik Arlen sampai mual.

Arlen mendengus keras mendengar omelan Leon. Rasanya ia menyesal membuang waktu beberapa detik untuk mendengarkan ceritanya yang tidak penting. Matanya melirik jam dindingnya. 05.03.

"Urusan negara," jawab Arlen singkat. Ia pun merebut konsol xbox yang ada di tangan Ghazi tanpa mempedulikan omongan Leon yang menceritakan mbak-mbak operator yang menjawab telfonnya. Padahal mendengarnya ia dongkol setengah mati.

"Jadi Audi udah jadi urusan negara lo ya?" kali ini Ghazi menatap Arlen dengan senyuman miring di bibirnya.

Arlen yang ditanya seperti itu pun salah tingkah namun ia dapat memanipulasinya dengan baik, matanya sedikit melirik ke arah Ghazi, "Tau dari mana lo tentang Audi?"

"Reina dong," jawab Ghazi dengan kedipan.

Kontan Arlen melotot. Yang tadi matanya fokus menatap layar 50 inch di hadapannya, kini sudah seluruhnya beralih menatap Ghazi.

Pertama, ia tadi pagi hanya berbicara pada mamanya akan ke rumah Audi—yang sebelumnya sudah mengorek alamat rumah Audi dari mamanya itu sendiri. Tidak ada Reina. Adiknya itu bahkan masih bermalas-malasan di kamarnya. Kedua, APA MAKSUDNYA GHAZI KEDIP KEDIP SEPERTI ITU?!

Sedetik kemudian konsol di tangannya sudah terbang mengarah ke kepala Ghazi.

"Posesif sih posesif, tapi ini masih pala nih! Maen timpuk aja," Sengut Ghazi yang mengerti Arlen memelototinya karena tadi ia berkedip tentang adiknya. Ditambah lemparan konsol yang mendarat sempurna di kepalanya. Double kill.

"Jangan pernah main-main tentang adek gue."

"Iya deh maap."

"Nggak usah alibi, Nyet," Leon ikut bicara, "Jadi apa yang kita lewatkan tentang lo dan Audi?" Leon bertompang dagu siap mendengarkan penjelasan Arlen. Matanya dibuat besar. Bibirnya dilipat ke dalam. Sesekali berkedip. Sok imut.

Arlen bergidik ngeri dan kembali memainkan game-nya, "Nggak perlu dijelasin."

"Ya apa?" Arlen menghembuskan nafasnya perlahan, mengakui perasaannya pada diri sendiri saja sudah terasa sulit, ini ia harus mengakuinya di depan teman-temannya? Gengsi.

"Ya ... gue ... gitu lah!" jawab Arlen tergagu.

"Gitu lah apa?" mereka terus tersenyum menggoda.

Arlen kesal. Ia yakin teman-temannya itu mengerti apa maksud perkataannya. Tapi mereka terus saja menggodanya seperti itu. Hm, sepertinya kata menggoda terlihat ambigu. Tapi maksud Arlen bukan yang menggoda itu!

Cukup lama hening tercipta. Arlen yang enggan meneruskan percakapan, sedangkan Leon dan Ghazi terus menatap menuntut meminta jawaban.

"Suka."

Satu kata itu mampu membuat keduanya histeris. Pasalnya Arlen tidak pernah benar-benar mengatakan suka pada perempuan. Pacar-pacarnya dulu itu ia yang ditembak dan ia akan diputusi juga karena sifatnya yang tidak pedulian. Ini kejadian langka. Kalau saja Leon atau Ghazi adalah orang pencatat rekor dunia mereka akan memasukan kejadian ini.

Sebenarnya mereka sudah curiga bahwa Arlen menyukai Audi. Mulai dari Ghazi yang melihat Arlen di halte bersama Audi sampai Arlen yang mengantar minum ke Audi. Bagaimana mereka tau? Waktu itu Leon izin ke toilet saat pelajaran Pak Komar, ia melihat Arlen yang melongo melihat lapangan seperti sedang mencari sesuatu. Awalnya Leon ingin mengejutkannya, tapi Arlen keburu pergi. Tentu saja dengan tingkat ke-kepo-an yang tinggi Leon mengikuti Arlen, dan berakhir lah ia melihat Arlen memberi Audi minuman. Ia pun dapat mengetahui itu karena mengintip dari jendela perpustakaan. Leon pikir, Arlen terlalu niat jika ia hanya penasaran. Lagi pula akhir-akhir ini Arlen tidak terlihat ditembak perempuan, bahkan ada perempuan yang mendekatpun ia tidak mengubrisnya lagi.

Dengan dramanya Leon berkata, "Oh my God!"

"Gue takut Arlen sakit! Coba pegang dulu jidatnya!" tangan Ghazi memegang dahi Arlen, "Nggak panas, Le!"

"Oke oke kita harus bikin instastory kalo playboy cap kapak ini udah suka sama cewe!"

Dengan cekatan tangan Arlen merampas ponsel milik Leon yang sudah siap membuat instastory, "Jangan alay."

"Jangan alay gimana?! Gue tuh seneng, bahagia sentosa! Ketakutan gue akan lo homo itu sudah sirna! Zaman sekarang nggak dikit loh cowo ganteng yang homo!"

Ghazi sudah tertawa terpingkal-pingkal. Wajah Arlen masih merah setelah mengatakan kalimat cukup sakral-nya itu, "Gue anggap itu pujian."

"Ternyata Arlen suka yang lugu-lugu gitu ya. Pantesan tuh cewek-cewek bak bidadari yang ngedeketin dia nggak tertarik sama sekali. Bukan selera Arlen!" Leon pun terbahak akan omongannya sendiri.

"Demi cewek lugu gitu dia rela pula dikeluarin waktu pelajaran Pak Komar. Sok ngasih minum pula," Leon menatap Arlen jahil. Sialnya bagi Arlen sahabatnya itu mengetahui semua yang diam-diam dia lakukan. Seharusnya Arlen bisa menebak bahwa Arlen tidak bisa benar-benar menyimpan rahasia sendiri.

Dan seterusnya Arlen menjadi bulan-bulanan Leon dan Ghazi tanpa ampun.

***

TBC...

a/n

Hallo gaiz! Gue tau ini part yang pendek banget!! Gue minta maaf banget!😭 Gue nggak bisa melihat kalian menunggu, tapi giliran gue dateng cuma sedikit gini:(

Sejujurnya gue stuck, bingung ini cerita mau dibawa ke mana.

Sedih kan? :(

Menurut kalian cerita ini kurang panjang apa nggak? comment yaa:( Gue butuh pencerahan dari kalian.

Karna kalo menurut kalian ini udah cukup panjang dan kalo dibuat ending 5-7 part lagi itu sudah bisa memuaskan gue bakal miras buat ending yang gimana hahaha.

Saran kalian sangat gue butuhkan!

Terima Kasih!❤️

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang