30 // Panitia

19.5K 812 7
                                    

Siang ini mereka bertiga—Audi, dan dua orang ribet yang sedang menjalani taruhannya sedang duduk di meja kantin. Sedari tadi Audi menatap malas Deva dan Nadhita yang tak ada hentinya beradu perhatian yang menurut Audi sangat berlebihan dan menjijikan. Bakso yang ada di hadapan Audi pun terasa memualkan untuk dimakan karena sembari melihat tingkah mereka berdua.

"Deva mau nambah es jeruknya? Udah abis tuh, keliatannya lo kepedesan, gue beliin ya?"

Deva menahan Nadhita yang sudah berniat bangkit untuk membeli es jeruk, "Nggak usah, gue beli sendiri aja, nanti lo capek dong bulak-balik cuma buat beliin gue es jeruk."

"Nggak apa-apa, Dev, gue beliin ya."

"Sekali nggak tetep nggak."

"Pokoknya gue beliin."

"Nggak, nanti lo ribet."

"Gue maksa mau beliin!"

"Gue juga maksa buat lo nggak beliin!"

"Apa sih kalian berdua?!" Pekik Audi gusar melihat drama di depannya. Ia memekik dalam batas wajar sehingga tidak menarik perhatian banyak orang.

Audi tahu mereka sedang taruhan dan memiliki rencana cepat untuk menjatuhkan hati lawannya agar lawannya kalah. Tapi nggak gini juga. Sangat berlebihan Nadhita memaksa membelikan Deva minum padahal kemarin dia sangat senang melihat Deva tersedak, bahkan minuman Deva langsung ia tarik menjauh biar Deva tidak bisa minum dan makin tersedak.

Sedangkan Deva? Menahan Nadhita membeli minum dengan alesan takut Nadhita capek? Kalian harus tau jarak penjual es jeruk dengan mereka duduk hanya lima langkah. Audi yakini nenek-nenek encok saja masih sanggup berjalan untuk membelinya. Ah, dan jangan lupa, mereka berbicara dengan nada yang tak jauh beda dengan sinetron. Untuk pertama kali dalam hidupnya Audi ingin tuli seketika.

"Apanya yang apa?" Deva dan Nadhita balik bertanya.

Audi dongkol setengah mati. Ingin rasanya garpu baksonya itu dia gunakan untuk mencolok mata mereka berdua.

"Gue tau kalian lagi taruhan. Tapi caranya nggak gini juga kali. Pake cara alus kenapa? Biar berjalan apa adanya aja. Kalo gini terus gue bisa bego nonton drama kaya tadi setiap hari. Asal kalian tau, liat tingkat kalian gini tuh lebih bikin bego dari pada gadoin micin."

"Astaghfirullah, Audi sampai bersabda. Lo sih, Dev sok-sok nahan gue!"

"Elah lo duluan mancing!"

"Salah lo pokoknya."

"Lo, lah!"

"Stop nggak usah dilanjutin! Gue nggak mau liat kalian kaya tadi lagi. Kalo setelah ini masih kaya tadi, gue seret kalian ke KUA biar langsung kawin," potong Audi sadis.

"Nikah, Di," koreksi Deva.

Sontak Audi melotot, "Mulut mulut siapa?"

Nadhita cengengesan melihat Deva digertak, dan Deva hanya bisa membalas dengan senyum masam.

"Lo juga Nadhita!"

Yang diajak ngomong mengangguk patuh sembari mengacungkan dua jempolnya ke depan, "Siap! Ogah banget gue dikawinin–eh maksud gue dinikahin sama Deva. Bisa-bisa gue mandi air tanah tujuh kali."

"Najis, lo pikir gue mau nikah sama lo? Rusak keturunan gue nikah sama Mak Lampir."

Audi memakan baksonya asal karena kesal lagi-lagi mendengar mereka ribut.

Selang beberapa menit Deva dan Nadhita melewati banyak perdebatan, akhirnya Deva membuka obrolan baru.

"By the way, siapa perwakilan kelas kita yang jadi panitia untuk acara pentas seni bulan depan, Di?"

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang