20 // Am I?

25.6K 1.1K 9
                                    

Aksi tatap menatap terjadi di ruangan XI IPA 1. Pak Komar menatap Arlen dengan tatapan datar tetapi sok galak. Ini lah yang membuat murid-murid tidak menyukai pelajaran matematika. Terutama bila Pak Komar yang mengajar. Tatapannya selalu datar, tetapi sok galak. Seperti ingin disegani tetapi malah membuat murid geli sendiri. Terlebih lagi jika mengajar ia seperti mengajari dirinya sendiri, nyerocos terus tanpa berhenti. Ia memang memberikan sesi tanya jawab setelah menerangkan materi, malah bahkan memaksa, tetapi ketika ditanya, ia selalu menjawab, "Kan bapak udah jelasin blabla," ingin rasanya Arlen ngelekin Pak Komar yang hanya setinggi hidungnya kalau sudah seperti itu.

Suasana kini sangat hening. Yang terdengar hanya suara dentuman detik jam. Murid-muridnya juga kian mengantuk, malah ada yang sudah tertidur dengan sumpelan earphone di kupingnya.

Arlen mengacak rambunya asal karena kesal akan Pak Komar tak kunjung bertindak, "Pak—"

"Kamu ini nggak ada takutnya ya," potong Pak Komar karena merasa ditentang dengan berani berkata.

Kepala Arlen tertunduk, "Takut, Pak."

"Bagus kalo kamu sadar atas kesalahan kam—"

"Takut bapak naksir saya karna kelamaan natep saya kaya gitu."

Sontak Pak Komar melotot, ingin rasanya Arlen menadahkan tangannya di bawah mata Pak Komar, takut keluar. Sedangkan semua teman sekelasnya menahan tawa. Arlen yakin teman-temannya itu sekarang bahagia karena waktu pelajaran Pak Komar terbuang untuk menghakimi Arlen. Dapat terlihat Ghazi dan Leon yang berkata "Lanjutkan!" tanpa suara diikuti tangan yang menonjok udara.

Setelah itu Arlen disuruh keluar kelas tidak boleh mengikuti pelajarannya.

***

Puji syukur Arlen panjatan dengan senyuman merekah. Ia sangat bersyukur karena tidak perlu mendengarkan Pak Komar menjelaskan tentang matriks yang membuat telinganya panas. Walaupun ia diberi hukuman mengerjakan 50 soal matriks dan dikumpul senin depan ia tidak peduli. Disaat seperti ini lah gunanya adik yang bisa di-jokiin. Tidak usah menghakimi sendiri, Arlen memang gila meminta adiknya mengerjakan soal matriks.

Langkahnya tanpa beban mengarah ke kantin. Ia cukup haus setelah membuat beberapa—ralat, banyak gelas teh untuk para guru dan karyawan sekolah ini. Sekali gerak segelas es teh manis sudah berada di tangannya.

Kini ia duduk di pojok kantin sembari meminum es teh manisnya. Arlen bingung apa yang harus dilakukannya. Dilihatnya jam yang melingkari tangan kirinya. Masih jam 8.45 yang tandanya masih ada satu jam pelajaran sebelum istirahat. Es teh yang sisa seperempat itu pun diaduknya asal.

Tiba-tiba ia teringat akan Audi yang juga telat dengannya. Apa dia ikut dihukum sepertinya? Apa dia lolos hukuman dengan tampang polosnya itu?

Tanpa pikir panjang kakinya pun melangkah ke kelas Audi. XI IPA 2. Tentu ke kelas Audi akan melewati kelasnya yang masih diisi Pak Komar. Saat melewati kelasnya, Arlen jalan merunduk lebih rendah dari jendela kelas agar tidak terlihat Pak Komar. Diintipnya kelas Audi, tepat mengarah tempat duduknya. Namun Arlen tidak menemukan sosok keberadaan Audi. Hanya terdapat Deva sahabat Audi yang Arlen sangat malas melihatnya. Di mejanya juga tidak ada alat tulis maupun buku yang sekiranya milik Audi, tentu hal itu membuat Arlen berpikir bahwa Audi dihukum seperti dirinya.

Langkahnya kembali mengitari koridor sekolah. Tak dipedulikannya tatapan tatapan guru kelas lain yang memandang dia dari dalam kelas. Matanya terus menjelajahi seantero sekolah mencari keberadaan Audi.

Saat melewati lapangan, Arlen juga mengedarkan pandangan kepada siswi-siswi yang sedang berolahraga, takutnya Audi nyempil di sana. Tatapan itu pun mengundang banyak pasang mata siswi, terlebih Arlen mengedarkan pandangan secara intens yang membuat semua siswi di lapangan itu baper dan beragumen bahwa Arlen sedang memandang dirinya. Tentu Arlen tidak peduli.

Setelah mengelilingi sekolah yang tidak kecil ini, ia masih tidak menemukan Audi.

Perpus kali ya? Anak-anak gitu mah tongrongannya mana lagi.

Dengan cepat kakinya mengambil langkah panjang menuju perpustakaan yang berada di ujung sekolah, dekat kantin. Sebelum ke perpustakaan, untuk kedua kalinya ia memasuki kantin lalu membeli minuman botol untuk Audi.

Tunggu, sejak kapan Arlen ... ?

Sejurus kemudian Arlen sudah memasuki perpustakaan. Sebagai sambutan Arlen mendapat tatapan tajam dari siswa yang berjaga karena Arlen membawa minuman. Tapi bukan Arlen namanya kalau ia tidak menatap balik dengan tatapan jauh lebih tajam, seolah tatapannya berkata lo-berani-ngatur-gue? sudah pasti siswa tersebut mengalah, menyadari tak ada gunanya melawan Arlen yang tak segan bertindak.

Lagi-lagi Arlen mengedarkan pandangan ke seisi perpustakaan. Tak butuh waktu lama matanya langsung menangkap keberadaan Audi. Di meja pojok dekat rak buku satra asing.

Arlen menghampirinya dan mengambil posisi tempat duduk tepat di depan Audi. Disodorkannya minuman botol tersebut ke orang yang berada di depannya.

Merasa ada yang datang, Audi mengalihkan pandangan dari tumpukan tugas hukuman ke orang yang kini berada di depannya. Namun sedetik kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedikit gugup.

"Dikasih hukuman tambahan juga?" Buka Arlen memandang pekerjaan Audi yang lumayan banyak.

Audi diam tak bergeming. Awalnya ia kira yang datang adalah Deva. Untung saja ia tidak langsung melakukan tindakan ganas—seperti langsung mengambil minum yang disodorkan sembari mengumpat akan banyaknya tugas hukuman ini. Kalau iya mungkin Audi akan mengubur diri secepatnya.

Ingin rasanya Audi menyakari Arlen yang seperti tidak berdosa saat ini. Karena sebab ia lah Audi terlambat sekolah, dihukum membuatkan teh untuk guru dan karyawan yang jumlahnya tidak sedikit ini, dan sekarang Audi harus mengerjakan ulang tugas yang sudah ia selesaikan jauh jauh hari itu sepuluh kali lipat. Dapat disimpulkan juga bahwa Audi diusir dari kelas mengingat kini ia berada di perpustakaan.

Melihat Audi tetap diam dan melanjutkan pekerjaannya selama beberapa saat, Arlen berkata lagi, "Minum dulu, kayanya tenggorokannya kering sampe gabisa ngomong gitu."

Audi sedikit tertegun dan melotot.

"Nggak aus," Audi langsung memberesi pekerjaannya yang terganggu Arlen dan meninggalkan Arlen sendiri, "Permisi."

Kini Arlen terdiam. Terlihat ada kerutan di dahinya, ia memikirkan apa yang barusan dan beberapa saat yang lalu terjadi.

Ia peduli dengan Audi?

Ditatapnya minuman yang ia belikan tadi untuk Audi dan tangannya reflek mengacak rambutnya asal.

Gue suka dia?

***

a/n

longgg time no see, good night!

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang