52 // Rooftop

13.5K 651 16
                                    

Tidak terpikirkan oleh Audi kalau suatu tempat yang Arlen maksud adalah atap rumahnya. Untung saja untuk menuju atap mereka tidak harus melalui jalan yang ekstrim. Terdapat tangga besi dari tempat yang Audi duga adalah tempat menjemur pakaian sebagai penghubung ke atap, sehingga Audi tidak kesusahan dengan dress putih selututnya.

"Atap?"

Mendengar pertanyaan Audi, Arlen mengangguk, lantas dia merentangkan tangannya, menikmati angin malam menusuk tubuhnya.

Dari atas sini mereka masih bisa melihat pesta ulang tahun Reina di halaman belakang rumah berlangsung. Ramai. Ternyata Reina sebanyak teman itu.

Seperti Audi dulu.

"Kenapa atap?" Audi bertanya lagi, tidak mengindahkan pikiran yang ingin menariknya ke relung masa lalu.

"Karena di sini nggak ada orang lain tapi masih bisa ngelihat dan dilihat orang lain. Tadinya gue mau ngajak ke kamar sih, tapi kita cuma berdua, bisa dipastikan badan gue bakal langsung memar lo gebukin karena nuduh gue mau mesumin lo."

"Perkiraan yang belum tentu benar."

Spontan Arlen menoleh. "Masa?"

"Mau nyoba buktiin?"

"... boleh?"

"Mungkin nggak cuma memar yang lo dapat. Patah kaki misalnya?"

"Idih! Udah gue duga! Di atap memang udah paling bener. Masih sayang badan gue."

Tawa Audi meledak. "Mana mau kali gue lo ajak ke kamar. Seenggak ada niatan apapunnya lo, tetep aja lo laki-laki dan gue perempuan. Nggak etis ada di dalam kamar cuma berdua."

"Siapa tau lo mau khilaf."

Sedetik kemudian Audi menendang tulang kering Arlen dan mendapatkan pekikan keras. "Astaga! Galak banget."

"Makanya kalau sekolah itu mulut juga ikut disekolahin."

"Gue sekolah aja alhamdulilah, mau ini mulut ikutan sekolah? Bisa-bisa Albert Einsten bangkit dari kubur cuma buat tepuk-tanganin gue."

Audi mengabaikan jawaban asal Arlen. "Ngapain ngajak gue ke atap?"

"Kan tadi gue udah bilang, gue mau ngajak lo ke kamar, tapi—"

"Bukan itu maksud gue!"

"Apa dong?"

"Kalau gitu gue ganti pertanyaan gue. Kita mau ngapain di atap?"

Arlen terdiam sebentar. "Pengin ngobrol aja. Lo ngerasa nggak sih, kita nggak pernah ngobrol santai tanpa pakai otot?"

"Hmm, mungkin."

"Bukan mungkin, memang nggak pernah! Kebanyakan lo nyewotin gue mulu."

Audi diam saja. Melihat Arlen yang duduk atas kain lebar yang sedikit di tepi atap, Audi ikut duduk di sebelahnya.

"Lo ... mau gue masuk angin?"

Arlen menengok hanya untuk mendapati Audi yang memegangi lengannya. "Dingin?"

"Menurut lo?"

"Ck. Jangan galak-galak dong. Jawab aja kek 'iya dingin' kan bisa." Arlen cemberut. "Tapi kalau lo berpikir gue bakal ngasih jaket gue ke lo kayak di novel yang lo baca, nyatanya sekarang gua nggak sedang make jaket. Dan kalau gue make juga, gue nggak bakal kayak Dilan yang membiarkan lo tanpa jaket dengan tambahan 'nanti kalau aku sakit, siapa yang jagain kamu' dan berakhir dengan gue meluk lo."

Baru saja Audi ingin mengomel karena Arlen terlalu banyak bicara, sedangkan dirinya semakin lama terkena angin malam, bahunya merasakan ada kain yang tersampir dari belakang. Sisa kain lebar yang didudukinya.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang