54 // Surat

14.4K 648 15
                                    

Bagi siapapun yang mendapat jam pelajaran olahraga setelah istirahat pertama, di mana matahari sudah terik-teriknya yang pasti jam olahraga akan berakhir di tengah siang bolong, pasti tidak bisa berhenti mengeluh. Sebagian dari murid kelas 11 IPA 1 mengganti pakaian olahraganya dengan ogah-ogahan, terutama murid perempuan. Berkali-kali mereka berdecak, menyumpahserapahi guru yang menjadwalkan pelajaran olahraga di tengah siang bolong seperti ini. Bagi mereka olahraga di jam seperti ini sama saja menyerahkan diri untuk merasakan sepercik panasnya neraka sebelum waktunya. Terlebih lagi hari ini langit sedang cerah-cerahnya, bahkan awan yang bisa diandalkan untuk menutup terik matahari sementara pun seolah ikut berkompromi untuk membuat langit cerah tak berawan.

Semua murid perempuan sibuk menggunakan sunblock, alasannya sudah pasti karena tidak mau kulit mereka terbakar. Sedangkan murid laki-laki hanya melengos dengan apa yang mereka lihat di depannya. Cewek selalu ribet. Well, murid laki-laki mau olahraga jam berapapun mereka terima-terima saja. Tentu siapa anak lelaki yang tidak menyukai olahraga? Paling-paling hanya anak yang lebih suka menekuri ensiklopedia—yang Arlen tidak tahu apa isi buku itu bisa setebal itu—ketimbang men-dribble bola di lapangan.

Tetapi hari ini entah setan dari mana, Arlen sedang malas mengikuti pelajaran olahraga. Bukan karena dia lebih memilih mendekam di suatu tempat dengan buku tebal sebagai bacaan seperti anak kutu buku, bukan. Kalau Arlen seperti itu, bumi bisa gonjang-ganjing. Selain karena hari ini sedang terik-teriknya yang membuat siapa saja bisa berkeringat hanya dengan di luar ruangan tidak ber-AC tanpa melakukan apapun sebentar saja, juga karena hari ini materi olahraganya adalah atletik. Belum-belum kalau disuruh lari 15 menit. Bisa mendidih kepala.

"Arlen! Kenapa kamu nggak masuk ke barisan?"

Apa yang didengar Arlen, membuat dirinya yang duduk di pinggir lapangan mengenadah hanya untuk mendapati Pak Agung, guru olahraganya yang bertanya.

"Kaki saya kesleo, Pak." Tangan Arlen memegangi pergelangan kakinya yang katanya kesleo dengan tampang meringis.

Pak Agung memandang Arlen skeptis. "Bawa ke tukang urut, lah, kalau kesleo."

"Udah, Pak. Tapi masih tetep kesleo," Pak Agung memandangnya bertanya. "Soalnya saya yang ngurut tukang urutnya."

Sontak teman-teman Arlen tergelak, sedangkan Ghazi dan Leon mencibir melihat Arlen yang ingin melarikan diri dari lari di bawah terik matahari sendirian. Kita juga mau kali.

"Gimana, sih, kamu ini—"

"Serius, Pak, tukang urutnya kesleo juga! Karena saya anak yang sholeh dan takut kualat sama orang tua lalu dikutuk jadi batu, ya saya urutin dong, Pak." Arlen mengerjapkan mata innocent.

Dengusan lolos dari mulut Pak Agung. Tangan yang memegang gulungan lembar absen itu terangkat untuk memukul kepala Arlen—meski tidak sekuat itu, namun mampu membuat Arlen sedikit terperanjat. "Nggak usah alasan! Kamu pikir saya gampang dibohongi? Mana sini kaki kamu yang kesleo?"

Baru saja Pak Agung akan melayangkan tendangan di kaki yang Arlen sebut-sebutkan kesleo tersebut, Arlen spontan meloncat dari duduknya. Bukan karena dia takut Pak Agung akan menendang pergelangan kakinya yang kesleo tersebut, namun karena memang Arlen tahu betul tujuannya bukan pergelangan kakinya. Sudah bukan rahasia lagi kalau guru olahraganya itu hobi menendang tulang kering siswa laki-laki yang susah diomongi, terutama dirinya. Sepertinya kaki Arlen memang samsak favorit beliau. Jadi bisa dipastikan kalau Pak Agung akan menendang tulang keringnya.

Atau mungkin tindakan Pak Agung barusan bagai makan buah simalakama untuk Arlen.

Melihat Arlen yang melompat dari duduk dengan kaki kesleo dengan mudahnya, dapat dilihat Pak Agung telah menatap nyalang menyadari kebohongannya. Mau tidak mau Arlen menelan semua tatapan tajam itu dengan susah payah. "Ini ... beneran sakit kok, Pak,"

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang