Audi sibuk merapihkan beberapa properti yang para peserta lomba drama bawa. Talkie walkie yang berada di saku belakang celananya pun terus berbunyi, di mana Calista menanyakan apa semua sudah teratur atau belum. Tadi dia izin ke toilet, sehingga saat ini belum terlihat lagi keberadaannya. Mungkin panggilan alamnya sudah selesai dan sedang berjalan ke belakang panggung.
"Monitor. Yang lagi di deket panggung, buruan cek, itu lampu-lampuannya miring. Ck."
Audi yang baru saja meletakkan properti, langsung bergegas mendengar perintah itu. Sedangkan beberapa yang lain bergumam, "etdah, tumben galak si Calista. Baru dapet apa yak?"
"Hati-hati lo, kalo Calista denger, kena semprot baru tau rasa."
Audi tidak mengindahkan hal itu. Posisi dia juga memang dekat dengan tangga panggung. Jadi dia tidak berlama-lama dan meninggalkan mereka.
Tangan Audi meraih talkie walkie yang berada di saku belakangnya untuk melapor, "ini saya Audi, naik ke atas panggung."
Setelah itu kakinya telah menginjak panggung yang belum dipakai untuk acara pensi sedikit pun. Masih ada waktu lima menit sebelum acara benar-benar dibuka. Talkie walkie yang ada di genggamannya tadi kembali dikantongi.
Mata Audi mendapati properti tiang lampu jalan yang sedikit miring. Tangannya meraih tiang tersebut dan berusaha menegakkannya. Ternyata di bawah penegak tiang yang berbentuk kotak di bawah tabung tiang ada yang mengganjal.
Audi menggerak-gerakan properti tiang yang terbuat dari kayu itu, supaya bergeser, dan Audi bisa mengambil benda yang mengganjal. Saat sedang menggoyang-goyangkan, ternyata Audi terlalu kuat, sehingga membuat properti tiang itu oleng. Audi yang tidak mampu menahan beban properti tiang dari kayu itu panik. Wajahnya sudah ketakutan, matanya juga sudah terpejam. Dia memekik.
Nggak lucu nih kalo gue ketiban kayu. Kalo nggak ketiban juga ini properti bakal jatuh. Mampus abis kalo sampe rusak.
Audi sudah berjengit menahan pekikan. Sudah cukup lama dia memejamkan mata, tetapi suara hantaman tidak kunjung terdengar.
Dengan perlahan Audi membuka matanya. Properti tiang itu berdiri tegak. Tidak oleng seperti tadi. Dia kembali mengerjapkan matanya. Dilirik cepat pemilik tangan yang sedang memegang properti tiang itu.
"Ceroboh banget, sih." Arlen menatap Audi sedikit kesal, tetapi kilatan khawatir terpancar dari mata hazel Arlen. Audi termanggu.
"Hoh, hoh, lo nggak papa, Di? Aduh, kenapa lo nggak panggil Raihan kalo misalnya ini berat?" Calista terengah-engah. Dirinya yang tadi masih berjalan ke arah panggung langsung tergopoh-gopoh berlari saat melihat Audi yang hampir menjatuhkan properti tiang.
Audi hanya bisa meringis. "Maaf, Cal, saya nggak kepikiran."
"Untung ada cecenguk satu ini. Tapi lo ngapain di sini? Sana ke depan, jualin tiket ots!" Calista bernafas lega.
Arlen mendelik mendengar sebutannya itu. Diusir pula.
"Sebagai manusia yang beradab, seharusnya lo berterima kasih," ucap Arlen sarkastik.
Calista melengos, "makasih. Dah sana lo pergi." Tangan Calista tergerak seperti nengusir kucing.
Arlen mencebikan bibirnya. Diliriknya Audi, seringai terlihat di bibirnya, "Audi juga, mana ucapan terima kasihnya?"
Audi melotot. Pertanyaan Arlen tidak terduga. Dia sedikit gelagapan. Otaknya seolah mendapat sinyal, dia langsung teringat dengan kejadian dirinya dengan Arlen beberapa saat lalu yang membuatnya sedikit ... malu? Ingin Audi menepuk dahinya kuat agar otaknya kembali lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...