41 // Tolong

16.2K 690 35
                                    

Dahulu, tatapan Calvin selalu mampu membuat Audi terpaku. Mengubah dirinya dari yang bisa multi tasking, menjadi gagal fokus, seolah-olah fokus dunianya hanya berada di mata coklat terang itu. Mata yang bersorot tajam, tetapi mampu membuat kaki Audi melemah ketika bersitatap. Mata yang selalu Audi rindukan, dulu.

Tetapi, namanya Audi masih terlalu dini untuk memahami betul dari tatapan seorang lelaki. Dia jadi mudah tertipu karena terlalu mengagumi mata coklat terang itu. Dan mulai saat Audi melihat penghianatan Calvin dengan mata kepalanya sendiri, dia menjadi sangat membenci sorot dan pemilik mata coklat terang itu.

Bagai peribahasa 'air susu dibalas air tuba', Audi tidak lagi mengindahkan segala kenangan indah yang pernah terjadi antara dia dan Calvin, semua sudah rusak di hadapan Audi setelah melihat penghianatan itu. Cih. Mengingatnya saja Audi tidak muak.

Dan saat ini Audi kembali terpaku dengan tatapan Calvin. Tetapi dia bukan terpaku karena kagum. Tatapannya sudah berubah 180 derajat dari pada yang dulu. Di mata Audi penuh pernyataan tersirat yang tidak bisa dijelaskan dengan sekali lihat.

Namun, Arlen merasakan kalau mata Audi menyiratkan hal yang tidak mengenakan. Perasaannya berkata seperti itu.

Sapaan Calvin, orang yang bagi Audi spesial dulu, masih menggantung. Yang disapa juga seperti tidak ingin mengindahkannya. Dia masih berlarut dalam pikirannya yang melanglang buana. Adegan tatap menatap ini berlangsung cukup lama. Arlen yang masih mengamati keduanya yang hanya berdiam diri, semakin pongah. Dia tau, pasti Audi dengan orang di depannya—yang Arlen tidak tau namanya ini pernah memiliki suatu hubungan dan masalah. Lagi-lagi perasaannya yang berkata seperti itu. Setelah dipikir-pikir, siapa lagi kan orang yang bisa mebuat kita membatu dengan aksi bersitatap lama kalau bukan mantan?

Dugaan Arlen semakin kuat ketika lelaki di hadapannya ini meraih tangan Audi. Tentu saja dengan cepat Audi tepis. Arlen mencemooh dalam hati. Mampus dah tuh.

Tangan Arlen yang memegang lengan Audi, kini sudah berganti posisi dengan Audi yang menggenggam lengan Arlen. Genggaman ini membuat jarak antara Audi dan Arlen terhapus. Audi menatap Arlen di sebelahnya.

"Ayok, Len, aku laper," cicit Audi sedikit manja. Oh hell, Audi tidak tau harus berbuat apa selain melakukan hal yang menjijikan ini. Audi mengerjapkan matanya sebagai kode agar Arlen mengikuti alur permainannya.

Bibir Arlen berkedut menahan senyum lebar. Sumpah dia bahagia. Ini Audi loh yang nempel duluan, muehehe. Walaupun dia tau ini hanya akting, tapi tidak salahkan dia bahagia? Siapa tau nanti bisa dimanjain Audi beneran muehehe. Tentu kesempatan ini Arlen manfaatkan sebaik mungkin.

Arlen tersenyum mengejek ke arah lelaki itu. Yang diejek membalas dengan menatap tajam.

"Sorry, bro, cewek gue udah laper. Duluan ya," Arlen dengan tampang tengilnya menepuk-nepuk bahu Calvin, lalu berlalu meninggalkannya tanpa mempedulikan wajah Calvin yang merah padam. Hahaha double mampus lo!

Mereka melangkah membelah keramaian. Arlen menatap Audi, dia mendapati mata Audi memandang kosong ke arah paving. Tangannya masih menggenggam—seperti memeluk—lengan Arlen. Sepertinya dia tidak sadar.

Oke. Pertama, Arlen tidak tega melihat Audi murung dan bengong seperti ini. Dia takut Audi kesambet. Kedua, dia juga tidak rela menyadarkan Audi–yang pasti bila dia sudah sadar, dia akan langsung melepaskan genggamannya dari lengan Arlen.

Karena Arlen masih memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Akhirnya dia memilih diam saja dan segera mencari tempat duduk untuk Audi, agar Audi bisa menenangkan diri, tidak seperti mayat berjalan begini.

Kalian bilang Arlen modus? Memang. Lagian, kalau kita bisa menyelam sambil minum air, kenapa nggak cuy?

Setelah menemukan tempat duduk yang bisa mereka berdua duduki, Arlen menyuruh Audi menunggu di situ, lalu dia berlalu untuk membelikan makan dan minum untuk mereka.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang