Audi merasakan dingin di kakinya. hal itu membuat dirinya membenarkan posisi selimut berwarna putih itu untuk menutupi kaki. Ia pun memeluk gulingnya dengan damai. Tak lama, ia malah merasakan sumpek akibat selimut yang benar-benar menutupi tubuhnya dari leher hingga kaki. Audi kembali menyibakan selimutnya dan mengeluarkan satu kakinya. Ia tersenyum sembari berbatin 'perfect'.
1 detik.
2 detik.
3 detik.
Audi membelalakan matanya sempurna dan terkesiap duduk. Tiba-tiba terbesit akan suatu hal. Ia meraba pakaiannya. Mengingat semalam ia berakhir tidur saat bersama Arlen. Ia sudah tak menggunakan pakaian semalam, melainkan piyama. Ia makin panik. Matanya menjelajah ke sekelilingnya memperhatikan interior kamar yang ia tiduri lalu bernafas lega. Ia berada di kamarnya sendiri.
Ia takut Arlen akan mengambil kesempatan berbuat yang iya-iya padanya. Arlen juga lelaki normal. Tapi nyatanya Arlen tidak sebrengsek itu.
Tapi siapa yang bawa gue pulang?
Mungkin Arlen. Mungkin juga papanya. Iya lah siapa lagi, tidak mungkin mamanya akan menggendongnya sampai ke lantai dua.
Pikirannya kembali ke kejadian semalam. Saat ia tertidur di sisi Arlen. Semalam ia memang sangat lelah. Lelah dengan acara papa yang menurutnya membosankan dan hanya ajang nyengir ke semua orang. Dan lelah juga dengan kenyataan tentang Arlen yang mengetahui semua rahasianya. Malam itu, pada saat Audi sudah memejamkan matanya, ia merasakan hangat membaluti tubuhnya. Yang ia yakini itu adalah jas milik Arlen.
Mengingat itu Audi menutup wajahnya dengan tangan.
Gila.
Ia tidak mengerti perasaan macam apa yang sedang ia rasakan kini. Semuanya terasa kacau dan ... malu? Semua terasa membebani pikiran dan jiwanya. Semua terasa membuatnya gila.
Audi mengacak rambutnya asal. Frustasi. Ia akan memberi tahu Deva ASAP tentang apa yang telah terjadi. S e m u a n y a.
Lalu ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi yang berada pada arah pukul sebelas dari tempat tidurnya. Ia mencepol rambutnya ke atas lalu menyalakan kran air untuk mencuci mukanya dan menyikat gigi. Dirasa selesai, ia turun dan menemukan mamanya yang sedang memasak. Pasta rupanya.
Audi menyelonong melewati mamanya untuk mengambil gelas di rak atas.
"Heh, mama dilewatin gitu aja," cerocos Andira kepada anaknya yang melihat Audi tidak ada senyum-sapa-salam sama sekali.
Audi melengos, "Assalamualaikum, Bu Hajiii," respon Audi sembari memaksakan senyuman.
"Ya nggak mesti gitu juga."
"Jawab dulu ma," Audi pun menuangkan air putih di gelas yang diambilnya lalu meminumnya.
"Astaghfirullah, Waalaikumsalam," Andira kembali berkutat dengan bumbu-bumbu pastanya, "Audi."
"Hmm," Audi masih sibuk menikmati air yang mengalir di tenggorokannya. Segar.
"Gimana sama Arlen semalem?"
Dats! Audi terbatuk. Seketika air putihnya terasa pait dan menyesakan nafas.
"Nggak gimana gimana," balas Audi singkat.
Apa Andira tidak berpikir bahwa Audi itu pura-pura nerd? Dan dengan santainya semalam ia mengenalkan Audi pada Arlen yang notaben nya teman satu sekolah Audi? Apa Andira tidak mengetahui itu juga?
"Ma, aku tuh satu sekolah sama Arlen kalo aku harus ingetin. Dan aku di sekolah itu tampil nerd, mama tega banget semalem ngenalin aku sama dia," rengek Audi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's on Fire
Teen FictionAudira Ivanna Mahardika. Gadis cantik yang berpura-pura menjadi nerd untuk mencari teman yang tidak mengincar hartanya. Ia dulu pernah bersekolah di London, namun semua temannya hanya mengincar hartanya saja. Termasuk mantan pacar nya saat itu yang...