59 // Seribu Satu Jalan Menuju Roma

10.5K 491 8
                                    

Tidak mudah bagi Audi untuk mengumpulkan kedua sahabatnya di meja yang sama seperti saat ini. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Yang satu sibuk dengan kukunya, yang satunya lagi merasa jalanan luar lebih menarik dari pada kebersamaan mereka bertiga.

Kini mereka berada di salah satu kafe di daerah Senopati. Ketika sang pelayan mengantarkan pesanan mereka—tanpa ada salah satu dari mereka yang menoleh ke pesanan yang telah diletakkan di atas meja, Audi berdeham. Tidak ada yang menengok. Sekali lagi berdeham, tetap tidak ada yang menggubris. Karena kesal tidak ada respon, Audi menendang tulang kering Deva sampai membuatnya mengaduh kesakitan. Dan ternyata cara itu lah yang bisa membuat Audi mendapat perhatian dari dua sahabatnya tersebut karena saling terkejut. Deva terkejut karena mendapatkan serangan secara tiba-tiba, dan kalau perlu ditegaskan, Audi menendang tulang keringnya, man. Sedangkan Nadhita berjengit karena mendengarkan pekikan dari orang di sebelahnya.

"Please, deh, di sini masih ada manusia kali. Nggak ada alat meni-pedi ataupun aspal. Bahkan pesanan datang aja kalian nggak ada yang beralih sedikit pun." Audi memutar bola matanya kesal.

"Nggak ada yang nganggep lo alat meni-pedi ataupun aspal, kok." Deva akhirnya bersuara.

Audi melotot karena perkataannya dijawab dengan muka tanpa dosa, membuat Deva cemberut.

"Nggak usah dijawab!"

"Terus gue harus apa?"

"Jawab kalo gue mau dijawab."

"Cara gue bedaan lo mau dijawab atau nggak, gimana?"

"Menurut lo aja!"

Raut wajah Audi masih mengeras. Tidak tahu mengapa, tapi Audi kesal saja dengan Deva. Wajahnya hari ini terlihat menyebalkan di mata Audi.

"So, jelasin ke gua apa yang terjadi di antara kalian."

"Pernyataan model gini baru boleh gue jawab?"

Tampang Deva masih polos, membuat Audi rasanya ingin mencekiknya sekarang juga. "Lo belum pernah kena colok garpu pancake ini ya?!"

Spontan Deva memberengut, lantas memilih mengakhiri adu bacot unfaedah di antara mereka itu. "Nggak ada apa-ap—"

"Nadhita udah cerita semuanya."

Mendengar itu, yang tadinya leyeh-leyeh, Deva melebarkan matanya. "Se–semuanya?"

Deva menoleh ke arah Nadhita ketika Audi menjawab dengan anggukan tegas. Kalau mata Deva adalah laser, sepertinya mata Nadhita sudah buta karena ditatap lama. Dan jangan lupa, ... ada jantung yang berdegub kencang ditatap seperti itu. Terlebih lagi jarak di antara mereka cukup dekat, membuat kaki-kaki Nadhita terasa seperti jelly.

But stop! Bukan itu yang seharusnya dia pikirkan. Nadhita tahu ke arah mana maksud dari tatapan Deva.

"Gu–e nggak cerita semuanya," bisik Nadhita.

Audi menaikan sebelah alisnya, "Masih ada yang belum gue tau?"

Deva mengela nafas lantas berdeham demi melegakan tenggorokannya. Situasi saat ini bukan lah situasi yang dia inginkan, tetapi dia juga tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat.

"Sebenarnya, gue nggak mempermasalahkan hubungan apa pun yang terjadi sama kalian, tapi perasaan gue ikutan acak-acakan ngeliat kalian yang nggak akur dan saling menghindari kayak kemarin-kemarin gitu," ucap Audi.

Nadhita kini bersuara dengan kekehan canggung di akhirnya, "Dari pada nggak akur, gue rasa antara gue dan Deva hanya butuh waktu aja, kita cuma ... a lil bit awkward?"

"Gue pengin kita mencair lagi, sih. Kita yang begini, got me crazy, sumpah. Tapi kalau memang kalian cuma butuh waktu, syukurlah. Tapi kalau memang ada masalah lain, gue mau kalian, kita, selesaiin semuanya baik-baik,"

Ada jeda sesaat. Audi mengalihkan pandangannya ke luar jendela kafe, pikirannya sedikit melanglang ke masa lalu, "gue nggak mau kehilangan sahabat ... lagi."

"Ada hal penting yang mau gue omongin," kalimat yang keluar dari mulut Deva membuat Audi menengok dan memusatkan perhatiannya kepada Deva. Hal itu cukup membuat Deva menghela nafas dalam. Mata Deva melirik sejenak ke arah Nadhita dan kembali lagi ke Audi, lalu dia meraih tangan Nadhita di bawah meja dan menggenggamnya. Tidak tahu apa yang merasukinya, Deva hanya merasa dia harus melakukannya.

Mendapatkan perilaku seperti itu tentu saja membuat Nadhita kaget setengah mati. Tolong ajarkan Nadhita caranya bernafas. Saraf dan otaknya tidak bisa bekerja secara baik selain untuk terbongong dengan diikuti mulut yang sedikit terbuka. Perasaan Nadhita benar-benar terasa seperti es krim di tengah teriknya matahari. Ambyar.

Meskipun begitu, sempat terlintas pikiran di otak Nadhita bahwa Deva ... akan menyatakan perasaan yang sebenarnya kepada Audi. Perlu diingatkan kalau di meja ini ada Audi, Deva, dan dirinya. Which is, itu artinya Deva mengungkapkan perasaannya pada Audi di hadapannya. D i  h a d a p a n n y a .

Dosa apa yang telah Nadhita lakukan sampai terjadi hal seperti itu, Tuhan???

Tetapi ternyata tidak setragis itu.

"Bagaimana pun kita, gue, lo, Nadhita, bakal terus jadi sahabat. Dan gue janji semua bakal baik-baik aja. Bakal kembali normal lagi."

"Janji?" Audi memasang raut bertanya.

Dari pada pertanyaan bermasud memastikan pernyataan Deva, siapa pun yang mendengar Audi berkata seperti itu juga tahu kalau Audi merasa kurang setuju dengan kata yang barusan didengarnya.

"Gue dan lo temenan dari kelas 1 SMA, gue tau itu nggak lama. Pertemanan lo dan Nadhita juga jauh lebih singkat dari pada kita berdua. Tapi gue juga bukan orang yang suka meyia-nyiakan waktu pertemanan gue.

"Waktu kita wasting time bareng itu, well, berharga buat gue." Deva menengok ke arah Nadhita. "Saat gue ngomong kita, lo juga termasuk, Nad."

Karena tidak terlalu siap dengan panggilan Deva, Nadhita dibuat mengangguk terpatah. Dia masih lumayan linglung. Ini beneran Deva nggak ngomong perasaannya ke Audi?

Suasana yang tadinya sempat mendingin, kini dibuat menghangat dengan detik-detik yang terus berganti. Salah satu dari mereka mulai tersenyum dan diikuti dengan yang lainnya, lantas setelah itu mereka tertawa geli tanpa alasan yang jelas.

Begitu lah pertemanan. Terkadang di saat ada salah satunya yang memiliki perasaan lain, orang tersebut memilih mengalah pada perasaannya dan tidak memberi tahu sama sekali tentang apa yang dia rasakan pada sahabatnya itu.

Bukan karena pengecut, bukan juga karena berkhianat sebab kurangnya transparansi di antara pertemanan mereka. Lantaran, tidak semua hal perlu dijelaskan. Ada beberapa hal yang lebih baik disamarkan, hingga seiring berjalannya waktu, hal tersebut terlupakan dan menghilang. Dan tentu saja tidak ada pihak yang merasa sakit. Terutama sang pemendam rasa.

Sekali lagi, begitulah pertemanan.

Bagi Audi, teman adalah segalanya. dia tidak menginginkan perpecahan dalam pertemanannya.

Bagi Nadhita, pertemanan bagai supremasi hukum, selalu diletakkan di paling atas.

Dan bagi Deva, ... ada seribu satu jalan menuju Roma.

***

TBC...

a/n

haiii?? im back! sorry kalo lama hehe

aku lagi PAS nih. untuk kalian yang lagi PAS juga, semangatt!!!!

Selamat bertemu di part selanjutnya!

with love, Flo.

Heart's on FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang