Mila meraih ponselnya dari saku dalam jas putih yang ia kenakan. Seketika pandangannya kaku saat membaca pesan dari nomor yang tak dikenal.
"Meski tanpa pesan, aku hanya berharap kau menyukai bungan pembarianku"
Dahi Mila berkerut drastis dengan pikiran menerawang. Otaknya bekerja keras mencoba memecahkan pertanyaan dalam benaknya sendiri. Apa mungkin pengirim bunga dan pesan diponselnya orang yang sama?
"Tak banyak yang bisa aku lakukan selain mengukir senyum diwajah indahmu setiap harinya..."
Namun yang pasti tak akan mungkin bisa terjawab jika tak ada satu nama pun yang bisa ia terka, fine. Setidaknya sejauh ini ia hanya bisa berpikir positive saja, toh tidak ada sesuatu pun yang bisa ia curigai.
Walau terkesan canggung untuk seseorang yang berstatus, istri.
Mila menyandarkan punggunggnya santai pada kursi kerjanya. Dengan satu tangan masih menggenggam ponsel sedang tangan lain menyisiri setiap kelopak bunga indah dihadapannya saat ini.
"Sepertinya bunga itu datang dari seseorang yang special...", entah sejak kapan datangnya tiba - tiba saja suara berat sang mertua sudah menggema memenuhi ruagan Mila. Semoga ini bukan karena ia terlalu fokus pada apa yang diterimanya barusan.
Terdengar seperti sindiran, tapi bukan hal aneh bagi Mila menerima perlakuan yang demikian. Atau mungkin telinga dan hati Mila sudah terlalu kebas untuk sebuah sikap yang ditunjukkan Chandra, terutama perihal lelaki?
Tetap dengan wibawa dan sorot pandang angkuhnya, Chandra duduk dikursi yang berhadapan langsung dengan Mila. Ia pun tak segan untuk mengambil bucket bunga yang masih tergeletak rapih diatas meja Mila tersebut.
"White Angle....?", desis Chandra pelan bersamaan dengan senyum kecut dibibirnya.
Ia beralih menatap Mila, tatapan yang sungguh tak bisa diartikan. Sedang Mila cuma berusaha tenang dengan tetap menyunggingkan senyum termanisnya. Tak ada yang perlu ia takuti bukan? Meski ketidaksukaan sang mertua sangat kentara.
"Tadi salah satu Office Boy di Rumah sakit yang mengantrakannya ke ruangan Mila, Pa" tukas Mila cepat tanpa ingin membuat Chandra menunggu lebih lama lagi.
"Semoga bukan seseorang yang ingin berniat jahat padamu, tapi jika boleh papa berpendapat ada baiknya jangan terima apapun dari orang lain. Apalagi untuk seseorang yang tidak menunjukkan identitasnya seperti ini..."
Brugh! Tanpa ingin tahu bagaimana perasaan menantunya, Chandra membuang begitu saja bucket bunga itu kedalam kotak sampah yang terletak tak jauh dari meja kerja Mila.
Sakit!
Setidaknya itu yang Mila rasakan. Hatinya seketika mencelos dengan sikap yang ditunjukkan Chandra padanya. Katakanlah jika ia memang sudah mengetahui siapa pengirim bunga itu, tapi ini...? Bahkan untuk namanya pun masih menjadi sebuah benda gelap atau bahkan tak kasat mata.
Mila terdiam tanpa bisa berkomentar apapun, ia seperti menelan pil pahit tanpa air minum yang menyertainya. Sangat sulit dan bahkan teramat, hingga meninggalkan kegetiran yang akan sulit untuk hilang begitu saja.
"Jangan bebani pikiranmu dengan sesuatu yang cuma akan mengganggu konsentrasimu pada pekerjaan, ingatlah jika nyawa seseorang itu berada ditanganmu..." ucap Chandra lagi yang seolah tak memberikan sedikit jedah pun untuk Mila berbicara. Bahkan dengan angkuhnya ia beranjak dengan kedua tangan bergerak mengancingkan jas yang dipakainya.
"Nyawa seseorang berada ditangan Tuhan Pa, bukan Dokter", Mila menjedah ucapannya setelah sebelumnya ia menghela nafas berat. "Gelar yang aku sandang saat ini hanyalah sebuah titipan yang harus aku pertanggung jawabkan, bukan untuk mengubah takdir Tuhan..."

KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR YOU
FanfictionCinta yang besar membuatnya bertahan pada sebuah kata "Kesetiaan", namun bagaimana saat (terpaksa) kesetiaan itulah dipertanyakan? -Louisa Mila Calysta - Kesetiaan hanya akan membawamu pada kesengsaraan, sedang mencintai adalah anugerah. Tapi cin...