Kevin sama sekali tidak tertarik dengan topik investasi dan keuntungan yang sedang dibicarakan salah satu rekan bisnisnya. Beberapa kali ia menghela nafas panjang pertanda bosan. Sayangnya, tidak ada alasan yang masuk akal agar ia bisa melarikan diri dari pertemuan bisnis ini. Tidak peduli berapa kalipun ia mengancam akan membunuh Galang, lelaki – gila yang dengan seenaknya meninggalkan tanggung jawabnya itu.
Jangan lupakan jika tanpa berperasaan ia mengatakan akan menghancurkan seluruh induk perusahaan Andreas jika Kevin tidak berhasil memenangkan proyek triliunan rupiah ini. What the hell?
"Berikan aku kabar baik! Jika tidak ingin hidupmu berakhir tragis!" Harusnya Kevin memikirkan ribuan kali untuk membuka pesan singkat yang dikirimkan Galang padanya. Dan sekarang? Mood – nya benar-benar buruk. Sialan!
Pada akhirnya, Kevin kembali mengutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak perlu mengikuti perintah sahabatnya itu disaat pikirannya sama sekali tidak fokus untuk melakukan apapun. Bahkan ketika kedua matanya menangkap gerakan bibir seorang wanita yang sedang mempresentasikan bahan pernawarannya justru yang Kevin lihat adalah bayangan Mila dengan ucapan yang terus saja menggema ditelinganya.
Apa kau mulai lelah?
Kalimat itu seakan membuat perasaan Kevin semakin sulit. Apalagi dengan keraguan yang selalu menjadi bayang – bayang diantara hubungan mereka. Sesulit itukah untuk Mila bisa mengerti seperti apa besarnya cinta yang dirinya punya?
Kevin memijat dahinya lelah dengan siku yang ia tumpuhkan ditepian meja, "Aku ingin ke kamar kecil sebentar, kau bisa temani mereka kan?" bisiknya pelan kepada Robert, lelaki yang menjabat sebagai sekretarisnya itu selama kurang lebih tiga tahun belakangan.
Robert mengangguk paham tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia sudah cukup mengerti melihat seperti apa raut yang ditunjukkan atasannya tersebut sejak memasuki ruang meeting ini.
Beranjak dari rasa ketidakpahamannya akan emosi yang sedang mengukungnya saat ini, Kevin berusaha mengenyahkan itu semua. Memutar keran pada wastafle didepannya ia menengadahkan tangan dan menampung air yang keluar dari sana membasuh wajahnya dengan usapan yang kasar, melewati kepala sampai dengan tengkuknya.
Air dingin yang menyentuh permukaan kulit wajah dan kepalanya sedikit banyak menyegarkan pikirannya. Walau presentase itu masih kurang dari sepuluh persennya saja? Ada hal lain yang dirinya butuhkan saat ini, dan itu hanyalah sebuah kepastian.
Sesaat Kevin hanya menatap pantulan tubuhnya dicermin sembari mentertawakan dirinya miris. Untuk kesekian kalinya ia harus kalah – meski kenyataan mengakui jika dirinya adalah pemenang sesungguhnya. Namun apalah arti sebuah kemenangan ketika masih menimbulkan keraguan dihati seseorang yang telah kau yakini akan menjadi milikmu sebenarnya?
Pemikiran itu membuat Kevin seakan ingin menghentikan langkahnya saat ini juga. Tak peduli seberapa jauh ia sudah melangkah, karena batasannya sebagai manusia biasa cuma memilki satu hati yang bisa hancur berkeping – keping kapan pun tanpa bisa tahu, kapan kepingan itu akan kembali utuh.
Alih – alih demikian, jiwa Kevin ditarik paksa masuk kedalam raganya ketika getaran ponsel didalam saku jasnya menginterupsi dengan jelas. Raut wajahnya seketika berubah, menatap layar ponsel digenggamannya yang menampilkan id caller yang ia percaya mungkin dalam beberapa hari ini tidak akan menghubunginya setelah perbincangan mereka beberapa jam yang lalu.
Tanpa pertimbangan antara hati dan pikirannya, Kevin menggerakan ibu jarinya diatas benda pipih itu kearah kanan dan dengan segera menempelkan ditelinganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR YOU
FanfictionCinta yang besar membuatnya bertahan pada sebuah kata "Kesetiaan", namun bagaimana saat (terpaksa) kesetiaan itulah dipertanyakan? -Louisa Mila Calysta - Kesetiaan hanya akan membawamu pada kesengsaraan, sedang mencintai adalah anugerah. Tapi cin...