1. Who The Hell Is He??

8.9K 1.1K 357
                                    

Bulan ini masih musim hujan, seperti sore ini hujan mengguyur kota Jakarta deras sekali. Vatar tengah menunggu seseorang keluar dari rumahnya. Beberapa kali ia mengusap-usap telapak tangan untuk mengusir hawa dinginnya. Bibirnya yang tipis bergetar kebiruan menambah kesan betapa menggigil dirinya. Seragam putih abu-abunya yang telah basah kuyup seolah menciut mengimbangi otot-otot bisepnya.

Vatar masih menunggu, entah menunggu seseorang atau menunggu buku yang akan dia pinjam. Sementara itu Dizza masih bimbang, berulangkali ia melongok cowok yang sedari tadi menunggunya. Ia merasa tidak mengenalnya. Buku bersampul cokelat yang ia pegang hanya di kipas-kipas saja untuk mengulur waktu. Ia masih ragu untuk meminjamkan buku tersebut. Dengan takut-takut ia keluar dari pintu rumahnya. Saat mengetahui ada langkah seseorang yang mendekat, Vatar mengangkat wajahnya.

"Umm, maaf ternyata bukunya dikumpulin,"

Vatar menghela napas kecewa. Bibirnya yang kebiruan nampak agak maju sedikit merespon omongan Dizza barusan.

"Maaf ya, sekali lagi." sambung Dizza lagi sambil tersenyum, merasa tak enak karena mengecewakan cowok ini. Ia terpaksa berbohong.

"Gimana sih kata kamu tadi ada! Aku udah nunggu lama-lama juga!" keluhnya marah, terdengar dari nada suaranya yang naik beberapa oktaf.

"Iya maaf, aku pikir kemarin itu bakal dibagiin hari ini eh ternyata Bu Sekarnya gak masuk.."

"Ahh, kamu cuma PHP-in aku doang! Ya udah aku pulang deh! Udah nunggu lama, bukunya gak ada, gak disuruh masuk pula! Kalo gak ujan si bodo amat! Payah banget jadi orang gak ada peka nya! Kamu manusia apa bukan sih? Ampun deh."

Vatar pun pergi tanpa menunggu reaksi Dizza. Membanting kasar pintu mobilnya hingga berdebam. Dizza masih ternganga dengan perkataan Vatar yang menohok dirinya. Dia pikir dia siapa berani menilai dirinya seenaknya? Dasar cowok gak tau diri! Umpatnya dalam hati. Ia pun beranjak masuk ke dalam rumah dengan perasaan jengkel bukan main.

Mama Dizza, Ayu yang baru keluar dari dapur setelah memasak merasa aneh melihat raut wajah anak gadisnya yang ditekuk. "Loh tadi mama liat ada Vatar Diz kok gak disuruh masuk?" Dizza terhenyak mendengarnya. Ternyata mamanya mengenal cowok barusan.

"O-oh iya ma tadi sebentar doang ke sininya, lagipula buku yang mau dipinjem lagi dikumpulin." lagi-lagi Dizza berbohong, sedikit panik ditanya oleh mamanya.

"Walaupun lama atau sebentar harusnya kamu tawarin masuk lah Diz! Gak enak, apalagi itu temen kamu."

Dizza hanya mengangguk merespon nasihat mamanya. Mamanya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya yang cuek bebek, berlalu begitu saja tanpa menanggapi nasihat mamanya.

Dizza membuka pintu kamar dan segera tiduran di kasur empuknya. Pikirannya masih teringat pada sosok cowok barusan, bagaimana bisa ia mengetahui nama dan tempat tinggalnya? Sementara ia sama sekali tidak tahu nama cowok itu.

Kali ini Dizza tidak berbohong, dia benar-benar tidak mengenal cowok itu. Dizza pun mencoba mengingat-ingat barangkali ada siswa yang wajahnya familiar seperti cowok itu. Tapi gagal ingatannya memang payah. Dizza menutup wajahnya dengan tangan melarutkan semua ingatan-ingatannya tentang cowok itu.

Bagaimana bisa cowok itu tahu namanya apalagi alamat rumahnya, dan memanggilnya dengan Kamu nya yang mengganggu, sebetulnya hal itu tidak ia permasalahkan, namun biasanya cowok-cowok identik dengan kecuekkannya. Pada pertemanan biasapun anak cowok biasanya manggil elo ke anak cewek.

Baginya sekasar apapun seorang cowok bila sudah menemukan belahan jiwanya sepertinya cowok itu akan berusaha baik bahkan bisa lebih baik kepada pasangannya. Baik cowok maupun cewek pasti berpikiran sama, sama-sama ingin menjadi lebih baik walaupun hanya di depan pasangannya. Kadang berpura-pura atau jaim perlu dilakukan dalam hubungan agar romantis dan penuh kelemah lembutan.

"Diz..." panggil mamanya dari balik pintu kamar.

"Kamu tidur?"

Dizza mengucek-ucek matanya bingung, berusaha mengingat kejadian sebelumnya dan benar saja ternyata dia ketiduran. Udara dingin membuatnya cepat terlelap.

"Iya ma, ketiduran. Hoahmmm." jawabnya sambil menguap lebar. Meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

"Heh! Kalo nguap tutup mulutnya, setan pada masuk! Cepetan mandi trus makan malam ada Mas Riza di bawah, kita makan bareng nanti. Kamu udah solat ashar belum? Daritadi kayaknya mama liat kamu gak ke kamar mandi...."

Dizza menepuk jidatnya. "Astagfirullah mah, aku kebablasan!!" Mamanya melotot galak.

Dizza segera ngeloyor pergi sebelum dibombardir nasihat mamanya lagi dan lagi. Ia tahu, bila mamanya sudah ngoceh tidak cukup setengah jam. Maka dari itu ia cepat-cepat pergi. Setelah semua beres, Dizza langsung menuju ruang makan dimana orang tua, kakak, dan anak kakaknya menunggu.

"Diz sorry ya tadi mas gak bisa jemput, ada meeting dadakan di kantor."

"Lain kali kabarin kek mas kalo berhalangan, aku nunggu lama tadi di bawah pohon."

"Oh ya? Pohon apa Diz?" tanya kakaknya.

"Pohon beringin mas."

"Kalo gitu kamu cocok Diz jadi penunggu pohon itu, sesuai sama kepribadian kamu!" Tawa membahana di ruang makan.

Dizza mengerucutkan bibirnya sebal. Kakaknya memang hobi sekali meledeknya.

"Mas kan gitu seneng klo liat aku susah, susah kalo liat aku seneng.."

Riza hanya menyunggingkan senyumnya ceria, "Mas bukannya seneng lagi Diz, tapi bahagia..hehe."

Dizza pun teriak lantang seraya mencubiti kakaknya. "Mas Rizaaaaaaaaaaaa jahattt! Mas bukan kakakku lagi! Huh!"

Mama yang melihat itu pun menengahi, ia khawatir anak-anaknya saling lempar makanan yang ada di piring masing-masing. "Udah-udah, kok jadi pada ledekan sih? Kamu juga Riza udah tua aja masih seneng ledekin adiknya, udah tau adiknya cengeng."

Kedua anak itu saling pandang dan membantah omongan mamanya. "Mama! Aku belum tua tau, tahun depan aja aku baru 28. Masih muda kali ma."

"Iya ma, aku juga enggak cengeng lah ma! Aku cewek strong.."

Papa yang sedari tadi hanya menonton percakapan ibu dan anak itu ikutan nimbrung.

"Ya udah Diz kalo kamu strong besok kamu part time di Tanah Abang aja manggul barang-barang! Hihi lumayan kan buat nambahin uang jajan."

Mama menengok galak ke arah suaminya yang sedang cengengesan meledek Dizza.

"Ini lagi satu ikut-ikutan! Nanti kita gak mulai-mulai makan, ayo pah cepet pimpin doanya."

Papa segera mengatupkan mulutnya takut mendengar protes istrinya yang tiba-tiba. Dizza dan Riza senyum-senyum melihat tingkah orang tuanya yang mereka anggap lucu.

Haii hello assalamualaikum...salam kenal..ini karya pertama aku..semoga kalian suka yah...aku tunggu komentar dan vote kalian yang sangat berarti buat aku biar aku makin semangat nulisnya. . .Oke?

03 Januari 2017

Rahasia Dizza [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang