7. My Hero??

2.1K 498 42
                                    

Tanpa meminta persetujuan Vania, Metha langsung menyeret Vania keluar ruang UKS dan menuju kelas Vatar berada. Yang di seret pun tidak bisa menolak, toh ini demi kebaikan Dizza.

Kelas Vatar paling pojok, di lantai dua dan harus melewati ruang guru dan ruang kepala sekolah, Vania takut roknya yang di atas lutut ketahuan oleh guru maka mereka berjalan setengah berlari sambil memperhatikan keadaan sekitar.

Lama mereka menunggu, kelas Vatar bubar lebih lambat dari anak kelas IPA. Vania mengelap peluhnya yang bertaburan di keningnya membuat bedak yang istirahat siang tadi di bubuhkan di wajahnya mulai meleleh dan belang di wajahnya terlihat, Metha yang menyadari itu tertawa.

"Van, muka lo kaya Yin dan Yang tuh separo putih separo item! Hihi."

"Berisik! Gara-gara lo ngajak kesini gue jadi harus touch up dah, mana Ditho belom BBM gue ngajak pulang bareng! Rugi gue udah dandan tapi nggak ketemu doi." Ujarnya sambil menepuk-nepukkan sponge compact powder yang selalu ready di saku kemeja putihnya.

Metha mengibaskan tangannya cuek. "Lo aja yang kecentilan, sok jaim."

Mata Vania beralih dari cermin bedaknya ke arah pintu kelas 12 IPS 3 yang terbuka, Vania buru-buru memasukkan bedaknya ke kantong baju dan bersiap untuk mencegat Vatar. Metha melangkah lebih dulu untuk mencari cowok itu, Vania pun membuntuti.

Vatar masih duduk di bangkunya membereskan perlengkapan sekolahnya dengan santai, headphone wireless di kupingnya yang selalu setia menempel membuatnya mengangguk- anggukkan kepala, sesekali mulutnya bernyanyi pelan mengiringi irama musik. Hingga tak sadar ada orang di hadapannya.

"Sorry ganggu." sapa Metha sambil menggoyang-goyangkan tangannya, agar Vatar sadar ada orang yang mengajaknya bicara.

Vatar mendongak, menatap Metha, lalu beralih pada Vania yang sedang memasang senyumnya semanis mungkin.

Vatar melepas headphone-nya.

"Kalian siapa, ya?" tanyanya pura-pura tidak kenal, padahal ia tahu persis itu sahabat Dizza, cewek yang kadang membuatnya kesal.

"Oh gue Metha, dan ini Vania, kita temennya Dizza. "Lo kenal kan?"

"Iya, trus kenapa?" jawabnya malas sambil kembali memasang headphone-nya. Tidak tertarik dengan objek yang Metha sebutkan.

"Dizza pingsan Tar, udah dari pagi sampe sekarang belum siuman, kita nggak ada yang tau rumahnya, selama ini kita liat rumahnya dari foto doang, mau ngabarin ke rumahnya handphone-nya di password." jelas Metha dengan muka melas.

"Kita ke sini mau minta bantuan lo nganterin Dizza pulang, karena lo kan tetanggaan sama dia." sambung Vania.

Vatar memicingkan matanya, membuat Vania mengagumi ketampanan cowok di hadapannya alisnya yang tebal dan bulu mata nya yang lentik mampu menyihir wanita mana pun yang memandangnya.

"Dia gak pernah anggep gue tetangganya, gue ke rumahnya gak di ajak masuk, lagian gue liat tadi pagi dia sehat kok.''

Vatar sedikit mencondongkan wajahnya ke arah Vania membuat hidung mancung nya yang lancip membentuk kurva sempurna begitu indah untuk di liat berlama-lama.

"Kalau mau minta bantuan gue kalian salah orang! Panggil ambulance aja deh, nanti gue kasih alamatnya." Vania yang masih terpesona oleh aura cowok itu menjadi aur-auran setelah mendengar perkataannya barusan.

''Simpatik dikit kek loo, kalo gue nggak punya urusan abis pulang sekolah gue bisa minta alamatnya aja trus minta anterin cowok gue, nggak akan gue ngerepotin lo." sungut Vania. Ternyata Vatar ganteng-ganteng belagu.

"Iya Tar, maafin Dizza kalo sikapnya begitu, dia tuh emang introvert banget orangnya." tambah Metha.

Vatar melenguh, dan dengan berat hati menyetujui untuk mengantarkan Dizza pulang. Antara senang, jengkel, kesal. Kenapa harus dengan kondisi ini mereka hanya berdua di mobil? Dizza tertidur, Vatar seolah hanya seorang diri di dalam mobil itu, walau biasanya dia ditemani Kiky tiap pulang sekolah walau hanya sekadar mengantarnya pulang ke rumah tapi kini tidak lagi, dia putus dari cewek itu semalam. Semalam?

Kalau Dizza tahu Vatar putus semalam bisa-bisa dia berpikir kalau Vatar mengirimkan friend request untuk mencoba mendekatinya dan menjadikannya target selanjutnya. Oh No!

Vatar mengguncang-guncangkan lengan gadis itu, memanggil-manggil namanya, iseng-iseng sambil menunggu lampu hijau menyala mungkin gadis itu akan bangun. Dan benar saja Dizza membuka kelopak matanya, berseru heboh.

"Loh kok aku disini?? Kamu abis ngapain aku? Aku mau turun!'' serunya sambil menggedor-gedor pintu mobil Vatar agar dia membukakan pintu.

"Udah deh nggak usah lebay, siapa juga yang mau ngapa-ngapain cewek aneh kayak kamu, nggak usah kepedean!! Aku dipaksa sama temen-temen kamu supaya mau nganterin, karena nggak ada yang tau rumah kamu selain aku. Udah pingsan seharian, nuduh orang sembarangan, nyusahin banget!" jelas Vatar panjang lebar. Wajahnya terlihat senewen.

Dizza meringis memegangi kepalanya, Vatar yang sedang menyetir menoleh ke arahnya.

"Kamu kenapa lagi?"

"Nggak tau ni Tar, kepala aku pusing banget."

"Kata Vania kamu belum makan yah? Tadi aku beli nasi padang tuh dimakan aja Za, nanti keburu dingin." Vatar mengangsurkan bungkusan itu ke tangan Dizza.

Dizza tersenyum lemah dan membuka bungkusan itu dan memakannya dengan lahap, tak terasa mereka sampai di pekarangan rumah Dizza, Vatar memakirkan mobil di dekat ayunan taman rumahnya.

Mamanya yang sejak tadi menunggu Dizza pulang, segera menyambut kedua orang tersebut, wajahnya terlihat cemas.

"Ya ampun Diz, kamu kenapa? Muka kamu pucet gitu?"

Dizza diam saja, tangannya meremas rok sekolahnya, Vatarlah yang menjawab.

"Dizza pingsan Tante, tadi katanya si kesiangan trus belum sempet sarapan, tapi barusan udah makan kok, Tan.."

"Oh makasih ya Tar udah dianterin, yuk masuk dulu" tawar Ayu antusias.

''Nggak usah Tante, aku masih ada les nan........"

Belum selesai Vatar menjawab, seorang laki-laki yang baru turun dari mobilnya langsung memeluk Dizza, menciumi pipi gadis itu

"Kamu nggak apa-apa sayang? Katanya tadi pingsan? Maaf ya, gara-gara Mas tadi nggak nganter kamu jadi kesiangan. Aku sampai pulang cepet karena khawatir sama keadaan kamu."

Bisik laki-laki itu masih tetap memeluk erat Dizza, Vatar yang disuguhi pemandangan romansa itu jengah dan memundurkan kakinya untuk segera pergi, namun suara Dizza menghentikan langkahnya.

"Makasih, Tar." ucapnya masih dalam pelukan laki-laki itu, Vatar mengangguk dan pergi.

Di tempat les Vatar tidak bisa berkonsentrasi untuk menerima materi bimbel hari ini pikirannya masih bertanya-tanya tentang siapa pria dewasa yang tadi datang ke rumah Dizza.

Apakah Kakak laki-lakinya? Masa iya romantis dan lengket begitu meluknya? Tidak seperti hubungan Kakak adik pada umumnya, lagi pula dia tidak pernah melihat laki-laki itu tinggal di rumah Dizza, ataukah pacarnya? Masa sih?Bukankah selama ini Dizza di kenal jomblowati sejati? Tidak pernah dekat, apalagi pacaran dengan cowok-cowok yang mengejar-ngejarnya. Bukan muhrim katanya.

Tapi kenapa dia mendapati kenyataan bahwa Dizza pacaran dengan pria yang jauh lebih tua, lebih mapan tentunya. Sungguh di luar dugaan Vatar, ternyata cewek alim yang selama ini di kenalnya mempunyai sisi gelap yang tidak dia ketahui. Di tengah pikirannya yang sedang berkecamuk ada pesan dari Vania, yang memang tadi meminta nomornya untuk memastikan bahwa Dizza benar-benar diantar pulang oleh Vatar.

Maaf untuk part selanjutnya gak sengaja ke apusss😢😢😢..
Maafkan atas kecerobohan author ini..😧

Rahasia Dizza [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang