64. Me And You

1.2K 223 269
                                    

Vatar menatap sebal pada Dizza, istrinya itu menolak ajakan dirinya untuk melakukan hal yang ia impikan dari dulu. Kenapa dia jadi pembantah seperti ini sih? Ah, iya istrinya itu memang keras kepala dari dulu. Tapi, sekarang kan keadaan sudah berbeda. Dizza harus menuruti APAPUN keinginan suaminya.

"Ayo, cepet naik." perintah Vatar pada Dizza yang masih termangu di sampingnya. Wajahnya tampak bimbang.

"Cepet naik atau aku naikin nih." lanjut Vatar lagi karena Dizza tidak menanggapi perintahnya. Dizza melotot tidak suka.

"Ayank ih, ngomongnya..."

Vatar menggertakkan giginya. "Ya udah. Makanya cepetan.."

"Nggak mau, malu. Kamu aja sendiri."

"Gimana sendiri sih? Ngaco aja. Harus sama kamu lah."

"Malu tau." sahut Dizza tanpa menatap Vatar. Vatar semakin tidak sabar dengan tingkah bertele-tele Dizza.

"Justru malem-malem gini seru. Cepet ah."

"Ck, ntar kalo ada yang liat gimana?"

"Masya allah, orang-orang udah pada tidur nggak bakal ada yang liat. Udah deh, fix! Aku naikin ya. Sini." Vatar berdiri dan hendak menghampiri Dizza yang sudah mundur-mundur.

"Nggak, nggak. Iya, iya... Aku naik sendiri."

Dizza panik dan buru-buru naik ke boncengan sepeda yang sudah ditunggangi Vatar. Vatar tersenyum penuh kemenangan karena berhasil memaksa Dizza untuk berboncengan naik sepeda dengannya. Bersepeda dengan Dizza adalah impiannya dari dulu, impian yang sempat tertunda karena Dizza pindah rumah.

Vatar mulai mengayuh sepeda keluar dari pekarangan rumah Dizza. Dizza bersembunyi di belakang punggungnya malu. Kenapa harus malu? Mereka kan suami istri, tidak ada larangan untuk melakukan apapun. Bebas. Vatar mengayuh sepedanya kencang-kencang, Dizza berteriak ketakutan.

"Kalo kamu teriak-teriak begitu yang ada orang pada bangun. Makanya, pegangan kalo takut."

"Jangan ngebut-ngebut ntar jatoh." ujar Dizza sambil menggigit bibirnya dan memperhatikan jalanan di depan. 

"Kan kalo luka, ada dokternya."

"Ih malah becanda." Dizza memukul punggung Vatar. Vatar malah cekikikan dan memperlambat kayuhan sepedanya.

"Kurang rapet nih meluknya, kamu majuan dong."

"Idih, kamu lagi begini aja masih begitu mikirnya."

"Ya udah kalo gitu peluknya di kamar aja ya?" goda Vatar. Dizza membuang wajahnya ke arah lain.

"Tau ah, nggak mau jawab."

"Cie ngambek." Vatar menoleh ke belakang. "tu kan mukanya merah ih, suka gonta-ganti gitu kayak bunglon."

"Ayank, itu liatin jalannya ntar nabrak."

"Ciee yang lagi belajar manggil ayank, sayang besok pasti manggil cinta nih." Vatar tertawa, Dizza cemberut dan tampak kesal karena Vatar tak ada hentinya menggodanya. Vatar benar, entah kenapa setiap suaminya itu menggodanya pipinya jadi merah-merah seperti pantat monyet. Bicara pantat, sepertinya bisa jadi..

"Kalo nggak suka aku panggil sayang. Ganti jadi asshole aja, ya?" celetuk Dizza.

"Ya ampun yank, tega banget. Abang mau nangis nih."

"Tadi katanya laki-laki nggak boleh nangis. Labil banget sih." Dizza sebal melihat gaya bicara sok prihatin Vatar. Dia hanya akting. Maka dari itu, ia membalikkan ucapan suaminya itu saat berada di kamar tadi.

Rahasia Dizza [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang