1. Lahirnya Sang Iblis

11.7K 162 5
                                    

Prolog

Tiada bintang, tiada rembulan, tiada suara apapun. 

Gelap...

Apa pun tidak terlihat, pegunungan yang senyap, di tengah malam yang pekat.

Tiba-tiba sekilas cahaya melintas di atas langit. Daerah pegunungan yang sunyi tersorot sekejap. 

Eh... apa itu? Sesosok bayangan hitam sedang merayap di tengah pegunungan!

Apa yang sedang dilakukannya di tengah malam sesunyi ini?

Tidak ada seorang pun yang tahu. Yang terdengar hanya suara hembusan angin yang sepoi-sepoi diiringi suara nafas yang tersengal-sengal. Kedua macam suara itu lebih mirip keluhan yang tragis, membayangkan gelombang badai yang akan melanda dunia persilatan di kemudian hari.

Dari kilasan cahaya tadi, dapat terlihat bahwa usia orang itu paling banter baru menginjak dua belasan. Di atas kepalanya terdapat sedikit jambul, wajahnya bersih dan tampan. Dengan menggertakkan giginya, dia memanjat terus. Meski pun susah payah, tapi tampaknya tekad bocah ini keras juga. Sedikit demi sedikit dia merayap ke atas.

Pegunungan ini sangat terjal. Banyak terdapat batu-batu yang tajam. Belum lagi jurang yang dalam. Kalau melihat dari atas bebatuan yang runcing itu akan tampak bagai bilahan-bilahan pedang. Bocah itu rasanya tidak mengerti ilmu silat. 

Baru sampai pertengahan saja telapak tangannya sudah penuh dengan luka sehingga darah mengalir dengan deras. Bahkan pada tempat di mana tangannya bertumpu, terlihat bekas jejak darah yang ditinggalkannya. Betapa mengenaskan melihat kebulatan tekad bocah tersebut!

Tapi dia sama sekali tidak menyerah. Giginya digertakkan semakin erat. Ia sampai menggigit bibirnya sehingga berdarah. Dia mempertahankan diri sekuat kemampuannya.

Setindak demi setindak dia terus mendaki daerah alam yang berbahaya. Setiap waktu ada saja kemungkinan maut mengintai. Didakinya terus pegunungan itu meskipun dia sendiri tidak tahu apakah dirinya masih sanggup atau tidak.

Angin pegunungan berhembus kencang, membuat pakaiannya yang sudah koyak di sana sini berkibaran. Terdengar suara dari kibaran bajunya yang terhempas-hempas. Dia tidak merasa kedinginan. Keringat menetes dengan deras di keningnya. Nafasnya semakin memburu.

Dia masih seorang bocah cilik. Dia juga tidak mempunyai tenaga seperti sebuah mesin.

Baru setengah perjalanan dia sudah merasakan tubuhnya letih sekali, urat-uratnya terasa seperti mengencang dan hampir putus. Namun demikian di dalam hatinya dia punya niat besar yang mendukung apa yang dilakukannya, perasaan gentarnya pun sirna dan tekadnya semakin membara.

Dia paham sekali bahwa masih banyak urusan yang harus diselesaikannya. Dia sadar masih panjang perjalanan hidup yang harus ditempuhnya. Tanpa memperdulikan segala bahaya yang mungkin akan dihadapinya, dia terus mendaki menuju puncak gunung tersebut. Sebetulnya, apa yang hendak dilakukannya?

Rupanya puncak pegunungan ini merupakan tempat suci sebuah perkumpulan yang bernama Ti Ciang Pang yang sangat disegani dunia Kangouw. Sebuah gua tua yang terdapat di bagian paling puncak merupakan tempat bersemayamnya jenasah-jenasah para leluhur perguruan tersebut.

Pada suatu hari, tanpa sengaja bocah ini menolong seorang tua tanpa nama yang sedang terluka parah. Sebelum menutup mata, orangtua ini sempat memberikan sebuah kitab yang mengandung pelajaran cara merias wajah. Orangtua ini juga memberitahukan kepadanya tentang kuburan para leluhur Ti Ciang Pang ini.

Ternyata setiap pangcu generasi demi generasi, apabila sudah mengetahui bahwa ajalnya telah dekat, harus mengikuti peraturan perkumpulan mereka, yaitu masuk ke dalam gua tua tersebut untuk menunggu kematian. Meskipun ada pangcu-pangcu yang mati dalam pertarungan atau pun musibah lainnya, mayat mereka juga harus dibawa oleh beberapa orang murid Ti Ciang Pang tersebut dan dimasukkan ke dalam gua. 

Dendam Iblis Seribu Wajah - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang