4. AKHTAR (9 Tahun Lalu)

279 18 0
                                    

     Aku memarkir mobilku di tempat biasanya. Di sebelah pohon beringin tua yang aku yakin usianya lebih tua dari sekolahku. Mobil Wrangler merahku sering membuat orang terpesona melihatnya. Tapi aku membenci mobilku itu. Karena aku merasa bahwa mobil itu dihadiahkan oleh Ayah padaku dengan tujuan agar aku memilih jurusan kuliah seperti yang beliau mau. Jurusan ekonomi. Sama seperti mobil Wrangler merahku, aku juga membenci kesemena-menaan Ayahku menentukan apa-apa yang harus aku pilih. Selama ini Ayah selalu memaksakan kehendaknya dalam memilih sekolah, memilih jenis les, menu makan malam, bahkan sampai gaya berpakaianku.

     "Kamu sekolah di SMA Pelita saja. Sekolah itu bagus dan fasilitasnya lengkap. Kamu pasti senang di sana. Ayah sudah mendaftarkanmu."

     "Ambil les piano. Itu bagus untuk melatih keseimbangan otak kanan dan kirimu. Besok sore gurunya akan datang. Kamu akan les seminggu 2 kali. Senin dan Rabu jam 7 malam."

     "Kamu yakin mau makan spaghetti? Itu tidak akan membuatmu kenyang. Sudahlah, kamu pesan sop merah saja. Ayah sudah pernah mencobanya saat makan bersama klien papa. Rasanya enak. Kamu pasti suka."

     "Kamu mau kemana dengan pakaian seperti itu? Ganti kaosmu dengan kemeja yang baru Ayah belikan. Kamu lebih terlihat rapi dengan kemeja itu."

     Padahal ayah seharusnya bertanya dulu padaku. Memberi kesempatan padaku untuk berpendapat. Tapi itu sepertinya tidak ada dalam kamus Ayahku. Aku jadi merasa seperti tahanan politik yang dipenjara karena menyuarakan pendapatnya. Aku jadi bisa merasakan bagaimana perasaan Nelson Mandela yang dipenjara karena menyuarakan persamaan hak untuk orang-orang kulit hitam.

     Ayah seharusnya tahu bahwa alasanku tidak memilih sop merah karena aku tidak suka sosis yang ada di dalamnya, aku benci les musik jenis apapun, aku benci kemeja yang dibelikan Ayah karena motifnya membuat aku kelihatan lebih tua 20 tahun di atas usiaku sebenarnya, dan aku benci sekolah yang gerbangnya sebentar lagi aku masuki ini karena aku ingin meneruskan ke SMA negri bersama Tomi, sahabatku sejak SD.

     Tapi Ayah tidak pernah mau tahu akan semua itu. Everything is about him and his egoism.

     Aku sengaja berlambat-lambat menuju kelasku. Beberapa cewek yang berpapasan denganku entah kenapa tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri melihatku. Mereka adalah makhluk paling merepotkan di dunia ini. Selalu bergerombol dan bisik-bisik. Bertingkah dibuat-buat. Dan yang paling membuat aku muak adalah saat mereka membuat suara mereka dengan nada yang menurut mereka imut. Bagiku mereka malah terdengar seperti terkena sinusitis.

     "Hei, Bro!" tepukan akrab di pundakku ini pasti milik Faiz. Playboy sekolah yang entah sudah mem-PHP berapa orang cewek selama 2 tahun ini. Gayanya yang flamboyan dan gentleman serta rayuan mautnya yang dibumbui berbagai kalimat manis dari Kahlil Gibran membuat cewek-cewek dengan bodohnya jatuh dalam jurang PHP-nya. Apalagi Faiz adalah putra salah satu orang penting dalam yayasan yang menaungi sekolah ini. Mobil CJ7 putih yang sehari-hari dikemudikannya menambah modal Faiz untuk menebar jaring racun PHP. Untuk urusan wajah, Faiz rela pergi ke klinik perawatan kulit tiap 2 minggu. Sehingga tidak heran jika wajahnya bersih dan terawat seperti model facial foam pria di televisi.

     "Aku dapat info dari Abahku kalau kita bakal diajar guru baru." ujar Faiz sambil melempar senyum maut pada beberapa cewek yang berpapasan dengan kami.

     "Cowok?" tanyaku.

     "Cewek." jawab Faiz sambil mengerling pada dua orang cewek di selasar depan kelas.

     "Great. Satu masalah lagi menjelang kelulusan kita." tanggapku sinis.

     Kelasku masih berisik karena bel masuk belum berbunyi. Aku menaruh tas di cantolan kursiku, lalu duduk dengan malas.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang