Ezra mematikan sambungan teleponnya yang tadi masih menyala, lalu kembali menatapku. Ia menanti apa jawabanku terhadap pertanyaannya barusan.
"Surabaya?" tanyaku tanpa perlu jawaban. "Bisa jadi Miss memang akan kembali menetap di sana."
Ezra tersenyum senang."Miss..."
"Hm?"
"Miss tahu kan selama ini Akhtar masih menunggu Miss Karen?"
DEG!
Kerongkonganku tercekat mendengar pertanyaan Ezra. Aku menelan ludah dengan susah payah karena kerongkonganku tiba-tiba terasa perih.
"Sebenarnya dia akan menyusul Miss Karen beberapa hari lalu," lanjut Ezra sambil terus menatap lurus padaku. "Tapi tepat di saat ia mau berangkat, Ayahnya kena serangan jantung."
Mataku membelalak mendengar cerita Ezra. Aku tidak menyangka Akhtar benar-benar akan menyusulku meski tidak tahu dimana aku tinggal. Aku juga terkejut bahwa kini ayahnya sakit.
Tiba-tiba aku merasa cemas. Akhtar pernah kehilangan ibunya karena penyakit yang sama. Dan ia sempat mengalami gejala depresi setelahnya. Aku kuatir bagaimana keadaan Akhtar saat ini.
"Alhamdulillaah ayah Akhtar sudah semakin membaik keadaannya. Beliau sudah tidak di dalam ruang ICU. Akhtar baik-baik saja. Ia selalu menjaga ayahnya di Rumah Sakit sekarang." lanjut Ezra seperti membaca pikiranku.
Aku masih diam. Cerita Ezra benar-benar membuatku kehabisan kata.
"Miss..."
Aku mendongak melihat ke arah Ezra.
"I hate to say this. But..." kalimat Ezra menggantung di udara. Ezra menggigit bibir bawahnya sambil menatapku dengan sorot mata serius.
Aku menunggu lanjutan kalimat Ezra yang kini menatapku dengan sorot mata sedih.
"Tidak ada laki-laki yang pantas menikahi Miss Karen..." lanjut Ezra kemudian. Dia menunduk sejenak. Kemudian kembali mendongak menatap ke arahku untuk melanjutkan kalimatnya.
"Kecuali Akhtar."
DEG!
Jantungku berdegup kencang. Jari-jari tanganku terasa dingin seketika. Aku semakin tercekat setelah mendengar kalimat Ezra. Aku benar-benar tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan untuk menanggapi kalimat Ezra barusan.
"Mas Ezra!"
Tiba-tiba sebuah suara memanggil Ezra. Aku dan Ezra spontan melihat ke arah sumber suara.
Seorang gadis cantik yang usianya kira-kira sepantaran denganku berjalan menghampiri Ezra. Kerudung merahnya sedikit melambai saat ia bergegas berjalan menuju Ezra. Dari sepatu boot musim dingin dan jaket wool tebalnya, aku menduga pasti dia wanita yang telah mandiri secara finansial. Gaya berjalannya yang santai tapi sigap dan sorot mata yang percaya diri membuatku menebak, setidaknya ia pasti telah mengenal Ezra selama beberapa lama. Karena tidak semua gadis bisa bersikap seperti itu di hadapan Ezra. Sorot mata Ezra yang selalu menatap lawan bicara lekat-lekat, ditambah wajahnya yang sangat tampan sampai seperti perempuan, pasti setidaknya membuat wanita lawan bicaranya jadi sedikit salah tingkah.
Gadis itu melihatku. Lalu ia tersenyum dan mengangguk sopan.
"Maaf mengganggu. Tapi saya harus menyampaikan pesan untuk mas Ezra." ujarnya ramah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Short StoryAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...