EPILOG : Karen (END)

314 38 22
                                    

Aku tidak bisa merasakan seluruh tubuhku. Rasanya seluruh tenagaku telah habis. Bahkan untuk membuka kelopak mata saja aku sangat kesulitan. Tiba-tiba aku merasakan pipiku mendadak dingin. Lalu aku mendengar lirih suara memanggil namaku.

"Kei! Kei! Bangun, Kei!"

Aku merasakan ada tangan dingin menyentuh wajahku. Aku berusaha membuka mataku untuk melihat tangan siapa itu. Tapi rasanya aku hanya melihat bayangan blur tidak jelas yang membuatku pusing. Maka aku kembali menutup mataku.

"Kei!"

Ah... suara itu lagi. Aku mendengarmu. Tapi aku tidak sanggup membuka mataku.

Kemudian sayup-sayup aku mendengar tangis bayi. Aku merasa sangat mengantuk. Tapi suara tangis bayi itu membuatku ingat.

Bayiku! Anakku!

Aku berusaha keras membuka mata meski aku merasa sangat mengantuk. Lalu aku mendengar suara yang selama tiga tahun ini selalu membangunkanku dengan lembut untuk sholat malam.

"Kei! Buka matamu, Kei!"

Suaranya terdengar sangat cemas. Sepertinya kini aku berangsur-angsur mulai bisa mendengar dengan jelas. Bahkan aku bisa mencium aroma pengharum ruangan yang beraroma apel.

Aku berusaha membuka mata lalu memfokuskan pandanganku. Perlahan bayangan blur tadi mulai jelas. Bayangan yang tadinya nampak seperti pusaran garis tidak jelas kini mulai berbentuk.

Akhtar.

Wajah tampannya yang selalu membuatku terpesona kini terlihat sangat cemas dan pucat. Ia menepuk-nepuk pipiku sambil terus mengatakan padaku agar aku harus tetap sadar dan tidak tertidur. Lalu aku mendengar suara Bu Bidan juga mengatakan hal yang sama.

Tapi aku sangat mengantuk.

"Kei! Kei! Sadar, Kei! Ayo berusaha buka mata terus, Kei!"

Sayup-sayup aku mendengar suara panik Akhtar. Aku berusaha menahan kelopak mataku.

"Kei, lihat aku! Kei, lihat aku, Kei!"

Aku memejamkan mata sejenak lalu membuka mataku. Berusaha memfokuskan pandangan pada arah suara Akhtar yang panik.

"Kei... Yaa Allah... Kei..."

Aku mendengar suara tangis bayi lagi. Aku jadi ingin melihat bayiku. Aku berusaha memfokuskan lagi pandanganku. Lalu aku melihat lagi wajah cemas Akhtar di dekatku. Air mata mulai merebak di pelupuk matanya. Mata coklat terangnya memandangku putus asa. Sekuat tenaga aku berusaha mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak ingin membuatnya cemas. Aku tidak mau lagi membuat Akhtar merasa kuatir akan kehilangan diriku.

"Tar..." panggilku lemah.

"Alhamdulillaah, Yaa Allah..." ujar Akhtar memandangku penuh haru sambil tersenyum bahagia. Ia lalu meraih dan mencium tanganku yang lemas.

"Kamu hebat, Kei. Kamu benar-benar hebat." ujar Akhtar sungguh-sungguh. Mata coklat terangnya berkaca-kaca.

Aku tersenyum lemah. Aku merasa seluruh tenagaku habis. Rasanya untuk bicara saja aku tidak sanggup.

Kemudian Bu Bidan masuk sambil menggendong bayiku.

"Alhamdulillaah, semuanya sehat." ujar Bu Bidan dengan sorot mata bahagia. Beliau mempunyai aura yang menenangkan. Mungkin usianya baru menjelang lima puluh tahun. Jilbabnya nampak selalu rapi. Wajahnya ramah dan keibuan.

"Terima... kasih..." ujarku pada bu Bidan lirih.

Bu Bidan tersenyum ramah lalu berkata, "Sama-sama."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang