58. Akhtar ( Saat Ini )

240 14 0
                                    

     Miss Karen terpaku menatapku setelah mendengar pernyataanku bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam hatinya saat ini. Karena ekspresi wajahnya tidak menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Tapi yang jelas, alhamdulillaah aku akhirnya berhasil membuat Miss Karen tidak berkutik. Aku berhasil memaksanya berjanji untuk tidak pergi menghilang dariku lagi sekaligus memberikan keputusan dalam waktu tiga hari terhitung sejak hari ini. Itu berarti dalam dua hari ke depan, Miss Karen harus bertemu denganku untuk memberikan keputusan final.

     Ya.

     Aku akan bersabar selama tiga hari lagi terhitung sejak hari ini. Aku melakukannya karena aku tidak ingin Miss Karen merasa sangat terdesak. Aku kuatir ia akan bersikap frontal dengan menolakku, atau bahkan pergi menghilang lagi dariku.

     Lagipula, Miss Karen sudah berjanji tidak akan lari lagi dariku. Aku memutuskan untuk memegang janji Miss Karen dan membiarkannya mudik pulang kampung untuk membicarakan tentang aku pada orang tuanya. Aku memahami dan menghormati keputusannya ini. Bagaimana pun juga, ini adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidupnya.

     Miss Karen yang tipenya selalu melibatkan Allah jalla jalaaluhu dalam setiap urusannya, tentu saja tidak ingin gegabah mengambil keputusan sebelum merasa yakin bahwa keputusannya mendapat ridha dari Allah. Hal ini juga yang menyebabkan aku kagum pada Miss Karen. Melihatnya selalu mencintai dan melibatkan Sang Pencipta dalam setiap urusannya membuatku yakin akan mampu mengarungi kerasnya tantangan kehidupan jika ia mendampingiku menjalaninya. Miss Karen yang mandiri dan cerdas juga membuatku merasa akan lebih percaya diri untuk dapat mengurus Berdikari Group serta kantor konsultan desain dan arsitektur milikku. Dari caranya menyayangi dan tulus membantu murid-muridnya, aku juga merasa ia bisa menjadi figur ibu yang baik bagi anak-anakku kelak. Ia adalah wanita yang lembut sekaligus kuat. Ia benar-benar wanita yang aku butuhkan untuk menjalani kehidupanku agar selamat di dunia dan akhirat.

     Aku melihat jam tanganku. Satu jam lagi sudah masuk waktu sholat Jum'at. Maka aku memutuskan untuk pamit agar bisa pergi ke kantor dan tidak terlambat mengikuti sholat Jum'at di masjid Berdikari Group.

     "Miss, aku balik ke kantor dulu ya?" pamitku dengan nada enggan sambil menatap wajah Miss Karen yang masih tidak berekspresi.

     Miss Karen mengerjap untuk memulihkan konsentrasinya, lalu mengangguk. Kemudian ia bangkit berdiri untuk mengantarku sampai ke pintu.

     Aku berdiri dengan enggan dari sofa tempatku duduk. Rasanya aku sangat sulit meninggalkan Miss Karen. Tapi aku harus meninggalkannya dan membiarkannya berpikir. Aku ingin Miss Karen menggunakan waktunya untuk mengatur kepulangannya ke kampung halaman untuk menemui orang tuanya.

     Miss Karen berjalan mendahuluiku menuju pintu. Aku menyusul berjalan di belakangnya dengan langkah pelan. Sesampainya di depan pintu, Miss Karen berdiri di sisi lain pintu untuk mempersilahkan aku keluar. Aku melangkah menjejeri posisinya. Kini aku berdiri berhadapan dengannya.

     Miss Karen masih tidak menatap wajahku. Saat ini kepalanya pasti penuh sesak karena memikirkan banyak hal. Aku tidak ingin Miss Karen melepasku dengan wajah murung.

     "Miss..." panggilku.

     Miss Karen mendongak menatapku dengan sorot mata was-was.

     Aku tersenyum padanya.

     "Sampai ketemu dua hari lagi. Oke?" pamitku.

     Miss Karen mengangguk singkat, lalu kembali melihat ke arah lain.

     "Assalamu'alaykum." salamku sambil bersiap melangkah pergi.

     "Wa'alaykumussalam warohmatullohi wabarokatuh."

     Aku akhirnya membuka pintu ruangan Miss Karen. Tapi entah mengapa aku merasa ingin bersikap tengil pada Miss Karen sebelum pergi agar Miss Karen tidak murung.

     Sebelum aku benar-benar keluar dari ruangannya, aku sengaja menarik pelan ujung lengan gamis Miss Karen sekilas untuk mengejutkannya.

     Miss Karen spontan mendongak ke arahku dengan mata membelalak kaget dan pipi yang merona.

     Aku tersenyum tengil lalu segera pergi keluar ruangan Miss Karen dan menutup pintu di belakangku dengan perasaan puas karena telah berhasil membuat Miss Karen terkaget-kaget dan tidak terlihat murung lagi karena ia sangat terkejut. Kini aku yakin sekali, Miss Karen benar-benar akan kesulitan melupakan janjinya padaku.

     Miss Karen sedang banyak pikiran sehingga membuat kewaspadaan dan refleknya menurun. Sehingga aku bisa mengusilinya dengan sekilas menarik pelan lengan gamisnya. Tentu saja aku menjaga agar jangan sampai aku menyentuh tangannya karena Miss Karen terlalu berharga.

     Saat keluar dari ruangan Miss Karen, aku menyapa mbak Riri dan mengucapkan terima kasih padanya. Mbak Riri dengan mata berbinar berdiri dari duduknya untuk menjawab salamku.

     Saat aku berjalan beberapa langkah, aku melihat ada tiga cowok SMA sedang duduk di sofa di sebelah meja kerja mbak Riri. Mereka bertiga menatapku sambil melongo. Dari gerak-gerik mereka bertiga, aku bisa menebak bahwa mereka ingin menemui Miss Karen.

     Aku jadi teringat masa SMA-ku sendiri. Aku, Faiz, Belva, dan Ezra juga sering dengan sengaja menunggu Miss Karen di dekat ruang guru untuk membawakan bahan ajar yang biasanya akan Miss Karen bawa ke kelas.

     Biasanya Faiz yang paling sering merampas bahan ajar yang sudah kubawa dengan tengil. Faiz memang terang-terangan berkata bahwa ia ngefans berat pada Miss Karen. Maka tiap mendengar ceritaku bahwa aku baru saja memberi makan si Boy bersama Miss Karen, dia langsung manyun dan memprotesku mengapa tidak mengajaknya ikut serta. Tidak ada yang menyangka bahwa sekarang malah Faiz lah yang memberitahuku dimana Miss Karen berada agar aku bisa menemuinya. Aku merasa berhutang budi padanya karena hal itu.

     Sepertinya tiga cowok SMA itu juga sama. Mereka adalah sekumpulan cowok-cowok fans berat Miss Karen. Maka aku memutuskan untuk menyapa mereka.

     "Mau menemui Miss Karen?" tanyaku tanpa basa-basi.

     Ketiga cowok SMA itu hanya mengangguk. Ekspresi wajah mereka masih bengong sambil melihatku. Mungkin mereka sepertinya terheran-heran melihatku karena aku yang seperti bule ini bisa lancar berbahasa Indonesia.

     Sebenarnya aku berharap mereka akan bertanya padaku tentang siapa sebenarnya aku ini. Supaya aku bisa menjawab dengan penuh percaya diri, "Saya calon suami Miss Karen."

     Tapi mereka bertiga hanya melongo melihatku. Maka aku memutuskan untuk meninggalkan mereka sambil tersenyum.

     Aku yakin mereka bertiga hanyalah segelintir dari sekian banyak cowok fans berat Miss Karen di sekolah khusus putra ini. Karena saat di SMA-ku dulu, Miss Karen juga sangat populer di kalangan teman-teman cowokku. Mereka terkagum-kagum pada aura digdaya Miss Karen dan kecerdasannya. Sikap cuek dan santai Miss Karen juga membuat mereka merasa tidak canggung untuk bisa mengobrol dengan akrab dengan Miss Karen. Aku merasakan sendiri, bahwa berada di sekeliling cewek-cewek SMA yang rata-rata masih alay, kurang inisiatif, bergaul terlalu akrab dengan cowok, dan manja, kemudian melihat sosok Miss Karen yang menjaga kehormatan dirinya, cerdas, tahu apa yang ia mau, mandiri serta percaya diri itu seperti bertemu oase di tengah padang pasir. Saat itu aku langsung merasa, begitulah seharusnya seorang wanita. Sosok wanita tangguh yang mampu mendampingi di saat sulit dan senang. Sosok wanita yang bisa mendidik generasi penerus dengan baik untuk membuat bangsa ini menjadi lebih maju.

     Aku mengendarai Wrangler merahku dengan perasaan bahagia yang meluap-luap. Aku tidak sabar menceritakan hari ini pada Ayah. Karena aku akan mengajak Ayah pergi ke rumah orang tua Miss Karen dua hari lagi. Aku tahu Miss Karen masih belum memutuskan menerima lamaranku atau tidak.

     Tapi aku tidak peduli.

     Ya.

     Apa pun keputusan Miss Karen nanti, dua hari lagi, aku akan melamar Miss Karen langsung di depan kedua orang tuanya.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang