Aku menatap pusara Pak Soleh dengan mata sembab. Tanahnya masih basah. Salah satu orang yang membuatku menemukan harapan telah pergi menemui Sang Khalik. Aku yakin orang baik seperti Pak Soleh akan jauh lebih bahagia di sana. Keyakinan itu membuatku berhasil bangkit dari kesedihan yang berlarut-larut.
Terngiang kembali suara Pak Soleh sebelum menutup mata untuk selamanya. "Jaga sholatmu... jaga sholatmu..."
Itu adalah pesan terakhir Pak Soleh padaku ketika beliau sempat sadar beberapa menit saat aku mengunjungi beliau di rumah sakit tadi pagi. Aku mengangguk mengiyakan dengan berlelehan air mata. Sebenarnya banyak yang ingin kukatakan pada beliau, tapi aku hanya bisa terus menerus berkata, "Terima kasih, Pak. Terima kasih..."
Saat perjalanan pulang dari pusara Pak Soleh, aku bertekad akan membuat Pak Soleh bangga padaku dengan terus melaksanakan pesan terakhirnya.
Saat sampai di rumah duka, anak laki-laki Pak Soleh memberiku peci coklat yang selalu dipakai ayahnya saat di sekolah. Aku memandang peci itu dan kembali menitikkan air mata. Aku teringat segala kebersamaanku dengan Pak Soleh. Tapi aku memutuskan untuk tidak menerimanya karena peci itu sudah kuhadiahkan dan jika aku memilikinya, aku kuatir tidak bisa bangkit dari kesedihan.
"Bapak sering bercerita tentang Mbak Karen. Saya harap, walau Bapak sudah tidak ada, Mbak Karen tetap semangat sekolah mengejar cita-cita." ujar anak Pak Soleh sambil tersenyum ramah. Beliau mewarisi mata teduh Pak Soleh. Raut wajahnya masih berduka, tapi senyuman beliau tulus seperti mengingatkan agar kita semua harus saling menguatkan.
Sesampainya di kos, aku termenung memandangi kamarku. Masih banyak benda berantakan di sana-sini. Jika aku ingin membuat Pak Soleh bangga, aku harus berubah lebih baik. Maka aku mulai menata kamarku kembali.
Aku membuang benda-benda tidak penting yang memenuhi kamar. Aku sendiri merasa takjub bahwa setelah disortir, benda tidak penting yang ada di kamarku ada 3 kresek besar. Aku heran sebenarnya apa yang aku pikirkan sehingga barang sebanyak itu selama ini selalu aku simpan.
Setelah kamarku rapi dan lantainya aku pel bersih mengkilap, aku mulai menata isi lemari bajuku yang amburadul. Bajuku sebenarnya tidak banyak, tapi karena aku malas merapikannya maka itu membuat lemariku selalu terlihat penuh.
Setelah selesai merapikan kamar dan menata isi lemari, aku melemparkan diri ke kasur gabus kerasku yang sudah agak kempis di bagian tengah. Sambil memandangi langit-langit, berpikir tentang apa yang sebaiknya aku lakukan mulai besok untuk berubah menjadi lebih baik. Asyik dengan berbagai ide dan kecapekan merapikan kamar membuatku terlelap tidur beberapa menit kemudian.
************************************
Pagi harinya aku menawarkan Renata yang duduk di bangku terdepan untuk bertukar tempat denganku. Renata menyambut penawaranku dengan suka cita. Renata akhirnya menggantikanku duduk di bangku bagian tengah bersama Santi. Sedangkan aku sekarang duduk bersama dengan Ira, teman sekelasku yang paling alim dan cerdas.
Awalnya Ira sempat kaget mendengar tawaranku untuk duduk sebangku dengannya. Tetapi kemudian, Ira menerimaku dengan senyum yang ramah.
Para guru yang mengajar hari itu keheranan melihatku duduk di bangku terdepan. Bu Katrin yang mengajar Bahasa Inggris sampai terpesona rasanya.
"Well...well... what a nice surprise!" tanggapnya saat melihatku duduk tegak penuh semangat.
Aku tersenyum senang menanggapinya. Seperti terkena sihir, aku mendengarkan semua penjelasan guru pada hari ini dengan semangat membara dan konsentrasi tinggi. Hasilnya, aku berhasil menjawab beberapa pertanyaan guru dengan baik. Padahal selama ini aku tidak pernah bisa atau tidak pernah mau menjawab pertanyaan guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Cerita PendekAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...